Sampah dan Bertuah

Astromancer
Chapter #21

Si Gajang Laleng Lipa

Aku telah membuka halaman terakhir dari jurnal ini. Seisi jurnal, begitu menguras tenaga. Tahu-tahu saja, sudah tiga hari kami habiskan dengan membaca. Mataku sakit. Kepalaku pusing. Tapi aku tergugah untuk menghabiskan semuanya tanpa berhenti membaca. Seringkali kami tertidur dengan buku-buku yang terbuka.

Ada banyak sekali kejadian yang terjadi saat itu. Setidaknya kami berdua bisa memastikan satu hal, yaitu bahwa Kateng dan Abigail adalah orang-orang yang membuka sekolah rakyat di sini. Nama Prachtige Mensen adalah nama yang dipiilih Abigail sebagai nama sekolah di Pulau Selayar ini.

“Jadi maksud kamu, Abigail dan Kateng pergi ke sini setelah pertempuran itu?” Anin bersandar di sebelahku.

Matanya juga sudah berat mengikuti irama pencarian ini. Aku tahu ia sudah lelah. Aku sudah menyuruhnya untuk beristirahat saja sejak tadi. Namun ia tidak menginginkannya. Karena aku pun tidak bisa tidur, jadilah pembacaan ini berlanjut sampai jam dua subuh, dinihari. 

“Betul,” aku berujar lemas.

“Mereka membawa orang-orang yang ditawan itu, ke sebuah pulau yang terlepas dari jangkauan Bombang.”

“Tempat ini ‘kan?”

“Iya.”

Aku perlahan berbaring di atas bale-bale bambu. Seolah tidak ada tenaga lagi, Anin ikut-ikutan terseret dan berakhir terbaring di atas lututku.

“Terus mereka buat sekolah?” tanya Anin dengan mata terpejam.

“Iya.”

“Terus mereka berakhir nyolong dari kapal-kapal Belanda yang suka melintas di laut?”

“Betul.”

“Gokil.”

Kami tertidur di atas bale-bale yang berada di tepi pantai dekat rumah tempat kami tinggal. Perjalanan kami di Selayar sepertinya akan berakhir. Tapi aku puas.

Keesokan harinya, kami bangun pukul tujuh pagi. Sebelum akhirnya kami berdua pergi menghambur ke kamar masing-masing untuk melanjutkan tidur. Anin bilang bahwa ia akan pergi ke Malino, sebuah daerah dataran tinggi di Sulawesi Selatan. Aku pun juga akan mengikutinya. Kebetulan, ternyata dari hasil membaca Jurnal Abigail, mereka kembali ke Sulawesi. Di tengah area perairan di Sulawesi Selatan, tempat terjadinya pertempuran hebat yang tidak tercatat sejarah. Kejadian itu mengingatkanku pada sebuah pepatah:

“Sejarah ditulis oleh pemenang.”

Dikarenakan pemenang dari pertempuran tersebut tidak ada, maka tidak ada juga yang tahu sejarah dari pertemuan kubu yang saling membunuh hari itu.

Tepat pukul sepuluh kami sudah bangun lagi untuk yang kedua kalinya. Anehnya, justru aku merasa jauh lebih lelah ketimbang waktu aku terbangun di pukul tujuh pagi tadi. Lato bilang ia akan meminta orang untuk mengantar kami kembali ke Sulawesi.

Aku sejujurnya tidak sabar untuk bisa bertemu dengan Lato lagi. Tetapi ternyata ia tidak bisa karena berhalangan hadir. Jadinya akan ada orang-orang lain yang mengantarkan kami kembali. Kami terlalu lelah untuk memulai pembicaraan dengan orang-orang baru. Jadi sepanjang perjalanan, aku dan Anin hanya tertidur.

Di dalam mimpi, aku terus menerus terbayang kejadian itu. Kejadian yang kubaca dari jurnal Abigail.

 

Abigail dan Kateng berlayar di perairan dari Tanjung Bira. Setelah berkuda untuk sekian lama, mereka sampai di penghujung pulau Sulawesi. Sebuah lokasi dekat pesisir pantai. Jaraknya cukup jauh, beberapa kilometer dari tempat Djikman berada. Dari kejauhan, tempat itu ibaratnya perkampungan biasa pada umumnya. Namun sepuluh tahun lalu, kampung itu tidak ada. Ia baru di sana ketika Kateng membuatkan perumahan itu. Kateng banyak belajar dari orang Belanda ketika dulu ia tinggal di negeri itu. Perumahan itu adalah sarang perompak yang menjelma menjadi perkampungan biasa.

