Sampah dan Bertuah

Astromancer
Chapter #22

Musafir Sagara

Fajar merekah di ufuk timur, menyinari pantai berpasir putih yang menjadi tempat para prajurit Bombang berjaga. Suara debur ombak yang biasanya menenangkan kini terdengar seperti tanda bahaya yang semakin mendekat. Setiap lelaki di sana memegang senjata mereka dengan erat, baik itu tombak, parang, musket, atau busur dan anak panah. Mereka tahu bahwa dalam hitungan jam, musuh akan tiba.

Tahu-tahu sudah dua hari berlalu. Hari yang diantisipasi tiba. Kru Bombang telah bersiap untuk melawan tentara Djikman. Mereka telah mengungsikan wanita dan anak-anak ke lokasi yang lain. Tinggal para laki-laki yang siap pasang badan untuk menghadapi tentara-tentara itu.

Serdadu tentara Djikman bisa muncul darimana saja. Semua orang di sana tahu mereka akan dibantai. Tapi mereka tidak berubah pikiran. Apalagi lari. Apalagi mengikuti para wanita dan anak-anak mengungsi ke tempat lain.

Di kejauhan, ada kapal-kapal yang bergerak. Kapal-kapal galiung itu mengiris laut, menembus kabut pagi yang perlahan juga mulai menghilang. Ada delapan kapal.

“Wahai Boogeyman,” sebuah suara terdengar di antara mereka.

Er is geen eer in een zinloos offer![1]” Kapten kapal itu berteriak dari balik kabut. Badannya besar dan tegap. Suaranya nyaring, walau jarak di antara mereka masih cukup jauh.

Ia sudah menjadi kapten kapal setelah dipermalukan beberapa tahun silam dalam peperangan membela kompleks Toni. Total dari prajurit yang selamat pada malam itu begitu sedikit. Kapten kapal itu adalah salah satu dari banyak orang yang selamat. Walau pada akhirnya tentara barak itu menang melawan prajurit Bombang, mereka kehilangan banyak hal.

“Tuan Bram, mereka masuk jangkauan kita,” ucap seorang kadet, melaporkan.

“Tembak sekarang. Tembak para bedebah itu!” Bram memerintah.

Dari arah laut, tiang-tiang kapal menyembul di kejauhan. Prajurit Bombang mengarahkan pandangan ke arah kapal-kapal itu. Di hadapan mereka terlihat puluhan kapal tentara Djikman sudah bersiaga, bergerak maju dengan kecepatan penuh.

“Serangan dari pantai! Tembak meriam!” teriak Andreas.

Sontak orang-orang yang bertugas untuk menembak meriam memasang posisi. Meriam-meriam diletakkan di atas tembok barikade sementara yang dibuat oleh rakyat dengan kayu-kayu yang ditemukan di sekitar sana.

Tanpa diduga, sebuah bola besi meluncur dan menghancurkan tubuh seseorang yang berdiri di belakang meriam. Ia tewas seketika.

“Meriam mereka memiliki jarak lebih jauh dari punya kita!” teriak Seka.

“Kurang ajar! Kita harus menarik orang-orang dari bibir pantai!” Aning berpendapat.

“Jauhi bibir pantai!” Aning memberi komando lagi.

Mereka semua menurut. Untuk keamanan, mereka pergi menjauh dari barikade. Sayangnya, barikade yang terbuat dari kayu tentu tidak cukup untuk bisa menghalangi bola-bola besi yang melenting ke arah mereka. Dalam hitungan menit, barikade itu hancur porak poranda setelah dihujani bola-bola besi seberat puluhan kilogram. Bola-bola besi ada yang mengenai kaki, tangan, dan torso kru Bombang. Total empat orang luka parah, kehilangan anggota tubuhnya. Teriakan mereka membuat kru yang lain ketakutan.

“Jangan takut! Kita bisa mengalahkan mereka! Jangan takut!” Aning berteriak, mencoba memberikan semangat orang-orang di sana.

“Mereka sudah masuk jangkauan tembak kita. Tembak meriam sekarang!” Andreas memberi aba-aba.

“Tembak!”

Sepuluh meriam benteng tipe pounder melesatkan bola-bola besi. Berkat keahlian dari orang-orang Bugis yang biasa berburu di laut, tiang-tiang beberapa kapal hancur dan terjatuh. Beberapa patah juga karena reyot. Tanpa layar, kapal perang tidak punya pilihan untuk bergerak selain mendayung.

