Dalam hari-hari itu, abu vulkanik menghujani area Sulawesi juga. Para petani mengais tanah, menyingkirkan debu dari tanaman-tanaman. Orang-orang di dermaga menatap kapal kosong. Ini bagai hari kiamat. Semua orang serasa menahan napas, tercekik oleh abu pekat. Dokter menyarankan agar orang-orang mengenakan kain untuk menutup hidung dan mulut mereka. Setidaknya kain itu bisa mencegah abu itu terhirup. Setidaknya untuk bangsawan Belanda, mereka bisa mendapatkan akses kesehatan. Pun begitu, masih banyak orang yang jatuh sakit. Terutama penyakit sesak napas. Tidak terbilang banyaknya orang-orang Celebes yang jatuh sakit hari-hari itu.
Seorang pelayan berpakaian putih-putih sedang mengelap meja di kediaman Djikman. Tentu abu vulkanik juga masuk ke dalam ruangan kerjanya, sehingga harus dibersihkan. Si pelayan mengenakan masker kain berwarna serupa yang dikenakan semua orang.
“Kita akan berangkat segera. Ini adalah situasi paling genting. Dengan tipisnya jarak pandang, area pelabuhan bisa diambil alih siapa saja. Perketat penjagaan! Pastikan juga ada kapal-kapal yang bergerak untuk berpatroli di sekitar lautan,” Djikman memberikan perintah pada orang-orangnya. Ia beberapa kali mondar-mandir di ruangannya, sibuk mempersiapkan hal-hal yang akan dia bawa.
“Kita semua akan naik ke atas kapal terbaik yang kita punya: Vrij Ruchaver. Apakah semua meriam sudah disiapkan?”
“Sudah,” jawab seorang anak buahnya.
“Bagus,” Djikman berjalan cepat dengan menenteng sebuah tas kulit. Ia kemudian membuka tas kulit itu di atas meja.
“Kita akan bertempur segera. Kita akan habisi kedua musuh sekaligus, baik bajak laut ataupun Inggris. Biarkan mereka berpikir untuk bekerja sama dengan kita. Kita akan adu domba mereka dan biarkan mereka saling membunuh. Saat keduanya sudah habis amunisi, kita akan berikan neraka pada orang-orang itu,” Djikman mengelap pistolnya itu.
Ia mengisi butiran-butiran peluru pada revolver miliknya.
“Apakah terlihat tanda-tanda dari Kateng?”
“Sejauh ini, belum terlihat keberadaannya. Dengan tebalnya kabut ini, kita tidak bisa melihat kapal apapun yang datang.”
“Tidak masalah. Ia akan datang. Jika aku tidak di sini saat ia datang, bilang padanya untuk menungguku. Aku pasti akan segera kembali, setelah membereskan para cecunguk itu.”
“Baik, aku akan mengatakan itu padanya, tuan.”
Djikman berjalan santai masuk ke dalam kereta kuda. Ia dan pasukannya akan segera diantarkan ke kapal perang, jenis ship-of-the-line. Kapal perang itu menunggu tuannya datang. Kapal berukuran panjang seratus kaki, tinggi tujuh meter, berat sembilan ribu ton, dan berartileri tujuh puluh lima meriam itu siap menggempur siapa saja. Layar-layarnya megah, membuncah tinggi.
Di samping kapal itu, ada kapal-kapal lain yang juga berlabuh di sana. Kapal jenis fregat, galiung, brigantine, dan sebagainya. Tidak lupa juga ada beberapa kapal Pinisi yang ikut berlabuh di sana, hasil jarahan dari perang-perang yang dulu pernah mereka dapatkan.
Secara keseluruhan, kapal Belanda zaman itu memiliki kombinasi meriam yang dirancang untuk memberikan daya tembak kuat pada jarak jauh, serangan mematikan pada jarak dekat, dan kemampuan menyesuaikan tembakan untuk situasi yang lebih dinamis. Kapal-kapal tersebut memainkan peran utama dalam pertahanan laut Belanda di kawasan-kawasan strategis, termasuk wilayah koloni mereka seperti Hindia.
Seorang pelayan datang lagi kepada Djikman.
“Tuan, Langi ingin bertemu denganmu.”
“Tidak bisa. Aku sibuk.”
“Tapi dia bersikeras, tuan. Katanya ini penting.”
Djikman menghela napas. “Seberapa penting itu sampai dia tidak bisa menunggu?”
“Katanya ini tentang Kateng, tuan.”
Djikman berdiam diri sejenak. Tubuhnya berbalik dan menghadap kembali ke arah Rotterdam Fort.
“Baiklah. Aku akan segera ke sana.”
