Straat Makassar,
10 Februari 1815
Burung-burung camar berterbangan di tengah laut lepas. Suaranya terdengar hingga ke kapal seorang pelaut yang sedang terkantuk-kantuk di atas tiang sarang burung. Posisi itu adalah posisi tertinggi di kapal ini. Tugasnya seharusnya memerhatikan kejanggalan di laut. Namun ia terlalu bosan. Pertempuran yang pernah terjadi di markas Bombang dulu, membuat jumlah bajak laut berkurang signifikan. Ancaman utama dari seorang calon raja bajak laut itu, kini sudah tidak ada lagi. Belanda bebas melakukan pelayaran di laut sesuka mereka.
Di bawah, para pelaut yang lain duduk-duduk saja sambil bermain kartu. Biasanya mereka bersiaga selalu waspada. Tidak demikian dengan akhir-akhir ini. Bulan-bulan seperti ini jarang didapatkan. Jadi mereka bersantai sepuasnya. Seusai makan siang adalah waktunya tidur siang.
“Kapten, kita harus mengarah ke Timur Laut sebentar lagi,” ujar seorang awak kapal.
Orang yang disebut kapten tersebut menguap lebar-lebar.
“Baiklah. Tolong kau jaga kemudinya. Kau bisa bukan? Hanya tinggal belok kanan-kiri. Tidak sulit. Ikuti saja kompasnya.” kapten tersebut berjalan meninggalkan kemudi.
Ia beranjak masuk ke dalam kabin, berbaring di atas buaian. Topinya ia miringkan agar menghalangi cahaya matahari yang masuk ke mata.
Suasana itu damai dan tenang. Kapal berlayar bebas tanpa hambatan. Laut biru tua sedangkan langit berwarna biru muda. Keduanya terbentang luas begitu saja membuat dunia serasa lapang jika dipandang.
Mereka melaju semakin lama semakin lambat. Seolah kapal ini juga ikut terkantuk-kantuk dalam suasana tersebut. Kian lama, penjaga yang lain juga ikut tertidur. Suasana ini cocok sekali untuk tidur siang yang nyaman. Walau sinar mentari menerangi mereka dengan teriknya, angin laut begitu dingin. Udara laut tercium segar sepanjang lautan bebas tersebut.
Kapten kapal itu sedang membayangkan buah kelapa yang akan ia santap ketika sudah sampai di daratan. Ia juga begitu ingin memakan ikan bakar yang ditangkap nelayan-nelayan Bugis itu. Rasanya pasti lezat sekali.
Perlahan kapten hilang kesadaran. Ia jatuh semakin dalam ke alam mimpinya. Pada akhirnya ia terbebas. Ia tidur untuk jangka waktu yang lama. Dia bersumpah betapa mengerikannya hasil mimpi siang bolong itu.
Saat ia terbangun, atap anjungannya sudah hilang. Suara meriam terdengar sedang membombardir dari setiap sisi. Kapal sudah tenggelam setengahnya. Tiang layar roboh. Ada banyak bajak laut bersenjatakan pentungan dan tameng aneh muncul dari tali-talian yang berterbangan menuju kapal mereka, meluncur turun dari tiang kapal sebelah. Pasukan tentara Belanda sebagian besar terkapar di lantai anjungan dan buritan kapal. Kapal itu dihajar babak belur oleh serangan bajak laut. Kapten tersebut tidak habis pikir. Seumur hidup melaut, baru kali ini ia lihat kapal pecah seperti ini.
Ia berjalan keluar dari kabin tak beratap itu.
“Demi Van der Decken! Apa gerangan yang terjadi?”
Sebuah bola meriam melesat tepat di depan mukanya. Ia nyaris terkena bola besi itu kalau saja ia tidak melengos ke kiri sesaat sebelum hantaman terjadi. Bola meriam itu mendesing, yang kemudian diikuti dengan suara dentuman keras saat ia menabrak dinding kapal.
“Het spijt me[1]!” ucap seseorang dari sisi samping. Ia mengenakan baju tentara Belanda, namun anehnya orang itu berdiri di kapal musuh mereka.
“Apa yang kau lakukan? Kau nyaris membunuhku, bodoh! Serang boogeyman itu!”
“Oh! Aku boogeyman! Dia juga! Maaf hampir membunuhmu! Kami hanya mau rempahmu!”
“Dan senjata,” ujar seorang pria paruh baya di sebelah pemuda yang baru saja menembak meriam ke arahnya.
“Dan senjata!”