“Cepat perbaiki tiang-tiangnya!”

Dari kejauhan, Bram memberikan perintah.

“Sial … para pribumi sok jagoan. Aku akan membuat kalian semua menderita!” Bram mengutuk dengan geramnya. Suaranya serak dan parau.

“Berhasil! Kita mengenai tiang!”

“Siapkan baracung[2]!”

Total ada tiga puluh baracung sudah berbaris di bibir pantai. Area kanan dan kiri.

“Layarkan kapal!” Aning memerintah lagi.

Beberapa dibawa ke dalam kapal. Senjata itu digunakan biasanya untuk berburu paus. Namun juga efektif untuk menarik kapal. Anak-anak panah dari kayu tebal terbujur kaku di atas baracung raksasa.

“Pasukan Rakka, maju! Pasukan Riung, maju!” perintah Andreas.

Pasukan dari masing-masing kapal sudah berlayar. Mereka dibawahi kepemimpinan masing-masing kapten kapal. Dua Kapal Pinisi itu bergerak dari arah kanan dan kiri.

“Kita harus memecah pasukan kita. Kau! Kapalmu pergi ke kiri! Sedangkan kau, ke kanan! Untuk yang masih memperbaiki tiang, kita akan langsung ke tengah,” Bram memberi komando.

Segera, semua orang pasukannya menuruti keinginannya. Mereka bersiap memasang layar. Orang-orang yang berada di kapal bergerak dengan cekatan. Dua kapal Pinisi melaju, melesat dengan cepat.

Adu meriam terjadi. Kedua kubu saling jual beli bola besi. Pertempuran itu terbagi menjadi tiga kelompok, karena pemecahan yang dilakukan oleh kelompok Aning dan Seka. Di belakang kapal pinisi yang baru meluncur itu, ada kapal-kapal lain yang mengikuti di belakang. Kapal-kapal yang lebih kecil. Mereka memberikan dukungan untuk dua kapal pinisi yang lebih besar itu dengan terus memberikan tembakan.

“Awasi kapal-kapal yang lebih kecil itu,” ucap Bram.

Namun terlambat, kru kapalnya yang akan menghadapi dua pinisi besar sudah meninggalkannya. Tiang kapalnya masih sibuk diperbaiki oleh tim perbaikan kapal.

“Lama sekali! Cepat! Kita harus mengejar!” Hidung besar Bram kembang-kempis.

Jarak diantara kedua pihak semakin mengecil. Ketika disangka kapal pinisi Bugis akan bertabrakan dengan kapal galiung milik Belanda, kapal-kapal Pinisi melakukan manuver menjauh. Ternyata jangkar diturunkan untuk rem mendadak. Kapal-kapal kecil yang tadinya berada di belakang, sekarang mendahului kapal pinisi besar. Kapal-kapal kecil itu segera menembakkan meriam. Posisi mereka yang berada di bawah, jelas menguntungkan. Karena meriam dari galiung tidak bisa mengarah ke bawah dengan leluasa. Kayu-kayu keropos karena dihantam berkali-kali dengan bola besi.

“Serangan datang! Dari bawah!”

Pasukan Bram kalang kabut. Mereka bergegas menembaki orang-orang di bawah dengan musket. Namun itu sia-sia. Pasukan di kapal kecil membawa perisai besar dengan mereka. Perisai Kanna disusun untuk menghalangi tembakan. Peluru-peluru membuat bunyi dentuman dengan perisai besi itu.

“Tahan!” perintah penembak meriam dari kapal kecil itu.

Ketika pasukan penembak kapal Belanda mengisi peluru, para pemanah dari kapal kecil sudah bersiap memberi serangan balasan. Panah-panah api bermunculan, mengarah ke atas. Para penembak Belanda mundur.

Kapal pinisi raksasa sudah mendekat ke kapal galiung. Di sisi kiri, kapal pinisi yang satu juga sudah melakukan hal yang sama. Mereka mendekat bersamaan ke masing-masing musuh. Jika mereka mendekat, maka kemenangan bisa terjamin.

“Kita bisa robohkan dua kapal besar di sisi kanan dan kiri. Kita akan menang,” Aning optimis melihat dari kejauhan.

“Kalian terlalu ceroboh, boogeyman!” Bram berteriak dari jauh.

Dari Timur, muncul kapal-kapal yang lain. Kapal tipe brigantine dan galiung bermunculan. Puluhan kapal itu berdatangan bak sedang konvoi. Layar-layar mereka teracung dan mengembang, datang dengan kecepatan tinggi. Terlihat tentara-tentara Belanda berdiri di atas kapal-kapal itu.