Djikman merapikan tas kulitnya itu. Menyimpan senjatanya di dalam tas tersebut dan berjalan keluar dari ruangannya.
Abigail terbangun dari tidurnya. Rasanya ia tidur untuk waktu yang cukup lama. Begitu nyenyaknya tidurnya sampai ia lupa berada dimana ia sekarang. Ia menatap lama ke dinding-dinding kamarnya tempat ia berbaring. Sebenarnya apa yang terjadi semalam? Ia tidak begitu ingat. Kepalanya agak pening.
Ia berjalan ke arah satu-satunya jendela di kamar itu. Jendela bundar yang sekarang mulai berembun itu. Ia mengusap-usap kaca dan mendapatkan laut yang diguyur hujan.
“Dimana ini?” Abi memegang kepalanya sekali lagi. Ia ingat. Ia masih berada di kapal Thomas Malborough. Dimana gerangan orang itu? Apa yang terjadi pada Pieter?
Ada banyak pertanyaan yang menghantuinya. Ia berjalan ke arah pintu sekarang. Langkahnya agak limbung karena ombak yang menggoncang kapal. Tangannya memegang grendel pintu.
“Terkunci?”
Sekarang ia ingat semuanya. Malam sebelumnya, setelah Pieter mendatanginya dan mengucapkan kata-kata itu, ia didatangi oleh Thomas.
Abigail menatap masygul pada kabut yang menghalangi. Sekarang berlian itu berakhir di tangan Bombang. Apa yang harus dilakukannya?
“Kau belum tidur,” seorang bertopi tepi-lebar datang dengan menenteng gelas.
“Belum. Apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku ingin memberikanmu ini. Minumlah, ini akan membuatmu hangat,” Thomas memberikan gelas tersebut.
“Terima kasih,” ucapnya masih agak takut-takut. Abi menerima gelas mug besi tersebut. Ia bisa merasakan hawa panas dan bau jahe menyeruak dari mug itu.
“Tapi itu masih panas. Biarkan dulu ia lebih dingin barang sejenak.”
“Sebenarnya, siapa kau ini? Apa yang hendak kau lakukan di Celebes? Mengapa kau menyelamatkan kami?”
“Wow, wow. Santai, tuan putri. Satu-satu! Aku ini hanya seorang pelancong dari Inggris,” Thomas tersenyum jahil.
“Tidak mungkin pelancong sepertimu bisa membawa armada sebegini banyaknya. Kau bukanlah orang biasa,” Abigail memicingkan mata. Ia sudah tidak menggunakan bahasa ini untuk waktu yang lama. Kebiasaan buruknya juga ikut terekspresikan dari nada dan intonasinya.
“Baiklah, baiklah,” Thomas bersandar pada pegangan kapal. “Kau punya daya observasi yang bagus. Tapi kurangilah untuk membentak. Hatiku sakit,” ia mengedipkan sebelah matanya.
“Siapa kau sebenarnya? Apa yang kau inginkan di Hindia?”
Thomas menatap ke langit berkabut. Ia menghela napas. “Mulai darimana ya,” ia bisa merasakan dinginnya malam dari kabut yang keluar dari mulutnya.
“Aku dulu hanya seorang pedagang sederhana. Aku berdagang kayu manis saja pada awalnya. Hingga entah di tahun ke berapa, usahaku mengalami keberuntungan. Dari kayu manis, ke lada, pala, jahe, dan rempah-rempah lainnya. Aku padahal menjual mereka sebagai tambahan pelengkap dalam minuman-minuman keras saja. Siapa yang mengira bahwa harga mereka akan melambung tinggi begitu sampai di Eropa? Dengan segera, aku kaya. Dan aku tidak tahu mau kuapakan uang-uang yang kudapatkan ini. Jadi, aku menyewa kapal-kapal dari imperium, berlayar ke Hindia, untuk mengamankan jalur rempah ke Inggris. Tak kusangka, imperium malah menitip tentara-tentara mereka juga ikut denganku. Sudah begitu, mereka juga meminjamkanku modal yang kubutuhkan untuk berangkat ke Hindia. Tawaran menarik, bukan? Sesampainya di Java, ternyata sudah ada banyak orang memasuki area itu. Aku pun memutar kemudi ke Celebes, pulau yang tidak terlalu menarik perhatian, namun juga kaya akan rempah.”
“Kenapa kau tidak ke Borneo, atau pulau sekitarnya yang menghasilkan rempah juga?”
“Wilayah itu aneh dan berbahaya. Ular beracun, hewan buas, bencana alam, belum lagi dengan orang-orang dengan kekuatan aneh. Aku tidak mau ke sana. Lagipula, aku selalu ingin ke Celebes. Aku ingin tahu gadis-gadis cantik di area ini.”