“Dan makanan, pakaian,” lanjut orang tersebut, yang kemudian diikuti oleh pemuda itu kembali dengan suara yang lebih keras dalam bahasa Belanda.
“Dan makanan, pakaian!”
Kapten kapal itu tidak menghiraukan lagi. Matanya menatap ke arah pemandangan lain. Orang-orang Bugis sudah memadati kapal mereka, membawa tameng dan pentung. Seorang berkaki kayu muncul juga, memberikan komando dengan bahasa yang ia tidak mengerti. Seorang bajak laut menyelamatkan salah satu pasukannya yang nyaris jatuh, namun kemudian memukul kepalanya dengan pentung. Pemandangan teraneh yang pernah ia lihat seumur hidupnya. Ia terheran.
“Lapor Kapten Gerrit, bajak laut ini menggunakan ramuan untuk membuat kita tidur. Waktunya juga sangat tepat, setelah kita makan siang. Seolah kita dikondisikan untuk mengantuk,” ujar salah seorang perwira.
“Benar juga. Orang barusan yang tadi itu ada di dapur bukan? Bajingan! Kita adakan serangan balasan!”
Di sisi lain kapal, Kateng sedang berjalan-jalan sambil marah-marah.
“Bukan begini caranya! Bukan begini! Ini tidak sesuai rencana!” Kateng mengomeli Pieter Vinke. Jarinya menunjuk-nunjuk.
Ia sedang mengarahkan meriamnya pada titik-titik vital kapal musuh mereka di sampingnya.
“Sudahlah! Keadaan berubah! Mana kutahu kalau mereka akan bangun lebih awal.”
“Sudah kubilang, kau kurang banyak menambahkan ramuannya! Karena terlalu lama, kau malah menyia-nyiakan kesempatan kita!”
“Tapi aku juga mau makan! Makanan mereka hari ini sangat lezat! Apakah aku tidak boleh menikmatinya sedikit saja!”
“Ya ampun, Vinke! Demi makanan, kau membuat seluruh rencana menjadi berantakan!”
Di belakang, Andreas menyipitkan matanya. Ia tidak pernah melihat Kateng semarah itu. Atau bahkan sebergairah itu untuk mengomeli seseorang. Pieter memang akhir-akhir ini membuat Kateng kesal. Untuk manusia yang selalu punya rencana, Pieter bukanlah orang yang mudah ditangani bagi Kateng. Manusia itu suka mengacak rencana yang telah ia buat baik-baik.
“Jangan bunuh siapa pun! Ingat tujuan kita! Ambil semua barang yang berguna, lumpuhkan lawan dengan pentung jika harus. Lindungi diri dengan tameng! Tameng itu tidak tertembus senjata. Lagipula dalam jarak dekat mereka tidak punya waktu untuk mengisi peluru!” Komando seorang yang satu kakinya disambung menggunakan kayu tersebut.
“Daeng Aning, kita menemukan kotak rempah-rempah,” lapor salah seorang awak kapal Bugis.
“Bagus. Lemparkan saja ke laut! Kelompok di bawah akan mengamankannya nanti!”
“Tapi rempah-rempah akan menjadi basah.”
“Kita tidak punya pilihan. Kita harus bersiap pergi dengan segera supaya bala bantuan mereka tidak mengejar kita.”
Konflik itu tidak layak disebut pertempuran. Lebih seperti pencurian yang sangat sopan. Entah kapan tahu-tahu saja Pieter dan kapalnya menghilang ditelan asap.
“Apakah ada yang tewas?” tanya seorang awak kapal pada temannya.
“Sepertinya tidak ada. Anggota awak kita lengkap. Mereka juga tidak terluka terlalu parah. Kebanyakan hanya mengalami luka di kepala karena senjata tumpul yang mereka gunakan.”
“Oh begitu ya?”
“Namun, kita kekurangan satu orang sepertinya. Siapa ya?”
Orang-orang menghitung–hitung jumlah perwira kapal yang ada di sana.
“Hei, ada yang melihat dimana kapten kita?” Seorang awak bangun dan menggosok kepalanya.
“Kapten Gerrit? Dimana dia?”
Di saat itulah, suasana kapal berubah jadi genting dan kacau. Semua orang mencari Kapten Gerrit, namun tiada yang menemukannya.
Kateng sedang mengomeli Pieter. Tangannya menunjuk-nunjuk, bergerak ke sana kemari seperti guru sedang mengomeli muridnya.
“Lihat! Lihatlah apa yang terjadi karena kau tidak mendengarkan instruksiku!”