“Tidak mungkin,” Aning menatap nanar pada banyaknya kapal yang berdatangan.

Ternyata kapal-kapal yang mereka lawan, belum semuanya datang.

“Kita tidak pernah melawan Armada kapal seperti ini,” seorang kru Bombang mengeluh lirih.   

Tatapan kru Bombang sudah menggelap. Mereka ciut melihat kekuatan armada lawan mereka. Bahkan jika Bombang di sini, mereka belum tentu bisa selamat.

“Wahai pelaut sekalian!” Aning berteriak memecah kekelaman.

“Jangan takut dan gentar! Bukankah ini tanah kita semua? Bukankah kita sudah sepakat sebelum bertarung hari ini? Kita akan keluarkan semuanya untuk melawan mereka. Kita adalah para pelaut yang tangguh. Apa kalian tahu apa julukan kita di tanah mereka?”

Aning mendapatkan perhatian segenap pasukan di sana.

“Kita disebut sebagai Boogeyman! Kita adalah hantu yang menakutkan! Kita tidak bisa berhenti di sini. Kita harus melanjutkan pertarungan ini, untuk menunjukkan kepada mereka arti ketakutan sesungguhnya! Kita jauh lebih besar dari yang kita pikirkan. Ingat apa pedoman hidup Bugis? Kita akan memusnahkan semua orang ini, demi siri[3], demi tanah, demi kehormatan kita! Orang Bugis tidak takut mati! Karaeng kita, Bombang, bahkan tidak takut neraka! Apakah kita hanya akan berhenti di sini? Ayo kita patahkan tulang-tulang mereka, kita hisap darah mereka sampai tuntas, dan menenggelamkan tubuh mereka ke Pretiwi!”

Pasukan yang berada di sana bersorak, mengangkat badhik mereka masing-masing.

Dengan pidato singkat itu, Aning berhasil mengembalikan semangat moral dari para pejuang yang berdiri di tanah. Namun itu saja tidak cukup untuk membuat mereka yang di kapal selamat. Armada bantuan Belanda mulai menyerang, memborbardir kapal pinisi sebelah kiri dengan bola-bola meriam. Bola-bola besi berterbangan, melesat begitu rupa. Hujan bola besi tak terhindarkan. Kapal pinisi itu rusak parah. Lambung kapal, tiang, dek utama, dan buritannya penuh lubang-lubang.

Sebagian kru yang tidak beruntung ikut terlibas oleh bola besi. Mereka hilang begitu saja dan hanya meninggalkan darah yang terciprat hasil hantaman bola tersebut, serta kaki yang masih menapak di lantai kayu. Dengan itu, pertempuran di sisi kiri dimenangkan oleh pihak Belanda. Ketika mereka merapatkan kapal dengan pinisi, pertempuran jarak dekat tak terelakan. Pasukan tentara memasuki kapal pinisi. Dengan segenap kekuatan, mereka terus menggempur. Kapal-kapal kecil yang berada di bawah menjadi tidak berguna. Mereka seharusnya memberikan perlawanan untuk memberikan tembakan perlindungan. Kini yang bisa mereka lakukan adalah menembaki seadanya dari jarak yang tidak menguntungkan.

“Kita harus bergerak membantu mereka di sana,” Andreas memberikan komentar. 

“Tidak. Kita harus tetap berada di tanah. Jika kita semua pergi, siapa yang akan tinggal di sini? Kita tidak akan menambah jumlah prajurit yang gugur. Semua yang masih bernyawa harus bisa bertempur untuk membunuh. Bukan untuk menyelamatkan yang lain.”

“Iya, tapi kita akan—” kalimatnya terhenti setelah melihat ekspresi Aning.

Mata Aning melotot ke arahnya, mulutnya terkatup rapat, alisnya mengeras, membuat keningnya ikut berkerut.

Andreas mundur perlahan. Ia tidak bisa mengerti pola pikir Aning. Untuk sekilas, Andreas dapat melihat sosok Bombang pada diri prajurit muda ini.

“Apa kau yakin, ini harga yang pantas?” tanya Andreas kembali, memilih pertanyaan ketimbang saran.

Tatapan Aning berubah sangar. Matanya melotot nanar pada Andreas, orang Belanda itu.

“Harga diri … adalah barang termahal yang kami punya,” ujar Aning.