Abigail menghela napas kesal. Ia masih tidak mengerti apa-apa tentang Thomas. Ia tahu, Thomas menyimpan rahasia. Tapi bicara dengannya seperti bicara dengan anak kecil.
“Apa yang terjadi antara kau dan ayahmu?” Thomas balik bertanya.
“Aku tidak ingin membicarakannya.”
“Ayolah. Aku tidak akan membocorkannya.”
“Aku … tidak pernah membicarakan ini pada siapapun.”
“Kau bisa memercayaiku. Aku ingin tahu, apa yang membuatmu kabur dari rumah?”
Abi menatap refleksi dirinya pada air jahe. Ia perlahan menyeruput jahe hangat itu.
“Bagi ayahku, uang adalah jawaban dari segala sesuatu. Ia punya keyakinan bahwa setiap hal, bisa diuangkan. Apa saja bisa diselesaikan dengan uang. Obsesi ayahku akan uang mungkin berasal dari latar belakangnya yang dulu pernah miskin. Aku tidak begitu mengenalnya dengan baik. Ia tidak bercerita sebanyak itu. Di sisi lain, ibuku justru adalah orang yang sangat berbeda. Ia begitu dermawan. Ia memberikan bantuan pada orang-orang miskin. Namun sayangnya, ia sakit keras. Waktuku lebih banyak dihabiskan bersamanya, saat-saat ia masih hidup,” mata Abi menerawang pada laut jauh di sana.
“Aku turut berduka, maaf. Aku tidak tahu,” Thomas melepaskan topi dan menaruhnya di dada.
“Tidak, tidak apa,” Abi tersenyum sekilas.
“Saat aku remaja, aku memiliki seorang teman. Ia bersekolah di sekolah yang sama denganku. Ia seorang gadis yang cukup aneh. Kami berteman dengan baik. Namanya Hortense. Ia mengajariku banyak hal selama berada di sekolah dulu. Ia pun juga tidak begitu akrab dengan keluarganya. Sehari-hari kami sering keluar dan berbicara mengenai berbagai hal. Entah sejak kapan, Hortense mulai menyukai hal-hal yang membuat dirinya cantik. Kami belajar merias wajah di usia yang sangat muda. Walau hasilnya lebih mirip pemain sirkus,” Abi tergelak, tertawa sejenak.
Thomas di sampingnya tersenyum jenaka. Abi berdehem, “sampai dimana aku tadi? Oh iya.” Ia menyeruput jahe hangatnya lagi.
“Ayahku sekeluarga pindah ke Belanda untuk membuat urusan perdagangan lebih strategis. Kami tinggal di sebuah rumah di Amsterdam. Aku tidak menyukai ayahku yang suka menghalalkan segala cara dalam menghasilkan uang. Walau tidak menyukainya, setidaknya komoditas yang diperdagangkan ayahku masih bisa kutoleransi karena orang memang membutuhkannya. Itu semua berubah, saat aku tahu ayahku menjual dua hal yang paling kubenci.”
“Apa itu?” Thomas mengeluarkan sebatang cerutu.
“Bubuk mesiu,” Abi menarik napas dan mengembuskannya, “dan opium.”
“Wah, ayahmu ternyata jauh lebih busuk dari dugaanku,” Thomas tergelak, tertawa-tawa.
“Ia betul-betul menyukai uang!” Thomas sedikit terbatuk-batuk.
“Aku tidak suka dengan keputusannya itu. Bahkan ibuku juga begitu marah ketika mendengarnya memperdagangkan barang-barang perusak itu. Ia menjual bubuk mesiu pada orang-orang Inggris, sedangkan opium pada orang-orang Belanda. Semua ia lakukan dengan terencana. Dengan cepat, orang-orang Belanda menggunakan opium dimana-mana sebagai alat penghilang stress. Ia membeli bangunan, perkebunan, pabrik, dan aset-aset lainnya dari negara temanku. Sedangkan hal yang ia kembalikan ke Belanda adalah opium. Walau ia sendiri tidak menggunakan barang itu.”
Thomas membakar cerutunya. Kemudian mengisapnya dalam-dalam.