“Apa yang akan kita lakukan?” Abigail bertanya. Ia memulai percakapan di dekat pantai.

“Yang pasti kita tidak boleh masuk ke area itu begitu saja. Orang-orang di sana mengenali wajahku. Kita akan pergi ke pasar dekat sana terlebih dahulu. Kita harus menunggu dan membaur dengan orang-orang di pasar itu dengan menyebarkan rumor tentang rencana Djikman,” ujar Kateng.

Abigail mengkerutkan alis. “Kau kira cara seperti itu akan berhasil?”

“Percaya saja. Aku tahu ini akan berhasil. Tidak ada yang lebih dipercayai oleh orang-orang ini ketimbang gosip,” Kateng tersenyum memandang lautan.

 

“Tidak! Kita harus segera mengungsi dari tempat ini. Lokasi ini sudah diketahui oleh Belanda. Orang banyak di pasar sudah tahu bahwa Belanda akan segera menyerang karena ini adalah markas Karaeng Bombang,” ujar seorang tua dari dalam rumah alun-alun di desa.

Malam sudah datang. Banyak orang berkumpul di sana. Mereka duduk bersila. Semuanya adalah laki-laki.

“Kita akan tinggal. Kita tidak bisa percaya omongan pasar begitu saja. Itu impa[1],” seorang yang pria paruhbaya menjawabnya.

Percakapan ini dilakukan dalam bahasa Bugis.

“Masih ada waktu untuk bisa mengungsi!” Orang banyak yang mendukung tua-tua itu berteriak-teriak dari belakang.

“Tidak. Kita akan tinggal!” Orang-orang yang menjadi pendukung pria paruhbaya itu juga ikut berteriak. Mereka kebanyakan adalah pemuda.

Kateng bersembunyi di tengah malam, menyelinap masuk ke belakang dusun yang ia dirikan dulu sebagai tempat musyawarah masyarakat di perkampungan itu. Siapa yang menyangka bahwa ia akan kembali lagi ke sini setelah pergi beberapa tahun.

“Orang-orang ini memang bisa percaya apa saja,” Kateng menggelengkan kepala, tidak percaya bahwa rencana dangkal ini bisa berhasil.

“Baiklah. Kita kumpulkan semua anggota keluarga,” ujar seseorang dengan suara lebih berat.

Kateng mengenali suara ini. Ia berbicara dengan bahasa Bugis, namun tidak dengan aksennya yang kebarat-baratan.

“Kita akan melakukan pemungutan suara. Silahkan ambil kayu jika setuju untuk kita tinggal. Yang memilih untuk tidak tinggal, tidak usah mengambil kayu,” ujar suara itu memberikan instruksi.

Tidak salah lagi. Ini adalah suara Paman Andreas.

Kateng terdiam sejenak. Karena penasaran, ia ingin melihat dan memastikan hal itu. Ia mencoba naik sedikit untuk mendapatkan sudut pandang melalui ventilasi. Kateng memanjat tembok kayu tersebut. Tangannya bergetar karena berpegangan pada batang kayu ventilasi. Setelah beberapa detik perjuangan, Kateng mendapatkan sudut pandang yang jelas untuk bisa melihat dengan baik.

“Akhirnya,” Kateng berbisik pada dirinya sendiri.

Namun karena lemahnya kayu tersebut, batang itu malah patah karena gagal menahan bobot tubuhnya. Kateng jatuh ke tanah seketika.

“Siapa itu?”

Orang-orang yang berada di dalam berbondong-bondong keluar untuk mengecek sumber suara.

Kateng masih terduduk di tanah, ketika ia menyadari bahwa semua orang yang berada di dalam dusun itu sudah mengepungnya dengan celurit dan badhik. Kateng mengangkat tangannya.

“Jangan bunuh aku,” ujar Kateng dengan tatapan tanpa ekspresi.

Sekujur tubuhnya sudah membeku. Ia pasrah jika ini adalah akhirnya.

“Kateng!” Andreas berteriak dari belakang, ia menerobos kerumunan.

“Paman?” Kateng berpura-pura baru melihatnya.

“Apa yang kau lakukan di sini?” pertanyaan itu bukanlah pertanyaan yang ramah.

“Aku, aku,” Kateng memutar otak.

“Jawablah, atau kau akan kubunuh. Kau pasti mata-mata yang dikirimkan Djikman bukan?” Andreas sudah bersiaga dalam posisi untuk menebasnya. 

“Paman, tunggu! Tunggu sebentar! Aku datang dengan damai. Aku ke sini justru untuk memberitahu rencana Djikman!”

Paman Andreas menghentikan gerak tangannya.

