Sampah dan Bertuah

Astromancer
Chapter #25

Tunggang Balik

Hari sudah sore, tapi semangat kami masih banyak. Ada banyak hal yang telah kami lalui bersama sepanjang perjalanan ini. Perjalanan yang memberikanku pengalaman untuk bisa mengenal Anin lebih dalam lagi. Aku begitu menikmati hari-hari bersamanya.

“Ayo, Rafa. Kita masuk,” Anin menarik tanganku untuk memasuki sebuah restoran di kawasan Malino, Sulawesi Selatan.

Perjalanan melelahkan itu usai. Aku benar-benar gembira sekarang. Semuanya berjalan lancar. Pencarian berlianku, akan berakhir sebentar lagi. Aku hanya tinggal pergi ke titik terakhir yang dicatatkan dalam jurnal yang ditulis Abigail. Dari apa yang dituliskan, Abi menjelaskan secara eksplisit dimana berliannya berada. Ada satu halaman terakhir yang belum kubaca dari jurnalnya. Sebuah halaman dengan panah dan uliran-uliran. Tapi sepertinya itu tidak penting lagi. Setelah aku mengunjungi rumah ibu Anin di Malino, aku akan langsung beranjak ke Makassar. Di sanalah berlian itu berada. Anin berkata bahwa kami bisa mengendarai mobil milik keluarganya sesampainya di rumah ibunya. Namun, ada yang hendak disampaikan oleh ibunya kepadaku. Aneh bukan?

Aku membuka streaming video. Di sampingku, Anin duduk dengan cantiknya.

Hi everyone,” aku menyapa semua dengan bahasa yang lebih universal, setelah saran dari salah satu penonton.

hello!

Salam dari Jakarta!

Ini dia, manusia berlian!

Ganteng juga diliat-liat ya

Si anak haram, pencari berlian sudah datang!

Para penonton tidak lagi mencaciku seperti biasanya. Mereka jauh lebih ramah. Sepanjang aku berada di Selayar, ternyata kasus ini mencuat dan sempat menjadi cukup viral di Indonesia. Beberapa dokumen yang aku arsipkan di media sosial mulai diteliti oleh para arkeolog dan ahli sejarah. Mereka merasa ada potensi serius dari arsip-arsip tersebut. Walau menurut mereka dokumen itu tidak bisa ditinjau lebih lanjut tanpa adanya pemeriksaan secara fisik, hal itu sudah cukup untuk membuahkan harapan bagi para penonton bahwa ada berlian semahal itu di Indonesia.

Apa pun hal baik yang ada di Indonesia, akan digembar-gemborkan semua orang. Apalagi kalau ini menyangkut seorang bule sepertiku. Lambat laun, penontonku bertambah jumlahnya. Bersamaan juga dengan pengikutku di sosial media. Di sana, orang-orang terbagi menjadi dua kubu. Kubu yang mendukungku dan yang mengharapkanku jatuh.

“Aku ingin berterimakasih pada semua orang yang telah memberikan dukungan padaku. Kisahku ini akan menjadi sebuah sejarah. Di balik perjuanganku, ada kalian orang-orang yang pernah membantuku. Aku tidak akan melupakan jasa kalian semua. Termasuk orang di sampingku ini, yang menjadi pendukung moral utama dalam pencarianku selama ini.”

Di sebelahku, Anin tersenyum. Aku juga balas menatap ke arahnya, tersenyum juga.

Tunggu sebentar! Ini Aninhaha bukan?

Kok bisa kenal?

“Kita teman lama. Dan ya, betul. Ini Aninhahaha,” ujarku singkat.

“Dia adalah salah satu orang yang paling banyak membantuku sepanjang perncarian ini. Untuk kalian yang telah mendukungku, aku mengucapkan terima kasih untuk kalian semua. Terutama para penonton dari Indonesia, yang tidak pernah mencaciku,” kataku, mengucapkan kalimat itu tanpa pikir panjang.

Mendadak, orang-orang di restoran itu mendatangi kami berdua.