“Ayahku selalu menentang kami, saat kami menasehatinya untuk berhenti menjual barang-barang itu. Tapi ia tidak mendengarkan. Ia bahkan beberapa kali memukuliku. Saat akhirnya ibuku mengembuskan napas terakhirnya, aku memantapkan diri untuk keluar dari rumah. Ia pun pada akhirnya terkena batunya. Orang-orang Belanda membencinya karena memberikan pengaruh buruk. Tidak ada alasan untuk tinggal di sana. Aku menumpang sebentar di gereja, benar-benar memantapkan keputusanku pergi ke sini. Aku selalu ingin pergi ke Hindia. Tempat ini bagaikan surga, dengan kekayaan alam dan pemandangan indah yang selalu diceritakan ibuku. Ia bilang tempat ini harus ia kunjungi setidaknya sekali sebelum ia pergi meninggalkan dunia ini. Namun sampai akhir hayatnya, ia belum pernah menginjakkan kaki ke Hindia. Itulah alasanku pergi. Alasanku untuk meninggalkan semuanya,” Abi menenggak air jahe hangat, menuntaskan ceritanya.
Thomas berdecak kagum. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Sungguh, kau gadis paling gila, Abi.”
“Aku sampai di Hindia dengan menumpang kapal Pieter-Enkhuizen. Dengan kapal itu, aku mengalami banyak hal baru. Sepanjang perjalanan, aku semakin dimantapkan akan panggilan untuk mengunjungi Hindia. Kemudian aku bertemu seorang pelaut Bugis berkacamata. Aku mengerti apa yang ibuku bilang tentang Hindia. Tempat ini begitu indah dalam kemagisannya.”
“Jadi, kau sudah jatuh cinta? Kukira kau bersama si Pieter itu,” Thomas terkekeh-kekeh dengan cerutu di ujung bibirnya.
“Hei,” pipi Abi memerah. Matanya ia alihkan ke arah gelas di tangan. Ia meniup jahe hangat di tangannya.
“Aku tidak bilang aku jatuh cinta. Aku cuma bilang bahwa di situ aku mengerti apa maksud ibuku.”
“Ayolah, akui saja. Kau jatuh cinta juga ‘kan?”
Abi terdiam sejenak. Ia menatap gelas jahe yang bergoyang-goyang itu.
“Iya, sepertinya begitu,” gadis itu sekarang tersenyum hangat, membayangkan wajah Kateng dari pantulan air jahe tersebut. Ia begitu merindukannya, di sisi lain ia juga merasa bersalah karena meninggalkannya sendirian. Ia buru-buru menghabiskan jahe di dalam gelasnya itu, karena salah tingkah sendiri.
Thomas merentangkan tangan ke atas, “baiklah, nona muda. Aku benar-benar berharap kau bisa hidup bahagia.”
“Terima kasih,” Abi menguap panjang.
“Aku sangat mengantuk. Sepertinya aku ingin tidur setelah ini,” ucap Abi.
“Iya, aku tahu itu. Jahe memang bisa membuat tubuhmu lelah dan mengantuk.”
Pandangan Abi mulai sayup. Matanya jadi sulit dikendalikan karena berat.
“Aku sungguh berharap kau bisa bahagia.”
“Iya, aku juga—“ kalimatnya tidak selesai.
“Nah, kau harus pulang untuk bisa bahagia, Abi. Bukan di sini,” Thomas menahan tubuh Abi yang terhuyung jatuh ke arahnya.
“Bartholomew, kau picik. Tidak kusangka kau juga menjual opium,” pria Inggris itu menyeringai. Dengan satu tangan, ia mematikan cerutunya.
“Tapi setidaknya aku bisa percaya bahwa kau akan membayar mahal untuk ini. Sungguh sebuah keberuntungan,” Thomas membopong tubuh Abi ke dalam kamar. Ia kemudian membaringkannya di kasur, untuk setelah itu meninggalkannya sendirian.
Mulut Abi menganga ketika teringat lagi kejadian malam itu.
"Ah, kenapa semua pria suka mengerjaiku?" Abi mengacak rambut.
"Buka pintunya!" tangannya menggedor-gedor pintu kayu itu.
Terus terang sepanjang ia bertemu Kateng, pergi sendirian adalah keputusan terbodoh dalam hidupnya. Ia harusnya tahu, untuk tidak memercayai Thomas. Ia jatuh dalam perangkapnya.
Abi melongok ke arah jendela bundar barusan. Apakah Ia harus memecahkan jendela agar bisa keluar? Tapi Ia tidak yakin bisa selamat jika Ia melakukan hal itu. Pada akhirnya, ia hanya bisa menunggu.
"Pieter harusnya tahu aku hilang. Aku tahu, ia pasti mencariku."
Di sisi lain, Pieter dan Thomas sedang bersantai-santai menggoyangkan kaki.
"Jadi sudah berapa banyak pulau yang kau kunjungi?" Pieter berbaring di atas buaian sambil meminum kelapa.