“Kau sebaiknya tidak berbohong, anak muda,” Andreas menyarungkan badhiknya.

“Tidak, tentu saja.”

“Bagaimana bisa kami memercayaimu?”

“Tolong, biarkan aku berbicara baik-baik dulu.”

Kateng dibawa masuk ke dalam dusun itu. Tadinya malam itu, orang-orang yang sedang bermusyawarah kedinginan. Sekarang darah mereka mendidih. Mereka kenal Kateng. Setelah mendengar apa yang terjadi, pandangan mereka berubah seratus delapan puluh derajat. Kateng dianggap sebagai pengkhianat. Di hadapan Kateng, berdiri tiga orang temannya dulu. Aning, Bariung, dan Seka adalah tiga pemuda yang bergabung menjadi bajak laut Bombang. Mereka juga adalah rekan seperjuangan Kateng sebelum Kateng lari.

Aning seorang berambut lurus, turun ke bawah sampai menyentuh alisnya. Kulitnya gelap namun tidak segelap Kateng. Alis matanya tebal, rahangnya tegas. Perawakannya jauh lebih berisi dan berotot dari siapa pun yang berada di sana.

“Djikman akan segera menggempur area ini, jika kalian semua tidak pergi dari sini, kalian matentu malamumpatu[2]!”

“Darimana kami bisa percaya omong kosong itu, setelah yang kau lakukan? Pabbéllékko[3]!  Pertempuran itu memakan banyak sekali korban jiwa, kau tahu?” ujar Aning.

“Aning, kau harus percaya kepadaku. Aku tidak ingin orang-orang tidak bersalah di sini ikut menjadi korban keganasan Djikman,” Kateng menatap lawan bicaranya itu.

“Aku bertanya, apa yang bisa kau lakukan supaya kami bisa memercayaimu!” Seseorang yang berdiri di samping Aning, menampar Kateng.

“Seka, percayalah padaku.”

Pemuda bernama Seka itu berambut agak tipis, seperti potongan tentara. Ada bekas luka di alisnya. Tubuhnya lebih ramping dari Aning. Namun kulitnya tidak jauh berbeda.

“Bagaimana caranya?”

“Aku tidak tahu!” Kateng berteriak.

Teriakan itu membuat seluruh kegaduhan terhenti.

“Ada yang janggal dari kalian semua di sini. Kenapa kalian tidak lari saja? Bukankah sekarang kalian bebas tanpa Bombang?”

“Karaeng Bombang,” Aning membenarkan.

“Kalian sudah terbebas. Ia sudah tidak berada lagi di dunia ini. Apa yang kalian lakukan di sini?” Kateng tidak mengindahkan.

“Kau tidak mengerti ‘nak,” Paman Andreas berjalan ke dekatnya.

“Aku sudah mengikutinya selama bertahun-tahun. Sulit mengakuinya, tapi kadang orang itu ada benarnya. Kekejaman Belanda sudah begitu tidak manusiawi,” ucap pria Belanda itu.

Kalimat itu sebenarnya bukan hal baru untuk Kateng. Yang membedakan adalah pria di belakang kalimat itu yang melontarkannya. Bagaimana mungkin seorang Belanda sepertinya, yang hidupnya telah direnggut oleh Bombang, justru sekarang malah membelanya? Terlebih Andreas adalah orang yang telah dipenjara sangat lama karena keteguhan hatinya tidak ingin menjadi antek Bombang.

“Aku tidak mengerti, sebenarnya apa yang terjadi di sini?”

“Kau, kau tidak akan mengerti,” Paman Andreas sekali lagi menekankan hal itu.

Kateng menyadarinya, akhirnya. Itu bukanlah kesetiaan. Itu adalah rasa takut.

“Apa yang terjadi? Kalian tahu bahwa Bombang sudah meninggal, bukan?”

Seorang dengan tubuh agak gempal berdiri di samping Kateng. Ia sudah memerhatikan Kateng daritadi. Ia bernama Bariung. Ia menarik napas panjang.

“Kau salah besar, Kateng. Ada hal yang harus kau ketahui tentangnya.”

“Tidak, Bariung. Kita tidak boleh membicarakannya. Kita sudah disumpah,” ucap Aning, menghentikan temannya itu.

“Dia harus mengetahuinya!”

Barulah Kateng tahu duduk perkaranya. Segenap kekuatannya serasa menghilang. Ia terduduk di lantai. “Tidak, kau bercanda. Kalian semua bercanda bukan?” Kateng membentak, menggelengkan kepalanya.

Degup jantungnya berdetak kencang.

Lihat selengkapnya