Kapal Pinisi mereka telah melesat cepat. Kateng dan beberapa awak kapal lainnya sedang memilah-milah hasil jarahan mereka. Lambung kapal mereka penuh dengan peti-peti yang basah, berisi rempah-rempah. Selain rempah, senjata dan bubuk mesiu juga ikut kuyup.
“Ayolah, itu tidak seburuk itu. Kita masih bisa menggunakannya,” Pieter mencoba memberi pembelaan.
“Apa kau lihat jahe ini masih terlihat seperti jahe untukmu?” Kateng mengangkat seruas jahe yang sekarang bentuknya lebih mirip jari kaki raksasa basah kuyup yang berasal dari neraka.
“Itu masih bisa dijual. Coba saja,” Pieter membela diri.
“Tidak semahal yang seharusnya,” Kateng menghela napas.
“Sudahlah. Ia sudah melakukan tugasnya. Setidaknya kita mendapatkan semua barang yang kita mau,” Aning muncul dari balik tembok.
Kaki prostetik kayunya menimbulkan bunyi saat bertemu dengan lantai kayu.
“Baik! Baiklah! Semua itu bisa dimaafkan. Namun aku punya satu pertanyaan padamu, Vinke!” Kateng kemudian menendang sebuah peti kayu yang sudah kosong.
Di balik peti itu terlihat seorang sedang berlutut. Ia mengenakan seragam lengkap tentara Belanda. Tidak. Ia bukan hanya tentara. Ia punya jabatan yang cukup tinggi. Mulutnya tersumbat karena diikat dengan kain. Pun begitu matanya melotot dengan ekspresi takut dan marah di saat yang bersamaan.
“Mau kau apakan orang ini ada di kapal kita?” Kateng membuka kedua tangannya lebar-lebar, menunjuk pada tawanan yang mereka sekap itu.
“Oh, ini! Dia adalah komoditas terpenting dari semua hal yang kita dapatkan hari ini!”
“Kau bercanda? Kita mencari rempah, senjata, dan barang-barang yang bisa kita gunakan. Kita tidak butuh musuh untuk mengikuti kita ke sini!”
“Percayalah padaku! Dia bisa berguna untuk kita. Masakannya begitu enak!” Pieter menjilati bibir.
“Dia kapten! Tugasnya bukan memasak!”
“Tidak! Kau salah! Justru dia memasak makanan yang lebih enak dari koki kapal itu!”
“Kau-kau! Ya Tuhan, aku tidak tahan lagi! Apa sebenarnya yang kau lakukan, Vinke? Kau ini bodoh ya?” Kateng akhirnya naik pitam.
Bekerja sama dengan Vinke ternyata benar-benar memuakkan. Ia sempat berpikir. Kenapa ia dulu bisa memegang jabatan tinggi di kapal Bombang?
“Orang ini kapten di kapal sebelah! KAPTEN! Mereka pasti akan mencari tahu dimana keberadaan orang ini!”
Sang kapten tersebut mendengarkan saja, dengan matanya yang masih melotot.
“Apalagi matanya seram seperti ini! Apa dia tidak akan dirajam oleh orang-orang Selayar nantinya? Kau tahu ‘kan betapa susahnya mereka menerima kita pada awalnya! Sekarang kau malah membawa lagi musuh mereka. Terlebih orang ini adalah seorang kapten! Kapten kapal Belanda!” Kateng makin menjadi-jadi. Kemarahannya sudah lama ditahan. Bagi Kateng, improvisasi Vinke terlalu liar.
Ini bukan lagi keluar rencana. Ini keluar akal sehat.
“Aning, bantu aku,” Vinke merengek dalam bahasa Bugis. Ia meminta seperti anak kecil.
Aning tergelak dalam tawa.
“Jika kau laki-laki, maka kau hadapi konsekuensi ini sendiri. Aku tidak ikut campur,” ujar Aning.
“Tapi pemandangan ini bagus juga. Aku tidak pernah melihat Kateng semarah ini sebelumnya,” Seka menyambung kalimat itu dengan tawa.
“Betul, kukira Kateng manusia yang tidak bisa marah,” Aning menimpali. Awak kapal yang lain ikut tertawa di dalam sana.
“Ah, diam saja kau, Aning. Kusumpahi kau berjalan dengan dua kaki kayu besok,” Kateng menggaruk-garuk kepalanya.
Sesaat, bagian lambung itu pecah dalam tawa. Hanya Kateng yang masih berceloteh.