"Oh, entahlah. Sudah puluhan, mungkin ratusan. Aku punya hobi yang buruk. Meloncat dari satu tempat ke tempat lain, tanpa pernah ingat apa yang kulakukan di sana. Kebanyakan kuhabiskan dengan menenggak minuman. Saat sadar, aku sudah tidak tahu apa-apa lagi."
"Ya aku tahu apa yang kau maksud. Inilah kehidupan," Pieter lanjut menikmati kelapa di tangannya.
"Tapi sebentar lagi kita tidak bisa bersantai. Ada pertempuran yang akan terjadi sebentar lagi. Aku ingin memintamu untuk ikut," Thomas menunjuk ke arah timur.
Pieter mengarahkan pandang pada arah telunjuknya.
Pria Belanda tinggi itu berjalan masuk ke dalam ruangan yang berada di gedung bagian Tenggara. Langkahnya cepat. Ia mengayunkan tangan, membuka pintu salah satu ruangan di sana. Lengannya memutar kunci gembok pada pintu.
"Apalagi yang hendak kau lakukan?" tanya seorang perempuan dari dalam kamar tersebut.
"Aku hanya ingin menyapa. Harusnya anakmu tiba di sini sebentar lagi. Bersabarlah," Djikman menutup pintu dan masuk ke dalam.
"Lagipula, harusnya aku yang bertanya demikian. Apa yang kau ingin bicarakan?"
"Oh, ada banyak hal yang ingin kubicarakan denganmu," Langi menjawab acuh.
"Tapi aku tahu itu percuma, karena kau tidak punya telinga. Sama seperti setiap malam-malam itu, kau selalu memaksaku tidur denganmu.”
Djikman membuang pandangan sekilas ke arah sudut ruangan. "Kau tahu sesuatu tentang berlian itu bukan?" Djikman tidak membuang-buang waktu.
Langi menatapnya. Matanya membara panas karena amarah. "Aku ... tidak ... tahu ... apa yang kau bicarakan. Apa kau tidak mengerti juga?" ucapnya dengan penekanan di setiap kata.
Djikman menaikkan satu alisnya. "Apa sebenarnya permainan yang sedang kau mainkan?"
Langi tidak menjawab. Ia menghela napas panjang, lalu berbaring di atas tempat tidurnya lagi.
Melihat itu, Djikman berbalik badan dan meninggalkannya sendirian. Ia berjalan keluar dan pergi menuju pelataran utama. Walau dahinya masih mengernyit sepanjang jalan menyusuri lorong-lorong pada benteng itu.
Dari balik sebuah tembok, seorang pelayan yang tadi mengelap meja kantor Djikman mengintip. Ia mengendap-endap ke arah ruangan tempat Langi berada.
Ia berpikir sejenak. Pintu itu masih terkunci dan ada dua orang penjaga lengkap dengan senjata yang berdiri di depan pintu tersebut.
“Bagaimana cara terbaik untuk membukanya?” tanyanya pada diri sendiri.
Ketika sedang lama berpikir, ia melihat ada asap legam yang agak berbeda warnanya dari abu dari gunung. Itu adalah asap kapal laut.
“Sebelum itu, aku harus mencari Abigail terlebih dulu,” dengan kalimat itu, ia pergi dan lanjut berkeliling ke seluruh area Rotterdam Fort.
Hujan sudah reda. Namun tidak dengan kabut tebal yang menutupi langit. Kapal-kapal Bombang melaju pelan. Jarak pandang yang buruk menyebabkan mereka harus berhati-hati. Nyaris semua kapal nelayan menghilang dari lautan pada saat-saat itu. Di kapal Bombang, mereka mengandalkan kompas, arah angin, dan elemen-elemen lainnya untuk menebak-nebak arah laju kapal mereka. Jalur yang mereka tempuh tidak begitu sulit. Hanya perlu untuk lurus, terus melaju ke arah timur.
Demikian juga kapal-kapal EID. Armada mereka yang banyak itu, bergerak pelan dalam kabut. Mungkin yang terpelan dalam sejarah pelayaran mereka. Situasi ini begitu menguji ketrampilan para nahkoda kapal. Abigail sudah kelelahan untuk menggedor-gedor pintu. Ia telah melakukan itu berjam-jam.
Kapal-kapal Belanda jenis Fregate, Brigantine, dan sebagainya sudah mulai berpatroli. Mereka tahu ini situasi yang genting. Total ada belasan kapal yang berlalu-lalang, mengamankan jalur perairan di Celebes. Jalur itu penting sebagai jalur rempah, sebuah untaian benang emas yang menjadi jalan kekayaan untuk Kerajaan Belanda. Apapun yang terjadi, mereka tidak akan kehilangan jalur ini.
