“Seluruh dunia memainkan drama!”
- Gaius Petronius Arbiter
Dalam beberapa bulan itu, banyak hal yang terjadi. Hal-hal yang hanya bisa dimuat sebagian saja pada buku catatan Abigail. Tepat tanggal 7 April 1815, terjadi sebuah bencana alam yang dahsyat. Awan berubah menjadi hitam gelap. Langit kelabu. Sinar mentari jadi tidak terlihat. Pagi itu Abigail bangun menyaksikan betapa berbedanya langit Selayar dari biasanya. Gunung Tambora mengalami erupsi pertamanya.
Sebuah surat sampai kepadanya. Surat ancaman. Surat itu diantarkan oleh kurir surat agar bisa sampai Selayar. Selayar jarang menerima surat. Terutama karena tidak adanya pejabat Belanda yang tinggal di pulau itu. Di samping itu juga, penduduk di sini buta huruf. Kunjungan kapal pembawa surat cukup menarik perhatian para penduduk. Lebih lagi saat kapal Kateng berlabuh di sana. Karena sebuah kesalahpahaman, kapal pembawa surat itu ditembak meriam oleh Vinke. Ia menyangka bahwa itu adalah kapal Belanda yang hendak menangkap mereka. Jadilah Vinke dimarahi oleh Kateng.
Isi dari kapal itu hanya tiga orang. Mereka bukanlah prajurit. Hanya awak kapal yang memang bertugas untuk mengirimkan surat dan barang-barang lainnya. Setelah membayar kerugian dengan sejumlah komoditas rempah yang mereka miliki, kapal itu diperbaiki sebentar, untuk kemudian lanjut berlabuh ke tempat lain. Sepucuk surat dari Makassar, itulah yang diantarkan mereka.
“Dari siapa ini?” Kateng bertanya.
“Aku tidak tahu. Tidak ada nama pengirim. Hanya asal tempatnya saja.”
Kateng membolak-balik surat itu. Kemudian ia menyobek amplop putih yang membungkus surat tersebut. Ia perhatikan amplop itu baik-baik. Surat ini agak familiar.
Abi membacakan isi surat itu dengan seksama.
“Kepada Kateng. Aku tahu kau ada di pulau ini. Aku juga tahu kau orang yang mengambil harta karunku. Ini adalah peringatan. Berikan berlian itu padaku, dan kupastikan ibumu akan baik-baik saja. Kembali ke Rotterdam Fort. Kau punya waktu satu minggu.”
Kateng dan Abigail saling bertatapan. “Ini hal yang kutakutkan, Kateng,” ujar gadis itu, mengusap wajahnya.
Kateng membisu saja.
“Jadi, apa yang akan kau lakukan?”
Kateng masih membisu. Ia tidak menjawab barang sepatah kata.
“Ini tawaran yang berat, tapi,” Abi melanjutkan kalimatnya.
“Jika berlian ini bisa menebus keselamatan ibumu, aku bisa memberikannya pada Djikman.”
Kateng tidak langsung menjawab. Untuk beberapa detik, ia bingung harus merespon apa.
“Ibuku sudah memilih untuk berada di sana. Itu adalah hasil dari apa yang ia telah pilih. Aku tidak boleh membuatmu mengorbankan hal yang berharga untukmu.”
Abigail membalas dengan menggenggam tangan Kateng.
“Kateng, dia ibumu. Kita harus melakukan sesuatu selama kita bisa melakukannya,” ujar Abigail mengusap bahu Kateng.
“Ibuku mencintai Djikman. Aku tahu bahwa Djikman pun mencintainya.”
“Kau tidak bisa menjamin hal itu, Kateng. Orang bisa berubah. Apalagi dia adalah orang yang menjajah orang-orang sebangsamu.”
Untuk sejenak, Kateng tidak bisa menjawab lagi. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Seyogyanya ia menyelamatkan ibunya. Tapi bagaimana jika ibunya justru tidak mau diselamatkan? Semua ini pasti adalah jebakan untuknya. Terlebih di atas itu semua, ia tidak ingin Abigail terlibat dalam bahaya.
Di sisi lautan yang lain, sebuah kapal Inggris bernama HMS Pheony bergerak dari barat daya Sulawesi. Sebuah tulisan EID terpampang pada bagian lambung kapalnya. Ia sebenarnya bukanlah kapal militer. Lebih mirip kapal dagang. Namun persenjataannya lengkap. Meriam-meriam berbaris rapih di gudang senjata. Ada bola-bola meriam berbagai ukuran. Musket, senjata tajam, revolver, juga tersimpan di dalam gudang senjata. Kapal itu menombak perairan Nusantara. Ia sudah memasuki segitiga Laut Jawa, Flores, dan Selat Makassar.