Mister, are you the diamond hunter?” tanya seorang remaja lelaki yang sedang menenteng-nenteng nampan berisi makanan, dengan logat Indonesia yang kental.

Aku menengok ke arahnya, agak kebingungan dengan maksud pertanyaan itu.

“Iya. Saya bisa bahasa Indonesia.”

Mendengar hal tersebut si anak laki-laki itu melotot. Matanya membelalak.

“Wah, bisa ngomong Indo? Ini beneran Mister Rafael Berger ‘kan?” tanya anak itu kembali.

“Nama gua Rafael Bergen sih, bukan Berger. Kanapa ‘dek?”

“Woi semuanya! Ini pemburu berlian! Rafael Berger!”

Tahu-tahu orang banyak langsung mengerubungiku. Mereka berdatangan dari seluruh penjuru restoran.

“Rafael! Ada Rafael Berger!” teriak orang-orang itu.

Aku dan Anin terjepit. Kami kehabisan ruang untuk bisa pergi dengan cepat.

“Mampus! Kita kemana, Raf?”

“Gua juga nggak tahu harus ngapain!”

Orang banyak itu berkumpul mengelilingi kami. Awalnya kukira aku hendak dipukuli ramai-ramai, atau mungkin diarak keliling kampung. Tapi ternyata mereka adalah penggemar yang mengikuti sepak terjangku selama ini. Orang-orang yang berada di dalam restoran itu, menonton banyak videoku. Entah sejak kapan, video-video yang kupublikasikan menjadi tren di media sosial mereka.

Aku menjadi semacam selebriti kecil. Malam itu, kami butuh waktu cukup lama untuk bisa pergi. Banyak dari mereka yang mengajak untuk berfoto. Mereka bilang ini adalah kenang-kenangan sebelum aku menjadi lebih terkenal setelah menemukan berlian tersebut. Hal itu kuanggap doa.

Ternyata ketenaran itu tidak selesai dalam semalam. Keesokan harinya saat kami hendak melanjutkan perjalanan, beberapa orang ada yang menyadari tampangku. Beberapa dari mereka mengajak untuk berswafoto. Kebanyakan adalah anak-anak muda. Lebih banyak lagi anak-anak kecil. Tidak hanya aku, tapi Anin pun juga kena.

Perjalanan ke rumah ibu Anin cukup menantang. Kami menumpang sebuah mobil milik salah seorang sopir kenalan Bute. Kami butuh beberapa waktu untuk bisa menemukannya. Setelah menyampaikan apa yang dikatakan Bute, ia akhirnya mengerti.

Sepanjang perjalanan, aku masih membuka-buka halaman jurnal Abigail.

“Baca mulu. Nanti pusing loh,” Anin mengusap tanganku.

“Nggak apa, aku masih mau membedah isi jurnalnya lebih teliti lagi,” kataku.

Anin menyandarkan kepalanya di bahuku.

“Santai aja dulu, kamu tuh diburu-buruin apa sih? Tempatnya juga sudah tahu bukan?”

“Iya sih, tapi rasanya ada yang janggal. Gimana kalau setelah kita sampai di sana, tetap nggak ketemu?” Aku masih berfokus pada halaman jurnal tersebut.

“Hei, hei,” Anin memutar kepalaku.

Everything’s gonna be alright!”

Mataku menatap manik matanya yang gemerlap itu. Sungguh saat itu rasanya semua berjalan lancar. Semuanya aman-aman saja, dan hidupku tidak pernah sebaik ini setelah aku hengkang dari Belanda.

Siapa yang sangka bahwa semuanya berputar dalam waktu beberapa jam saja.

 

Dataran tinggi Malino, Sulawesi Selatan.

Kami tiba di sebuah tempat yang penuh dengan pepohonan di sekitar. Kurang lebih sudah tiga setengah jam kami di mobil. Aku dan Anin tertidur sepanjang jalan, membiarkan sang sopir sedari tadi menyetir. Aku merasa bersalah, begitu juga Anin. Tapi sang sopir tersenyum saja dan merasa tidak begitu keberatan. Akhirnya, Anin mengepalkan sejumlah uang tunai kepada sang sopir. Ia mengangguk, tersenyum lagi, sebelum akhirnya mengemudikan mobilnya pergi ke rumahnya kembali.