Di sisi lain, ada satu pihak lagi yang ikut berlayar dalam cuaca buruk itu. Mereka semua dipimpin oleh seorang pelaut berkaki kayu. Armada kapal laut dengan banyaknya kapal Pinisi dan orang-orang Belanda serta Bugis yang bercampur jadi satu. Kapal-kapal itu mengikuti tuan mereka sebelumnya, yang menyuruh mereka untuk menyusul. Tanpa diketahui bahwa sebentar lagi akan ada pertemuan dari ketiga pihak yang akan melakukan perseteruan.
Setelah pencarian berjam-jam lamanya, Kateng mendapati bahwa Abigail tidak berada di Rotterdam Fort. Ia memutuskan untuk menaiki kembali kapalnya dan bergabung dengan para awak kapalnya yang menyusulnya. Kapal kecil itu bergerak pelan dalam sayup-sayup kabut yang menutupi. Mereka sudah menentukan tempat mereka akan bertemu, dan titik kumpul itu jaraknya tidak begitu jauh dari pelabuhan Paotore. Hanya berjarak beberapa kilometer saja.
Armada kapal Kateng telah sampai di titik temu. Mereka menyadari Kateng juga telah tiba di sana.
“Bagaimana. Apakah kau sudah menemukan Abigail?” Aning bertanya, sembari memberikan baju ganti untuk Kateng.
“Tidak ada tanda-tanda darinya. Aku sudah berada di sana berjam-jam, dan tidak menemukannya.
Aning ragu-ragu ingin bertanya.
“Tapi aku menemukan ibuku. Ia berada di sana, ditahan di salah satu kamar. Penjaga-jaga begitu awas. Mereka menjaga benteng itu begitu ketat. Pun begitu, lebih banyak orang yang pergi ke perairan.”
“Begitukah? Apa yang hendak mereka lakukan di air dengan cuaca seperti ini?”
“Mereka ingin menjaga area perairan terbebas dari ancaman pihak lain. Tapi ada sesuatu yang sangat menggangguku.”
“Apa itu?”
“Aku mendengar bahwa Djikman mengajak bajak laut dan Inggris untuk bekerja sama untuk kemudian akan menyerang mereka.”
“Apa maksudmu?”
“Bombang dan Inggris berpikir mereka bekerja sama dengan Belanda untuk menyingkirkan salah satunya. Jadi Belanda berpikir tidak akan ada yang menyerang mereka lebih dulu.”
“Situasi macam apa itu. Apakah Bombang dan Inggris memercayai itu?”
“Sepertinya begitu. Tapi itu tidak menjadi masalah kita sekarang. Kukira, kita harus cepat pergi dari tempat ini selagi bisa. Saat ini, kita harus menemukan dimana Abigail. Aku sudah tahu dimana Indoku. Ia berada di Rotterdam Fort, di gedung bagian tenggara. Kita membutuhkan suatu siasat.”
Aning mengangguk-angguk.
“Daeng, apakah menurutmu inilah waktunya? Berikan kami perintah. Aku dan Seka akan melakukannya,” ucap pria berambut panjang itu. Entah sejak kapan rekannya ini memanggilnya dengan Daeng ketimbang Kateng.
Kateng mengangguk, “terima kasih banyak Aning. Aku berhutang banyak pada kalian semua.”
Aning menyeringai, “apa yang kau bicarakan? Kami yang berhutang banyak pada kalian berdua. Aku tidak bisa membayangkan hidupku akhirnya akan terbebas dari kutukan Bombang. Pergilah dengan selamat, Daeng Kateng. Kita akan berjumpa lagi segera di tempat ini.”
Dengan itu, Kateng melanjutkan dengan menumpangi salah satu kapal milik awaknya. Di kapal itu ada Gerrit juga Andreas.
“Apakah kau menemukan Abigail?” Andreas bertanya.
“Tidak, Paman. Aku kira, aku kehilangannya,” Kateng mengusap dahi.
“Hei, jangan khawatir. Kau pasti akan menemukannya. Aku tahu dia baik-baik saja. Apalagi jika Vinke bersamanya,” Andreas menepuk bahu Kateng.
“Yang paling penting sekarang adalah melakukan apa yang bisa kau lakukan. Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Dan itu tidak selalu yang terburuk yang dapat terjadi.”
“Tapi bagaimana jika memang dia karam?”
“Jika pun demikian, Pieter pasti bisa melakukan sesuatu. Ia orang yang tangguh. Bisa saja bahkan ia menumpang di kapal seseorang. Kau tidak pernah tahu bagaimana dunia ini bekerja.”
Kateng menengadahkan wajahnya. Ia menatap mata Andreas.
