Sampah dan Bertuah

Astromancer
Chapter #23

Kawaq

Terombang-ambing di atas kapal berjam-jam bukanlah hal yang asing. Setidaknya sebagian tahun hidup Abi bisa dikatakan habis di atas kapal. Namun kondisi sekarang ini agak lain. Sekali lagi, Abigail mendapatkan dirinya termenung di tengah malam. Malam-malam yang sepi seperti ini mengingatkannya pada hari ketika ia pertama kali menginjakkan kaki di rumah Toa’ Seno. Atau malam waktu mereka berada di kompleks perumahan Meneer Toni. Atau waktu mereka bermalam di rumah Djikman untuk bertempat tinggal di sana selama bertahun-tahun. Gadis itu merenungkan, sebenarnya apa yang membuat dia berada di sini?

“Kita mau berlayar kemana? Kau punya tujuan lain yang hendak dituju?” tanya Kateng ketika semua orang telah beristirahat.

Gadis itu tidak menjawab.

Kembali ia teringat momen dimana ia harus hengkang dari sebuah gedung besar di Rotterdam yang dulu ia sebut rumah. Satu alasan kembali mencuat di bibir hatinya. Ia mengenang peristiwa bertahun lalu saat ia melihat betapa keserakahan dapat membuat manusia menjadi buas. Manusia itu adalah ayahnya sendiri. Ia berjanji akan pergi jauh dari tempat itu, sesederhana ia tidak ingin disamakan dengan pepatah ‘buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.’ Dengan pikiran yang polos itu, ia memberanikan diri untuk melenggang ke Hindia, bersama para pelaut tidak dikenal, yang ia tumpangi hanya dengan asas percaya. Jika Pieter dan awak-awaknya adalah orang jahat, nasibnya bisa berubah. Ia tahu ia berhutang nyawa pada Pieter dan para awaknya. Karena itulah, selalu ia katakan pada Kateng bahwa keinginannya hanyalah menyelamatkan para tahanan yang menjelma menjadi awak di kapal Bombang. Itulah cara ia bisa membalas hutang budi itu. Bisa dibilang ia sekarang … sudah membayar hutang itu?

Tapi lalu, sekarang apa? Apa yang harus dilakukannya?

Para pasien dari dokter Hut tertidur. Mereka memang sudah terbebas dari kutukan Bombang dan menjadi orang yang merdeka. Namun mereka tidak punya tujuan. Sesederhana karena orang yang membebaskan mereka pun tidak punya tujuan.

“Aku sejujurnya tidak tahu mau melakukan apa,” ujar Abi. “Bagaimana denganmu?” Perempuan pirang itu bertanya balik.

Baju kemeja putihnya yang agak longgar itu bergerak-gerak terkena angin malam.

Kateng berpikir sejenak. Tangan laki-laki Bugis yang kurus itu masih menyetir kemudi kapal.

“Aku juga tidak ada,” ujar Kateng, alis matanya naik sebelah.

“Sebentar, apa maksudmu kita sudah tidak punya tujuan apa pun lagi?” Kateng bertanya, dengan nada panik.

“Iya ya? Ini sangat aneh,” Abi memegang pangkal hidungnya.

“Betul-betul aneh,” Kateng mengangguk setuju. Tangannya melepaskan kemudi. Bukan karena lelah, tapi sesederhana karena kemudi itu jadi barang tidak berguna. Kemudi tanpa tujuan di kepala nahkodanya, hanya seonggok kayu tidak bernyawa.

Bertahun-tahun mereka hidup pindah sana, pindah sini. Mereka habis akal untuk bertahan hidup. Sekarang, hidup nomaden ini adalah pilihan, bukan keterpaksaan.

“Jadi apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Abi.

Kateng menatap pada mantan awak kapal Bombang yang terlelap.

“Setidaknya kita harus menemukan pulau sebagai tempat bernaung. Berada di tengah lautan untuk waktu yang lama, penuh dengan resiko. Setahuku ada sebuah pulau bernama Selayar dekat sini. Pulau itu cukup terkenal karena sering menjadi tempat pelarian bagi orang-orang pribumi yang hendak mencari tempat jauh dari pengaruh Belanda.”

“Kita bisa ke sana lebih dulu. Tapi setelah itu?” tanya Abi kembali.

Kateng terdiam lagi, tapi setidaknya kali ini kemudinya bergerak.

“Setelah itu, kita akan pikirkan kembali. Kita lihat apa yang harus kita lakukan selanjutnya,” ujar Kateng.

“Ya, kau benar. Untuk sekarang, keselamatan adalah prioritas yang utama,” Abi bangkit berdiri.

Gadis itu berdiri mematung sejenak sebelum berjalan masuk.

“Ada masalah?” Kateng bertanya, menyadari keanehan perempuan itu.

Abi menarik napas. Matanya mengecil, mulutnya menganga. Sekonyong-konyong ia bersin. Cukup keras, sampai Pieter tersentak sejenak dari tidurnya.

“Ya ampun! Tidak kusangka gadis mungil sepertimu bisa bersin sekeras itu. Apa hidungmu itu terompet? Yang semakin kecil ukurannya, menghasilkan suara lebih nyaring? Coba beri aku nada do. Do….?” goda Kateng, menyeringai ke arah perempuan Belanda itu.

Abigail menekuk alis, melotot ke arah pemuda di balik kemudi itu. Abi berjalan mendekati pemuda itu dengan langkah tegap maju. Kemudian ia berdiri saat sudah berjarak tiga meter darinya.

An-Aanvallen[1]!” Abi membuat gestur tanduk dengan telunjuknya, menundukkan kepala, dan menyeruduk Kateng.

“Hei! Hentikan!” Kateng tergelak.

Kepala Abi mendarat di bahu Kateng. Tubuhnya tidak terpental. Serangan itu bahkan tidak sakit sama sekali. Tapi dorongan dari serudukan Abi tetap menimbulkan efek menjengkelkan.

“Berhenti, kambing bodoh! Hei!” Kateng mengusahakan tetap memegang kemudi.

Karena adegan itu, kapal mereka berbelok sejenak ke kanan. Tapi setidaknya malam itu berakhir menyenangkan.

 

Tidak butuh waktu lama untuk sampai di Selayar. Tepat ketika matahari baru muncul di ufuk Timur, sebuah pulau terlihat mencuat dari kejauhan.

“Wow! Pulau apa itu?” Pieter sudah siuman.

Seolah yang ia alami hanya masuk angin belaka, Pieter dalam keadaan lebih sehat sekarang.

“Kau sudah bangun? Itu adalah Selayar,” ujar Kateng, sembari mengisap Hawu Lalahe.

Wangi dari tembakau yang dibakar tercium dari sana.

“Kau seorang perokok? Tidak kusangka. Tapi kenapa wanginya agak berbeda?” Pieter bertanya, sambil menghampiri Kateng.

“Ini Lalahe. Cobalah,” Kateng memberinya selinting Hawu Lalahe. Ia kemudian membakar ujungnya dengan korek.

Pieter mencoba menghirup kretek tradisional tersebut. Ia terbatuk-batuk. Melihat hal itu, Kateng tidak bisa menahan tawa.

“Ya, kau akan terbiasa nanti,” ujarnya sembari menepuk bahu Pieter.

“Apa enaknya sih menghirup asap begini?” Pieter memberikannya lagi pada Kateng.

“Tidak ada. Hanya membuatmu merasa seperti pria dewasa.”

Lihat selengkapnya