Ia benci mengakuinya. Persis seperti kata Kateng, perlahan adegan pertempuran ini seperti tradisi Sigajang Laleng Lipa raksasa. Dalam hitungan beberapa menit saja, Bram akan sampai. Ia dan kru pelautnya sudah memperbaiki kapal mereka. Kapal bergerak dalam kecepatan penuh.

“Kita harus menghadapi kapal yang menuju ke sini itu. Bagaimana kita bisa melawannya?”

“Tembak, tembak saja dulu dengan meriam.”

Meriam-meriam ditembakkan. Suaranya menggelegar memekakan telinga. Serentak sepuluh meriam meletus. Disusul dengan kemunculan bola besi yang berterbangan menghancurkan sisi depan kapal galiung milik Bram.

“Manuver! Sudah kubilang belok ke kanan! Belok ke kanan! Apa susahnya?” Bram menampar seorang tentara yang mengendalikan roda kemudi. Gelombang tembakan yang kedua muncul kembali. Kali ini, Bram berada di belakang kemudi. Namun kerusakan yang diterima oleh kapal ini justru lebih parah dari yang sebelumnya.

“Kapten, kita kehilangan tiang kembali.”

“Kau bercanda? Kita baru saja memperbaikinya, bukan?”

“Iya, tetapi sekarang tiang ini roboh, dan sudah dalam kondisi tidak bisa diperbaiki lagi.”

Bram memekik. Karena kesal ia menginjak-injak puntung rokoknya dengan geramnya.

“Kurang ajar! Kurang ajar!”

Aning meneropong dari jauh.

“Kapal itu terhentikan lagi. Pemegang musket, apakah bisa kalian bidik untuk mengenai kepalanya?”

Para penembak telah mengikuti aba-aba.

“Siap sedia untuk menembak. Siap? Serang!”

Serentak, seluruh penembak yang berada di daratan memantik senjata mereka. Letusan hebat terdengar dari sana. Peluru-peluru besi kecil melesat berterbangan bagaikan burung di udara. Bram menunduk.

“Berlindung! Berlindung!” ucap seorang tentara.

“Kapten!” tentara itu mendorong Bram. Ia terjatuh.

Beruntung Bram bisa selamat, walau pun pasukan yang berdiri di belakangnya tewas seketika. Bola-bola besi itu telak mengenai anggota tubuh vital mereka. Banyak juga yang mengenai kepala. Hal ini tentu mencengangkan. Siapa yang sangka para bajak laut udik bisa menembak dengan jitu? Latihan bertahun-tahun dalam pertempuran asli adalah kuncinya. Para penembak terbiasa menggunakan senapan musket itu, bahkan dari jarak yang cukup jauh sekali pun.

“Bedebah-bedebah itu … Aku akan membunuh mereka semua!” Bram mendorong tubuh kadet yang menyelamatkannya.

“Panggilkan penembak kita! Apa yang dilakukan orang-orang itu? Serang balik! Serang!” teriaknya dengan suara parau.

“Turunkan kapal sekoci! Biar aku sendiri yang akan pergi mengunjungi orang-orang itu.”

Sebuah kapal kecil diturunkan dari kapal galiung raksasa tersebut. Bram naik ke atas kapal kecil itu dengan diturunkan perlahan oleh anak buahnya. Bersama Bram, ikut juga tujuh orang lainnya. Mereka semua adalah penembak jitu, juga tentara yang terlatih dalam pertempuran jarak dekat.

Di kejauhan, pasukan Bombang mencoba mempertahankan tanah mereka berpijak. Di sisi kiri, kapal galiung yang memenangkan pertempuran melaju untuk mengikuti armada besar itu untuk meluluhlantakkan daratan. Armada besar Belanda bergerak semakin mendekat ke arah daratan. Bibir pantai itu akan segera dikepung oleh musuh. Kapal pinisi satu-satunya yang masih bisa bergerak berada di kanan, sepertinya juga akan segera bernasib sama seperti yang di sebelah kiri. Dua dari sepuluh kapal yang bergerak ke arah daratan, memisahkan diri untuk membantu pertempuran di sisi kanan. Sepertinya itulah akhir dari pertempuran ini.

Aning memerhatikan semuanya dari jauh. Sambil terus memberikan tembakan balasan, walau lebih banyak berlindung dari serangan kapal-kapal di depan mereka. Sisa-sisa pasukan Bombang berlindung di bawah serangan yang terus diberikan.