“Kau benar. Mungkin saja ia berada di kapal orang lain. Semua tentara menuju ke perairan untuk mempertahankan Celebes. Kupikir kita harus ke sana juga. Bisa saja kita menemukannya di sana.”
“Nah, itulah yang namanya semangat. Kalau begitu, apa selanjutnya?”
“Kita akan menyusup ke kapal mereka dan mencari lokasi Abi.”
Pada perairan itu, tanpa disadari jarak armada kapal dengan armada lainnya sudah begitu dekat. Hanya berbeda beberapa mil saja. Namun tidak ada yang mengetahui hal tersebut. Semuanya menganggap bahwa mereka masih belum sampai pada tujuan. Tidak ada yang menyangka bahwa musuh satu sama lain berjarak begitu dekat.
“Laut ini terlalu tenang,” ucap Bombang, lebih pada dirinya sendiri.
Pada kapal yang lain, Djikman berdiri menatap kabut abu-abu tebal di hadapannya. Ia berdiri di dalam geladak kapalnya yang megah dan besar itu.
“Tuan, apa kita akan terus bersiaga di sini? Anda tidak mau kembali ke Rotterdam Fort? Sudah berjam-jam anda berpatroli di sini,” ucap seorang kelasi kapal pada Djikman.
“Iya, aku akan tetap berada di sini. Posisi ini tidak boleh kutinggalkan.”
“Baik, tuan.”
Thomas dan Pieter sedang pergi ke gudang senjata. Di dalam sana, terdapat banyak sekali persenjataan. Meriam, bola-bola besi, bubuk mesiu, senjata tajam, revolver, dan sekumpulan tombak-tombak besi yang tidak pernah dilihat oleh Pieter sebelumnya,
“Apa kegunaan dari semua tombak besi ini?”
“Oh itu? Itu bukan tombak besi. Mereka adalah roket. Kami menyebutnya Congreve Rocket. Kau mau melihatnya? Akan kuluncurkan satu buah ke langit.”
“Wow! Tentu saja aku mau melihatnya!”
Thomas membawa satu roket ke sebuah jendela yang agak besar di ruangan itu. Ia menentengnya bak itu adalah petasan untuk tahun baru. Dengan korek yang biasanya ia gunakan untuk menyalakan cerutu, ia memantik sumbu. Pria berjenggot itu cekikikan dengan mata seperti bocah kecil.
“Kau akan lihat ledakan!”
Jika saja mereka berdua tidak iseng menyalakannya, mungkin situasinya akan lain. Kapal mereka hanya beda beberapa meter saja dengan kapal Djikman. Ketika percikan api dari satu sumbu itu melesatkan roket Congreve, Pieter dan Thomas tertawa terpingkal-pingkal dengan mulut menganga. Roket itu meluncur ke atas dan menembus kabut.
“Tuan Djikman, sekarang adalah jam makan siang untuk awak kapal. Apakah anda ingin ke ruang makan sekarang?” tanya seorang kelasi.
Djikman mengangguk, walau matanya tetap meneropong ke kabut-kabut tebal di hadapan mereka.
“Jika terjadi sesuatu, saya dan nahkoda akan berjaga-jaga di sini. Tuan bisa makan terlebih dahulu.”
“Baiklah. Aku akan serahkan padamu,” ucap Djikman. Ia pun melangkah turun ke bawah untuk menuju ruang makan.
Saat-saat itu, sesuatu meluncur dan menyambar bagian haluan kapal. Ia meledak dengan suara nyaring. Setelah itu, api berkobar-kobar di kapal bagian depan tersebut. Djikman yang terperanjat dengan suara itu langsung berbalik badan dan pergi melihat apa yang terjadi.
“Ada serangan! Ada serangan dari barat daya!” teriak para awak kapal.
Seorang kelasi lain telah mengguyurkan air untuk memadamkan api.
Dengan itu, rencana Djikman makan siang tentu batal.
“Siap pada posisi. Kita akan lakukan serangan balasan.”
“Siap, laksanakan!”
“Siapkan meriam. Isi ulang amunisi. Bersiaga pada tempat masing-masing. Tarik tali, kita akan lakukan manuver ke Timur. Juru tinjau! Apa sebenarnya yang kita lawan?” teriak Djikman dari geladak.
“Di atas sini tidak terlihat, tuan! Kabut menghalangi pandangan. Tapi aku melihat ada tiang-tiang kapal tanpa bendera.”
“Berapa banyak?”
“Tiga, tidak-tidak. Ada sepuluh!”
“Siapkan senjata!”
Puluhan meriam sudah diisi dengan bola-bola besi berbagai ukuran. Moncongnya sudah mengarah ke arah serangan tadi.