“Kapten, ada badai hebat yang melanda kita. Apakah kita perlu untuk berteduh?”
Sang kapten menaikkan topi yang menghalangi pandangan matanya. Ia mengenakan topi wide-brimmed ala petani.
“Baiklah. Aku malas sekali dalam cuaca begini. Ayo kita mencari suatu pulau dekat sini.”
“Ada satu dekat sini. Menurut tahanan kita, pulau itu bernama Masalembu.”
“Aku tidak peduli. Kita kunjungi saja pulau itu. Cuaca ini menyebalkan.”
“Understood, sir,” ujar si pesuruh.
“Ubah haluan kita ke barat laut! Nyalakan kembang api!”
Seorang awak kapal mengarahkan sebuah selongsong ke atas. Sebuah bola api meluncur keluar saat sumbu selongsongnya dibakar. Bola api itu melesat jauh ke angkasa. Terlihat puluhan barisan kapal laut juga ikut menyalakan kembang api ke arah Barat Laut, mengekor di belakang.
“Setelah kita beristirahat, perjalanan ini akan kita lanjutkan untuk menuju Celebes.”
Asap abu-abu menyelimuti Celebes. Tahun 1815 adalah sebuah tahun tanpa musim kemarau. Gagal panen terjadi dimana-mana. Tentu saja, Bombang juga menyadari keadaan suram itu.
Dari anjong kapalnya, pria berkulit gelap itu memicingkan mata. Napasnya menderu-deru. Punggungnya basah karena gerimis. Kondisinya masih segar-segar saja. Seolah kepalanya itu tidak pernah tertembak. Hari pertarungan di kompleks Toni, awak-awaknya membawa jasad Bombang ke Sungai Ule yang jaraknya satu hari perjalanan jika menunggangi kuda. Ketika mereka melemparkan tubuhnya ke sungai itu, pria itu berdiri lagi dan berjalan kembali ke tepi sungai seolah tidak terjadi apa-apa.
Pemandangan itu mencengangkan semua orang. Pun begitu, awak-awaknya sudah mulai membiasakan diri melihat hal seperti ini. Untuk alasan seperti itulah, Andreas memilih untuk mengikuti Bombang. Banyak orang Belanda yang ditawan olehnya berakhir mengikutinya karena takut padanya.
Terlepas dari keberadaan tubuhnya yang di sini, pikirannya melayang ke beberapa hari sebelum hari ini.
Saat itu, sebuah kapal berisi barang-barang berharga berdatangan ke pelabuhan tempat kekuasaan Bombang. Kapal itu datang dengan sebuah bendera Belanda berkibar-kibar pada tiang kapal.
“Karaeng, ada sebuah kapal Belanda datang kemari,” ucap seorang bawahannya.
Bombang masih mengantuk. “Hanya satu?”
“Betul, Karaeng.”
“Hujani saja dengan meriam,” ucapnya tak acuh, memberikan perintah.
Dengan kalimat itu, pasukan-pasukan Bombang menyiapkan meriam. Namun, saat baru saja akan ditembak, seorang awak kapal dari kapal Belanda itu mengeluarkan kain putih dan mengibarkannya.
“Tunggu, jangan tembak dulu,” ujar Bombang saat ia keluar dari kamarnya.
Ia melihat lajunya kapal itu dari kejauhan.
“Biarkan mereka berlabuh di sini. Kita lihat apa yang hendak mereka tawarkan.” Bombang menyeringai.
“Tapi bisa saja ini perangkap, Karaeng,” ucap seorang bawahan berpendapat.
Bombang mengeluarkan pistolnya dan menembak kaki si bawahan.
“Palloreng[1]! Apa yang bisa satu kapal lakukan pada kita? Apa kau lupa seberapa kuatnya aku?”
Orang itu meringis kesakitan, untuk sesudahnya dibawa ke tempat lain dan diobati.
Kapal itu mendarat di pelabuhan. Seorang awak turun dari sana. Ia berkomunikasi dalam bahasa Belanda.
“Salam, Karaeng Bombang. Aku adalah utusan dari pemerintah Hindia-Belanda. Perkenalkan, namaku adalah Jan! Aku di sini hendak memberikan hadiah ini pada Karaeng,” ujarnya sambil menggerakkan tangan. Orang-orangnya di belakang membawa peti-peti berisi harta. Ada kain tenun, logam mulia, rempah, dan daging.
Bombang memerhatikan barang-barang yang dibawa ini. Dari sakunya, Bombang mengeluarkan lagi pistolnya. Ia membidiknya ke arah kepala si utusan itu.
“Apa yang kau inginkan?”