“Apalagi yang bisa kita lakukan?” Andreas bertanya pada Aning.

Aning pun tidak tahu jawabannya. Ia sudah kehabisan akal. Aning tertunduk. Ia menatap rekan seperjuangannya yang masih tersisa.

“Kita akan berkorban,” ia menjawab pelan.

Kendati suaranya yang nyaris tidak terdengar, tatapan matanya mantap menusuk semua lawan bicaranya.

Pada saat itulah, sesuatu yang tidak disangka terjadi.

Tahu-tahu, salah satu kapal dari puluhan armada yang ikut menyerang mereka, berubah haluan. Kapal itu berbelok dan menghalangi kapal-kapal di belakangnya dengan tubuh raksasanya.

“Aning, ada sesuatu yang terjadi di sana!” Andreas berteriak.

Aning memerhatikan dari jarak seratus meter. Terlihat bahwa kapal besar itu dalam posisi melintang. Tabrakan tidak terelakan dari beberapa kapal yang tidak bisa berhenti.

“Bodoh! Apa yang kau … lakukan….”

Satu orang berdiri di atas kapal yang melintang itu. Di tangannya, terdapat pemantik. Ia melepaskan korek itu dan merosot turun ke bawah, sudah masuk ke dalam sekoci yang bergoyang-goyang di bawah kapal tersebut. Percikan api bergerak dengan cepat, mengikuti jalur bubuk mesiu yang mengarah ke gudang penyimpanan.

“Selamat tinggal!” sekoci orang itu kemudian ditarik menjauh oleh harpun yang menempel di kapal sekoci yang lain.

“Sial! Pergi dari sini! Pergi dari sini!”

Seketika ledakan besar terjadi. Kira-kira tiga kapal armada Belanda hancur terbakar.

“Siapa itu?” Aning memicingkan matanya.

Seorang berambut pirang yang tadi menyalakan korek api itu sedang tertawa cekikan di atas sekocinya.

“Itu! Pieter Vinke!”

“Vinke?”

Pieter Vinke melambai ke arah semua orang yang berada di daratan.

“Ahoy! Kalian baik saja?” teriaknya dengan wajah sumringah.

Segera sesudah ia berteriak seperti itu, beberapa tentara Belanda saling membunuh satu sama lain.

“Penyamaran?” Andreas mengelus dahi.

“Tidak mungkin.”

Sekoci kecil Pieter ditarik dengan harpun. Setelah bergabung dengan sekoci yang menariknya, Ia menembak harpun ke arah daratan.

“Kurasa tadi itu adalah waktu yang tepat, bukan?” Pieter menyisir rambutnya, berjalan perlahan mendaki barikade yang hancur, dari arah samping.

Karena ledakan barusan, serangan dari depan terhenti. Meriam yang tadinya merajalela seolah terbungkam. Dengan satu momen, Pieter berhasil menghancurkan empat kapal musuh, menurunkan jumlah pasukan musuh cukup signifikan, dan membuat blokade baru untuk menghalangi serangan musuh dengan kapal yang melintang itu.

“Jenius sekali,” Andreas berkomentar.

Pieter berhadap-hadapan dengan Andreas dan Aning.

“Itu semua spontan saja,” Pieter menggaruk kepala.

“Tenang, kita akan menang. Karaeng Bombang akan ikut membantu pertempuran ini,” Vinke menyalami Andreas.

“Benarkah?” Andreas melotot antusias.

“Ada apa?” Aning masih kesulitan mengerti bahasa Belanda.

Andreas mencoba menerjemahkan, walau akhirnya Aning tidak terlalu mengerti.

“Bahkan ia sudah di sini. Lihatlah ke langit,” Pieter menunjuk ke arah langit.

Tanpa harus diberitahu, Aning sadar. Awan sudah menggelap. Padahal tadi cuaca masih cerah.

“Hujan?”

“Kurang ajar,” Bram menengadah ke langit.

Jelas ini merupakan situasi mencekam untuk tentara Belanda. Sebagian besar keunggulan mereka ditentukan dari senjata mereka, yang harus dinyalakan dengan api. Musket, meriam, peledak. Tanpa itu, mereka hanya akan bisa bertarung jarak dekat.

“Ini akan membantu kita,” ujar Pieter.

“Sekarang bagaimana caranya kita bisa menghancurkan armada-armada kapal itu?”

“Kita harus naik ke kapal. Tidak ada cara lain,” ujar Aning.

Lihat selengkapnya