Sampah dan Bertuah

Astromancer
Chapter #26

Kemana Semua yang Indah Pergi?

Mataku tertutup sebuah kain hitam. Bukan hanya kain penutup mata, namun juga sebuah kantong plastik hitam membungkus kepalaku. Aku terduduk di sebuah kursi dengan tangan terikat. Tempat ini sunyi sekali. Kelihatannya aku akan dibunuh.

“Sudah sadar?” ucap suara beratnya yang membahana di dalam ruangan sunyi ini.

Dengan satu tarikan, ia membuka kantong dan penutup mataku. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, menyesuaikan cahaya yang masuk.

Tempat ini, sebuah gudang. Lebih mirip bengkel. Atau sebuah garasi pesawat. Aku tidak tahu pasti. Namun tempat ini terlihat terbengkalai. Pencahayaan yang kami punya hanya dari lampu mobil yang menyorotku dari depan. Silau sekali.

“Kau membuatku jauh-jauh pergi ke sini. Sekarang coba katakan, apakah berlian itu berada di dalam peti ini?” Orang itu menendang-nendang peti yang kugali tadi.

Ia masih mengenakan maskernya. Dia masih belum akan membunuhku, jika aku bisa membuatnya berpikir aku tahu segalanya tentang berlian ini. Aku juga harus mengulur waktu agar ia tidak punya waktu sama sekali untuk membuka peti tersebut. Di dalam hati, aku hanya berharap mudah-mudahan saja ada salah satu penggemarku yang menyaksikan siaran langsung dan mengambil inisiatif untuk menelepon polisi.

“Kau bisa mencoba membukanya dan tidak akan menemukan apa pun,” ujarku acuh.

Aku menggertak. Di hadapannya, aku harus terlihat meyakinkan.

Ia balas dengan tertawa.

“Kau lucu, Rafael. Kukira kau orang gila yang tidak bisa melucu. Kita coba lihat, apa yang akan kutemukan di dalam.”

“Siapa yang mengirimmu ke sini?” tanyaku. Pertanyaan itu harus kutanyakan, bukan?

Dia perlahan mendekatiku. Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah pistol.

Bangsat.

Dalam satu tarikan, suara pistol meletus membisingkan suasana untuk sesaat. “Sialan,” aku mengerang.

Asap mengepul dari corong pistol tersebut, yang mengarah ke kakiku. Pahaku terluka. Darah mengucur. Jadi begini rasanya ditembak. Sakit sekali.

“Di sini, aku yang memberi pertanyaan,” ujar orang itu dengan dinginnya.

Aku meringis. Tubuhku sedikit merunduk berharap itu bisa meredakan rasa sakitnya.

“Kau tidak bisa menggertakku, Rafael. Aku tahu bahwa isi dari peti ini adalah berlian itu, iya bukan?”

Aku tidak menjawab, masih meringis.

“Baiklah, kita lihat saja apa isi peti ini.”

Ia berjalan dan membuka pintu mobilnya. Dari sana, ia mengeluarkan sebuah linggis. Orang ini bodoh. Kusebut dia Otak Linggis mulai dari sekarang.

Si Otak Linggis menggenggam pesawat sederhana itu di tangannya. Dengan suatu ancang-ancang, ia memukul gembok pada peti dengan sekuat tenaga. Beberapa kali ia melakukannya. Suara gembok berdentingan dengan linggis terdengar terulang terus menerus.

“Lemah,” aku mengejek. Kemudian meludah.

Orang itu kembali menghajarku. Kali ini dengan linggis di tangannya. Sebuah pukulan telak di bahuku. Bajingan ini. Ia bisa saja memberiku luka serius dengan linggis itu.

Lihat selengkapnya