“Sebuah tawaran kerja sama untuk menggempur Inggris,” ucapnya dengan mata berkilat. Kali ini ia mengucapkannya dalam bahasa Bugis.
Entah apakah karena kalimatnya, atau cara ia mengucapkannya, Bombang perlahan menurunkan pistolnya itu.
“Tuan Djikman ingin mengundangmu untuk masuk ke kapal ini dan melakukan pembicaraan,” tutur Jan sekali lagi.
Walau aksen luarnya masih kental terasa, kalimatnya dapat dimengerti dengan baik.
“Masuklah. Tapi tolong jangan berpikiran untuk menyerang kami. Di sekitarmu, sudah ada tiga puluh kapal perang yang siap menggempur.”
“Kau mengancamku?” Bombang menarik kerah Jan.
“Ini bukan ancaman. Ini sebuah peringatan. Posisi kami pun sama berbahayanya denganmu.”
Di tengah percakapan itu, seorang pria yang sudah agak tua berjalan keluar dari kapal.
“Bombang,” ucap orang itu.
“Tuan Djikman?” Jan menengok sedikit ke belakang.
Bombang melemparkan Jan sembarang hingga ia terhuyung ke samping. Dengan langkah tegap dan cepat, ia berjalan ke arah Djikman. Baru sampai di depan Djikman, semua tentara di sekitar Djikman sudah memasang ancang-ancang untuk menembaknya.
Bombang melotot. “Jika kau benar adalah Djikman, maka aku harusnya membunuhmu sekarang,” ucap Bombang, mengeraskan rahangnya. Djikman tidak sedikit pun melihat ke arah wajah mengerikan itu.
“Apa kau tidak ingin mendengarkan tawaranku terlebih dulu? Kita bisa saling membunuh di sini tanpa ada hasil, jika itu yang kau inginkan,” Djikman mengeluarkan sapu tangannya, mengelap tangannya dengan santai. Ia tidak merasa terancam sama sekali. Jan menerjemahkan apa yang dikatakan Djikman.
Bombang mengangguk-ngangguk. Ia tahu ia mencium bau ketakutan dari Djikman. Pria tua ini sedang ketakutan akan sesuatu. Setidaknya itu yang suara-suara di kepalanya katakan padanya.
“Baiklah. Ayo kita bicarakan, kau putih.” Bombang melangkah masuk ke dalam kapalnya.
“Kau tidak membawa pengawal?” tanya Jan pada Bombang.
“Hanya seorang pengecut yang membawa pengawal,” ujarnya sambil menyeringai.
Setelah setengah jam berada di dalam, mereka sampai pada satu kesepakatan. Bombang menyetujui kerja sama tersebut. Walau ia masih menyimpan kecurigaan.
Djikman mengakhiri hasil diskusi itu dengan menghabiskan tehnya.
“Aku tahu kau mengenal Kateng,” ujar Djikman tiba-tiba.
Bombang cukup tersentak. “Kau kenal Kateng?”
“Dia anakku yang kau culik selama bertahun-tahun,” ujar Djikman sembari menatap tajam lawan bicaranya.
Bombang semakin terkejut mendengar hal itu. Namun kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
“Kau pasti sudah gila! Najis sekali Kateng memiliki ayah sepertimu.”
“Aku tahu dia pernah menjadi orang penting di kapalmu. Apa kau tidak penasaran dimana dia?”
Bombang langsung bangkit berdiri. Sontak semua tentara di sekeliling Djikman menodongkan senjata mereka ke arahnya lagi.
“Dimana dia?”
“Sebelum itu, kau harus menjawab pertanyaanku. Bagaiman caramu hidup kembali? Semua orang berkata kau sudah mati.”
“Pria sepertiku tidak akan mati.”
Djikman mengunci pandangannya. Mata itu membalas menatap. Mata Bombang yang penuh duri balas dendam. Djikman sampai pada suatu kesimpulan. Bombang peduli pada Kateng, mungkin sama besarnya dengan bagaimana ia peduli padanya.
“Baiklah, kita akan akhiri percakapan hari ini. Terima kasih untuk kesepakatannya.” Djikman baru saja hendak beranjak.
Bombang menghalanginya.
“Dimana Kateng?”
“Oh, kau begitu menyukainya ya? Sepertinya dia adalah wakil yang terpercaya, bukankah begitu?”
“Katakan saja dimana dia, sebelum kucongkel kedua bola matamu.”
“Tenang saja, dia aman bersamaku. Dia sudah hidup melupakanmu, tidak bisakah kau melupakannya juga?” Djikman berjalan mendahuluinya.
Bombang berdiri dengan lunglai.
Djikman keluar ditemani dengan keempat tentara yang mengikutinya. Saat mereka semua sudah keluar, Bombang tersenyum. Ia menahan gelak tawanya.