Aku melihat rumah-rumah ala pedesaan di sekitar. Jalanannya hanya muat untuk satu mobil. Aspal jalanannya terbuat dari semen. Ada beberapa anak kecil yang sedang bermain di lapangan, menghentikan permainan mereka untuk melihat ke arah kami, tamu yang baru datang. Sinar matahari siang agak menyilaukan pandangan kami. Tapi rumah berwarna ungu tua itu terlihat di hadapan kami dengan jelas. Rumah ini adalah rumah tempat Anin dibesarkan dulu.

Ukurannya tidak terlalu besar, namun juga tidak terlalu kecil. Ukuran yang cukup untuk menampung sebuah keluarga tinggal di dalamnya. Rumah ini memiliki halaman yang cukup luas di bagian depan. Lapangan itu sepertinya pernah dijadikan lapangan bermain engklek, karena masih dapat terlihat bekas kotak-kotak yang tergambar pada tanah datar itu. Ada tirai bambu yang sudah usang di sisi kanan teras rumah.

“Ayo, kita masuk ke dalam. Dingin banget di sini ‘kan?” Anin menarik tanganku.

Kami berdua berjalan beriringan masuk ke teras rumah tersebut.

Sesampainya di muka rumah, seorang perempuan paruh baya datang keluar dari pintu. Ia mengenakan kaos berwarna coklat dan celana panjang berbahan kain tenun. Kacamatanya tebal, berwarna hitam. Rambutnya putih sebagian, tubuhnya agak sedikit gemuk. Tapi bisa kulihat diri Anin pada dirinya.

“Ibu!” Anin memekik girang.

“Astaga, Anin! Sudah sampai ya!” Ibu tersebut membuka tangannya, memeluk hangat anaknya yang sempat merantau bertahun lamanya.

“Anin bawain makanan, nanti kita bisa makan bareng-bareng ya!”

“Ibu ‘kan udah masak di rumah! Kamu ini beli makanan apa?” Sang ibu menepuk pantat Anin. Pemandangan yang menarik.

“Aduh! Anin cuma beli kue sama pisang madu.”

“Ya ampun, makanan jangan beli yang manis-manis, nanti kamu kena diabetes loh!”

“Anin ‘kan udah manis!”

Mereka kemudian tertawa, menepuk pundak satu sama lain.

“Rafa, udah lama nggak ketemu ya?” Ibu Anin mengulurkan tangan menyalamiku. Ada yang sirna dari wajahnya ketika tangan itu terjulur ke arahku.

“Iya, bu. Ibu baik kabarnya?”

“Baik kok. Kita masuk ke dalam ya,” ujar ibu Anin mempersilakan kami berdua masuk ke dalam.

 

Aku duduk di kursi meja tamu. Rumah ini cukup tenang, walau anak-anak bermain di luar.

“Nggak mau nih serius?” Anin menyeruput fla puding berwarna putih itu sambil menengok ke arahku.

“Enggak. Aku agak pusing sama perjalanan tadi,” terangku.

“Oke! Minum aja teh tawarnya tuh. Itu bisa ngilangin pusing,” Anin menunjuk teh yang ada di atas meja.

Ibu Anin muncul dari pintu kamarnya. Ia mengambil sesuatu. Sebuah album foto yang ukurannya cukup besar. Langkahnya pelan, sebelum ia akhirnya duduk di atas sofa. Beberapa kali kuperhatikan ia menarik napas dan menghela napas. Beberapa kali juga ia memerhatikan barang bawaan kami. Fokusnya senantiasa memandang pada pigura lukisan yang terbalut dengan kantong plastik besar punyaku, yang bersandar pada tembok.

Kami mengobrol sejenak, tentang berbagai macam hal. Khususnya tentang perjalanan ke sini, berapa lama aku di Belanda, mengapa sekarang di Indonesia, dan sebagainya. Di setiap pertanyaan, ibu Anin seolah mengulur-ulur percakapan dengan bahasan yang tidak begitu penting. Kupandang raut wajahnya yang gelisah. Anin pun juga menyadarinya. Sampai akhirnya Anin menghabiskan pudingnya, Anin meletakan mangkuk di atas meja.