“Lakukan serangan balik! Tembak!”
Dengan aba-aba itu, puluhan meriam meletuskan buah-buah besi. Bola-bola berat itu berterbangan.
Di sisi lain, kapal-kapal Inggris telah lewat dari sana. Mereka terhindar dari meriam-meriam yang asal tersebut. Tidak jauh dari sana, 50 meter ke arah selatan, kapal-kapal Bombang terhenti karena serangan-serangan meriam itu.
“Tunggu! Hentikan kapal! Aku mendengar suara meriam!” Bombang memberi perintah.
“Suara meriam? Darimana?”
“Apa kau tuli? Itu suara letusan meriam yang sangat banyak!” Bombang membentak.
“Pasti mereka adalah kapal-kapal Djikman. Bersiap-siaplah, kita akan segera masuk dalam pertempuran!”
Thomas juga demikian. Ia langsung memerintahkan agar kapal dihentikan.
“Hentikan kapal! Aku mendengar sebuah letusan. Sepertinya ada yang terkena serangan.”
“Serangan apa?” tanya seorang kopral.
“Serangan … dari … Congreve,” Thomas mengelap peluhnya.
“Apa? Tapi kita tidak menyalakannya.”
Thomas menunjuk orang di sebelahnya, “sudah kubilang itu ide yang buruk, Pieter!”
“Hei! Itu kemauanmu sendiri!” Pieter tidak terima disalahkan.
Kopral itu menekuk alisnya, tidak menjawab karena geram.
Sekarang situasinya menjadi pelik. Semua pihak tahu bahwa di sekitar mereka ada kapal-kapal musuh. Namun tidak ada yang tahu siapa yang berada di sekitar mereka. Kondisi ini membuat setiap pihak menghentikan armada masing-masing.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Pieter, menengok ke arah suara.
“Kita akan menunggu.”
Di kapal lain, Djikman juga berpikir keras. Ini situasi mencekam. Salah langkah sedikit, maka ia bisa kehilangan banyak kapal. Hal paling bijak untuk dilakukan adalah menunggu.
“Persiapkan pasukan musketer. Sebentar lagi kita akan masuk dalam pertempuran. Apakah ada pandangan baru? Juru tinjau?” Djikman berteriak pada orang di atas.
“Tidak ada, kapten. Tiang-tiang kapal itu sekarang menghilang. Tadi mereka sempat berputar ke arah timur laut.”
“Itu artinya, mereka kemungkinan ada di sebelah kanan kita,” Djikman berjalan terburu-buru ke tepian kapal sebelah kanan.
Tahu-tahu ada sebuah serangan meriam. Kapal besar itu berguncang hebat. Djikman agak terhuyung ke depan. Ia nyaris saja jatuh dari pinggir kapal.
“Meneer! Serangan dari selatan! Merapat kiri geladak! Segera!”
“Bajingan,” Djikman mengusap rambut. Ia mendatangi sumber serangan untuk segera memberi perintah.
Bombang dan para awak kapalnya memacu kapal mereka maju ke depan. Ia mencium bau musuh-musuhnya.
“Mereka akan kuhancurkan!” Bombang mengusap berlian di lehernya.
“Karaeng Bombang! Kita diikuti dari belakang! Ada kapal-kapal yang menembak kita dengan peluru-peluru!” ucap seorang jurumudi kapal.
“Apa katamu?”
“Mereka sekarang memutari kita. Lihatlah! Sisi kiri kapal!”
Terlihat orang-orang yang sedang membidik target mereka pada kapal Bombang. Total sekitar ada lima orang.
“Berlindung! Siapkan Kanna!” Bombang memberi komando.
Dengan perisai itu, tidak ada yang terluka setelah dihujani peluru demikian banyak. Sembari menembak, mereka terus berlayar hingga mendahului armada Bombang.
“Kurang ajar! Kita akan kejar mereka!”
Di kapal HMS Pheony, Thomas memberikan komando.
“Tunggulah. Sepertinya aku tahu apa yang terjadi. Kelihatannya anoa dan hiu rakus itu sedang bertarung.”
“Jadi, apa yang harus kita lakukan, sir?”
“Tunggu saja. Kita dalam kondisi yang diuntungkan. Biarkan mereka berkelahi sampai lelah. Kita akan berikan kehancuran mereka saat-saat itu.”
“Benarkah itu?” Seorang pria paruhbaya tahu-tahu muncul dari balik anjungan.
“Paman Andreas?” Pieter memiringkan kepala.
“Senang berjumpa denganmu lagi Pieter! Melompatlah ke laut sekarang!”