“Jika dia tidak ikut kita, maka kita harus melemparkannya ke laut,” ujar Andreas, mengikuti pembicaraan.
Tatapan mata dari Gerrit semakin gelap. Peluhnya menetes deras.
“Ya, paling dia hanya mati karena tenggelam. Tidak ada yang harus tahu bahwa ia kita culik. Lagipula, jika kau mati di dalam laut, ikan-ikan pasti akan dengan cepat mencabik-cabik potongan tubuhmu,” Andreas memberikan komentar.
Mata orang itu semakin lebar. Kepalanya menggeleng-geleng.
“Kau mau bicara sesuatu?” Andreas berjalan dan membuka tali yang mengikat mulutnya.
Ia menarik napas sejenak. “Jangan lempar aku ke laut. Tolong, apa pun selain itu. Aku, aku akan membantu kalian. Aku tidak akan menjadi beban!” ucap Gerrit.
Kateng bangkit berdiri dari duduknya. Ia membuka jemari tangannya dan meraih kepala Gerrit. Gerrit memejamkan mata sejenak. Kedua jari Kateng mengarah ke matanya. Namun kemudian, tangannya menuju ke rambut orang itu dan mengacak rambutnya.
“Baiklah,” Kateng menyeringai. “Jika sekali saja kau berpikir untuk mengkhianati kita,” Kateng menjambak rambut orang itu. Ia tatap dalam-dalam matanya.
“Ik zal je nek aan een anker vastbinden … en gooide je in de zee[2],” pungkasnya tanpa berkedip.
Gerrit diam membisu. Ia gemetaran, entah karena hukuman yang akan didapat jika ia berulah, atau karena ada seorang berkulit sawo matang mengancamnya dengan bahasa ibunya.
Kapal Pinisi itu bergerak cepat melintasi lautan. Ia bergerak menuju ke arah timur, kembali kepada pulau yang selalu ditumpanginya sejak ia dibuat.
“Pulau sudah terlihat. Kita harus menyalakan asap,” Kateng memberi komando.
Beberapa ikat rumput rawa dikumpulkan di bagian belakang kapal, untuk kemudian dibakar. Asap membumbung tinggi. Dalam beberapa saat, asap tersebut menyelubungi keseluruhan badan kapal. Kapal itu bergerak dalam bayangan kabut tebal, menuju ke pesisir pulau tersebut.
Sesampainya di dermaga, ada beberapa orang yang sudah bersiap untuk membantu memarkirkan kapal tersebut. Ada kapal-kapal lain yang berjejer di sebelah kapal raksasa mereka. Kapal-kapal tersebut beragam dan memiliki jenis yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Pun begitu, yang terbanyak adalah kapal Pinisi. Setidaknya ada delapan kapal berlabuh di sana, bergoyang-goyang karena ombak.
Lambung kapal itu terbuka. Kotak-kotak kayu terlihat berada di dalam sana. Kuli-kuli bertelanjang dada berdatangan untuk membantu mengangkat kotak-kotak tersebut. Mereka adalah penduduk asli Selayar.
“Angkat semua peti ini. Berhati-hatilah. Langsung jemur dan keringkan rempah-rempah yang masih bisa dipakai. Senjata, tolong di simpan. Bubuk mesiu, entahlah. Tinggalkan saja,” Aning dan Seka langsung memberi perintah pada warga lokal yang membantu.
“Daeng Aning, Kateng! Selamatkah semuanya?” tanya seorang pemuda usia belasan tahun bertanya dengan wajah sumringah. Ia berjalan mendatangi kapal dengan bertelanjang kaki. Rambutnya pendek, nyaris botak. Kulitnya sawo matang. Matanya agak sipit karena sering melihat sinar matahari. Ilyas adalah remaja berusia dua belas tahun yang periang.
“Selamat semua! Bagaimana kabar kalian di sini, Ilyas?” jawab Seka.
“Tentu kami sehat semua, Daeng. Baru saja ditinggal berapa jam. Biar kubantu,” Ilyas berjalan masuk. Ia ikutan mengangkat peti.
Di area pulau, warga desa sudah mempersiapkan kedatangan mereka. Banyak warga yang berkerumun, ingin melihat barang-barang baru apa yang dibawa oleh Kateng dan awak kapalnya.
“Hoy, Ilyas. Dimana Abi?” Kateng bertanya pada pemuda itu saat melihatnya lewat.
“Oh, ia masih di sekolah.”
“Sekolah? Belum balik?”