“Jadi bu, kenapa kemarin aku disuruh untuk bawa lukisan ini waktu ketemu ayah di Belanda? Kenapa ya, kok lukisan itu mama minta untuk aku tinggalin di rumah Rafa? Ibu bilang mau jelasin bukan? Aku enggak enak banget tahu sama Rafa,” Anin menggiring percakapan ke inti permasalahan, alasan kedatanganku juga kemari.

Ibu Anin melepaskan kacamatanya dan menaruhnya di meja. Ia menunduk sejenak, sebelum menatapku dengan serius.

“Cerita ini panjang sekali, tapi ini penting untuk kalian berdua ketahui,” katanya memulai menjelaskan.

“Dulu, kita tinggal agak berdekatan. Masih ingat ‘kan rumah ibu sama Anin dimana?”

Aku mengangguk, mengiyakan.

“Iya, walau ada tembok pemisahnya, tapi jarak kita nggak begitu jauh sebenarnya. Aku bukan teman mama kamu, bukan juga teman papa kamu. Sebenarnya, aku nggak ada kaitannya sama keluarga kamu. Sampai ada satu hari dimana aku terlibat kecelakaan,” ujar ibu Anin sambil tersenyum.

Kami berdua mendengarkan dengan khidmat.

“Kecelakaan waktu aku masih SD ya, bu?” Anin bertanya, sambil mengingat-ingat.

“Bukan. Ini kecelakaan waktu kamu belum lahir, Annelies,” terangnya. Agak aneh mendengar ibunya mengucapkan nama Anin seperti itu.

Aku masih fokus ingin mendengarkan.

“Waktu itu, kamu harus mengetahui posisi saya, ‘nak Rafael. Aku ini baru berkeluarga dengan suamiku. Kami baru menikah tiga tahun lamanya. Kami menjalani hidup bahagia. Suamiku itu bekerja sebagai guru Matematika di BIU, sekolah internasional yang ada di Jakarta Barat. Ia mengajar dengan penuh dedikasi. Sering sekali aku melihatnya pulang dengan membawa kertas-kertas murid-muridnya. Ia juga tidak jarang tidur di sofa. Walau sibuk, ia suka pekerjaannya.”

Aku membungkuk mendekat.

“Suatu kali, ada seorang murid anak pejabat yang mendapatkan nilai jelek karena tidak pernah belajar dan mengumpulkan tugas. Anak ini meminta supaya sekolah menaikkan nilainya. Ia menggunakan koneksi dengan ayahnya supaya jalannya bisa dipermulus. Sekolah terbujuk dan mengikuti apa yang diminta oleh ayah anak tersebut. Namun suamiku tetap pada pendiriannya supaya nilai anak ini tidak dinaikkan seperti yang diminta. Terjadilah perdebatan yang cukup panjang, antara kepala sekolah dengan suamiku. Suamiku memiliki prinsip, bahwa untuk mendidik anak-anak di bangsa ini, kita tidak boleh mudah terlena. Kepala sekolah tidak memiliki cara berpikir yang sama. Hal ini membuat suami saya dipecat.”

Ibu Anin kemudian meminum sedikit teh hangat yang ada di atas meja.

“Itu sebenarnya tidak menjadi masalah. Karena sudah ada sekolah lain lagi yang akan menerimanya. Ketika pemecatan dilakukan, hari itu juga, suamiku berangkat menuju sekolah baru yang akan menerimanya. Namun di tengah jalan, ia malah tertabrak mobil. Ia luka cukup parah, sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Setelah koma tiga hari, ia mengembuskan napas terakhirnya. Hari-hari itu, adalah saat terberat dalam hidupku.”

Tangisannya tidak terbendung. Beberapa titik air mata jatuh menetes. Anin di sebelahnya mengusap bahu ibunya.

Lihat selengkapnya