“Coba saja, siapa yang bisa ia bohongi? Dia kira aku bodoh?” ucapnya. Bahu Bombang bergetar di ruangan yang gelap tersebut.
Bombang menarik napas dalam-dalam. Ia sedang bermeditasi, melakukan kontak batin dengan roh-roh yang ada di sekelilingnya. Kebiasaan itu sering dilakukannya semenjak ia menemui seorang Mpu dari Jawa. Tubuh Bombang tidak seperti waktu itu. Ia banyak melakukan latihan fisik, sehingga tubuhnya jadi jauh lebih bugar. Ia berbadan tegap. Perutnya yang dulunya buncit itu, sekarang menjadi rata dengan lekukan-lekukannya. Ilmu yang ia pasang juga membantunya untuk mendapatkan tubuh seperti itu.
Dulu ia bisa berdiskusi dengan Kateng. Jika ini terkait dengan persoalan yang berhubungan dengan strategi, Kateng selalu bisa menawarkan solusi terbaik. Orang-orang yang menjadi awaknya tidak ada yang berpengetahuan sepertinya. Memang ia tidak bisa memungkiri kata-kata dari Djikman, bahwa Kateng adalah orang terpercayanya.
“Karaeng, kita akan segera sampai,” ujar seorang awaknya.
“Baiklah. Pastikan bahwa kalian dalam keadaan siap berperang. Negosiasi ini bisa saja berakhir buruk.”
Pasukan Bombang melabuhkan kapalnya di sebuah pulau yang nyaris tidak berpenghuni. Pulau bernama Dayang-dayangan menjadi pilihan tempat pertemuan antara dua pihak yang akan melakukan kesepakatan pada hari ini. Pulau ini strategis dan jauh dari pengaruh Belanda. Sebuah tempat yang cocok jika ingin berunding dengan Inggris. Jika saja undangan untuk perundingan ini tidak datang kepada Bombang, maka ia tidak akan pernah terpikir untuk menemui Inggris seperti ini.
Dengan cara yang kurang lebih mirip, Inggris mengirimkan kapal cepat mereka terlebih dahulu untuk menyusul Bombang. Hal itu terjadi beberapa hari lalu. Inggris dengan cekatan mengirimkannya berbagai harta. Bombang sedikit terpukau dengan kekayaan dari kerajaan itu. Ada emas, pusaka, senjata-senjata, rempah, jumlahnya sedikit lebih banyak dari yang diberikan Hindia-Belanda.
Inggris juga menjanjikan lebih banyak ketimbang Belanda. Di atas semuanya, Inggris adalah pihak yang masih asing baginya. Tidak seperti Belanda yang sudah terlihat akal busuknya. Pun begitu, Inggris jugalah bangsa penjajah. Mereka berdua sama-sama busuk bagi Bombang.
Melihat dari berbagai alasan itu, ia datang dengan tujuan untuk mendengarkan dulu tawaran mereka.
Bombang berjalan melewati barisan pohon kelapa yang ada di pulau itu. Di arah barat daya, ia bisa melihat banyak kapal yang melaju menuju ke arah pulau ini. Kapal yang jumlahnya cukup banyak. Kapal milik mereka ada dari berbagai jenis dan tipe. Walau di mata Bombang, ia tidak berjumpa dengan yang berbentuk Pinisi seperti miliknya.
Beberapa saat setelahnya, tibalah kapal-kapal pertama dari East India Company, atau EID. Sama seperti Belanda, mereka membawa embel-embel sebagai kongsi dagang. Ketika mereka berlabuh, beberapa awak kapal mulai turun. Dari tengah barisan tersebut, ada seseorang dengan topi tepi-lebar, lewat dengan santai.
“Hey! Dimana di antara kalian yang bernama Bombang?” tanya orang tersebut dengan petantang-petenteng.
Bombang ingin sekali mengamplas mukanya ke tanah. Tapi suara-suara dalam dirinya menahannya melakukan hal itu.
“Sebenarnya apa maumu?” Bombang berdiri berhadapan dengannya saat ini.
Dua orang pemimpin dari masing-masing pasukan dan armada kapal saling menatap. Thomas Malborough cengar-cengir melihat Bombang. Tubuh orang ini lebih kecil dari Bombang. Jika mereka terlibat dalam tarung sarung, Bombang pasti mencabik tubuh orang ini. Entah darimana kepercayaan diri si pendatang ini, ia tidak merasa takut sama sekali. Sungguh kesan yang sangat berbeda ketimbang dari pertemuannya dengan Djikman.
“Thomas Malborough,” ucap Thomas mengulurkan tangannya, ia masih tetap tersenyum.
Orang ini terlalu ramah, pikir Bombang.