“Kenapa tidak di buku yang satunya lagi?” tanya Kateng dari balik selimut.
Ia masih mengantuk. Ini pukul empat pagi di Makassar. Hujan terus mengguyur area ini dengan lebat. Banyak orang yang mengeluh ketika hujan datang. Tidak untuk Kateng dan Abigail. Setidaknya untuk hari ini. Suaranya menyamarkan banyak hal.
“Buku ini terlalu besar. Aku kesulitan membawanya kemana-mana. Jadi aku akan mulai menuliskan perjalanan kita di buku yang satu lagi, yang lebih kecil.”
“Bukankah merepotkan memindahkan jurnal-jurnal itu?”
“Tidak juga. Aku hanya perlu memulai jurnal kedua dari saat ketika kita keluar dari perumahan Meneer Toni,” ucap Abigail sembari menyelipkan sebuah gambar sketsa dari pensil yang dibuat Kateng.
“Kukira kau ini biarawati,” Kateng menyandarkan kepalanya pada satu tangannya.
Telinga Abi memerah.
“Aku juga seorang wanita,” ucapnya, mencoba menjawab sesingkat mungkin.
“Sejak kapan?”
“Aku tidak tahu. Tapi aku tahu kau sudah merasakannya sejak pertama kita bertemu, bukan?”
“Iya, tapi aku tidak ingin menggali lukamu atau memulai sesuatu saat kau belum siap. Aku juga tidak seharusnya memanfaatkan keadaan denganmu.”
“Itulah mengapa aku melakukannya denganmu, Kateng,” ujar gadis itu beranjak berbaring di sebelahnya.
“Kau berbeda,” Abi menambahkan.
Kateng menatapnya lekat-lekat. Matanya tidak ingin melepaskannya. Rambut gadis itu begitu berantakan.
“Kau juga, kau sangat berbeda,” ujar Kateng.
Tangan Kateng bergerak menyusuri rambutnya yang berwarna pirang itu.
“Sejujurnya,” Abigail mulai berkata-kata.
“Aku menjadi sangat paranoid dan telah berjanji pada diriku untuk berhati-hati dengan semua pria. Namun tidak demikian-”
“Termasuk aku?” potong Kateng
“Terutama kau!” Abigail mengusap pipi Kateng perlahan.
Tapi Kateng merasakan itu lebih seperti tamparan.
“Apa salahku?”
“Kau! Kau suka tebar pesona!”
“Aku tidak!” Kateng bangkit sedikit dari posisinya.
“Iya! Cening saja kau goda dengan gambar-gambarmu itu. Kau sengaja, bukan?” Abigail mendakwa.
Terlalu lama Abigail menyimpan pertanyaan ini.
“Ada sebuah kesalahpahaman di situ.”
“Benarkah? Lalu mengapa kau terus memberinya gambar?”
“Ya ampun,” Kateng menggaruk kepala.
“Gambar itu kubuat untukmu! Aku menitipkannya padanya. Bukankah sudah jelas rupa wajahnya itu rupamu?” Pemuda itu mengusap wajah, jengkel karena kebodohannya sendiri yang tidak pernah mengklarifikasi.
“Kalau kau menitipkan itu padanya, kenapa ia bisa salah sangka?”
“Itulah kesalahpahamannya. Aku mungkin, saat itu, agak, sedikit, tidak menjelaskannya kepada Cening.”
“Jadi kau hanya memberikannya gambar-gambar seorang wanita yang mengenakan bajunya tanpa memberikan penjelasan? Tentu saja dia akan menyangka itu gambar diri gadis lain.”
Kateng terjebak. Ia tidak bisa berkelit, keluar dari perangkap yang dulu tidak sengaja ia pasang sendiri.
“Ya, aku bodoh. Maafkan aku. Akulah pria terbodoh sepanjang Celebes,” Kateng menghela napas.
Abigail tertawa kecil. Kemudian setelah tawanya menguap, ia lanjut bercerita.
“Tadinya kukira aku tidak akan pernah bersama pria manapun. Namun perlahan ada yang berubah dari diriku. Perasaan ini justru malah sering muncul. Perasaan menggebu-gebu. Beberapa kali aku meredamnya. Tapi memang, baru kusadari. Bahwa selama ini, ia tidak muncul pada sembarang pria. Ia hanya muncul ketika kau lewat di dalam benakku. Ia muncul ketika bersamamu.”
“Aku merasa terhormat,” Kateng memberi komentar menyipitkan matanya.
“Tapi untuk menunggu seorang gadis duluan yang memulai, apakah kau ini benar laki-laki?”
“Hei, aku tidak tahu kau menginginkan hal ini,” ujar pemuda itu, beralasan.
Abi mencari bajunya.
“Baik, sekarang keluarlah,” gadis itu memberi perintah.
Kateng mendesis, memberikan protes kecil.
“Kau harus kembali ke kamarmu. Besok, kita akan menolong anak itu. Setidaknya tadi kau sudah memberikannya makanan, bukan? Mereka akan bertahan untuk malam ini. Besok kita kunjungi mereka dan membantu dengan apa pun yang kita bisa.”
“Baiklah. Aku akan keluar.”
Pemuda itu beranjak keluar setelah mengenakan pakaiannya.
“Kukira hari seperti ini tidak akan pernah terjadi,” Kateng merapikan rambutnya sebelum berjalan ke arah pintu kamar.
“Tapi kau senang, bukan?” Abigail merapihkan rambutnya juga.