Suara kendaraan lalu-lalang menjadi bel yang membangunkanku di pagi ini. Aku masih merasakan rasa asin darah yang mulai mengering pada bibirku. Kakiku ngilu, bekas luka kemarin. Pandanganku perlahan menjadi masuk akal, setelah beberapa kali aku mengedipkan mata. Aku menatap langit-langit tempat ini, sebuah gudang di antah berantah.
Aku mengira semua hal hanya mimpi belaka. Namun ternyata itu kejadian sungguhan. Aku baru saja dirampok dengan begitu terencana dan terprediksi. Tapi lebih dari itu semua, aku akan merasa lebih lega jika mengetahui bahwa barang yang kucari selama ini dirampok daripada kenyataan bahwa barang itu ternyata tidak pernah ada.
Aku terduduk, mencoba mengumpulkan tenaga untuk menegakkan leher. Kepalaku masih sakit, begitu juga dengan pergelangan tanganku yang terbanting. Si Otak Linggis begitu perhatian, namun juga begitu sadis. Entah apa maunya orang itu. Ia memukuliku, bahkan menembakku, untuk setelahnya mengajakku mabuk dan mengobati lukaku. Kadang ada orang-orang yang jauh lebih seram dari orang gila.
Tanganku meraih-raih ponsel. Waktu menunjukkan pukul 11.12 WITA. Ini sudah siang. Tapi aku tidak begitu bergairah untuk melakukan apa-apa.
Aku menatap kosong pada peti yang berada di depanku itu. Peti kayu kosong yang kuharapkan dapat berisi Hortense’s Wens. Ini harusnya menjadi pialaku. Namun semuanya malah berakhir seperti ini. Apakah ada yang belum kulakukan? Apa ada bagian jurnal yang belum kubaca, yang belum kumengerti sepenuhnya.
Kuhabiskan waktu untuk bisa mengupas tuntas isi jurnal tak peduli seberapa hancur tulisannya. Kuhabiskan waktu, uang, dan tenaga demi satu batu itu. Pun begitu, aku hanya bisa berpasrah diri. Mungkin kesimpulan Natalie benar. Berlian sebesar itu, tidak mungkin ada di dunia. Tidak mungkin orang tidak menyadari berlian seperti itu. Mereka tidak akan melewatkannya. Barangkali seorang penggali taman menemukan peti itu sepanjang masa dua ratus tahun sejak Abigail meletakkannya di sana. Barangkali seorang tukang bangunan menemukan peti itu dan mengambil berliannya.
Pikiranku kacau, tapi ia tidak berhenti merongrong. Jika betul demikian, orang gila macam apa yang akan meletakkan kembali peti tersebut beserta isinya seolah tidak terjadi apa-apa?
Aku membuka jurnal Abigail sekali lagi. Jurnal Abigail yang terakhir menyimpulkan bahwa Abigail meninggal dunia karena penyakit. Kondisi saat itu di Hindia memang begitu parah. Gunung yang memengaruhi iklim seluruh dunia, Gunung Tambora, meletus pada tahun 1815. Hal itu tidak lama pula dari pertempuran yang dituliskan Abigail itu. Setelah letusan gunung, abu vulkanik yang tidak kunjung berhenti mematikan aktivitas semua orang. Abu gunung itu bahkan sampai ke Eropa, membuat langit kelabu untuk waktu yang lama. Tahun-tahun itu dikenal sebagai tahun tanpa musim panas. Dengan membayangkan daya ledak yang luar biasa itu, aku jadi mengerti mengapa tidak ada sumber sejarah yang memuat tentang semua ini. Semua orang terfokus pada bencana alam.
Dengan mengetahui hal itu, bisa hampir dipastikan bahwa jurnal Abigail juga berhenti di sini. Abigail De Jong menuliskan hal-hal yang sama yang juga terjadi pada Kateng dan awak kapal yang lain. Penyakit pernapasan akut mencekik semua orang.
Aku merangkak tertatih menuju ke arah peti kosong itu. Aku masih tidak bisa memercayainya. Ini bagai dikerjai dengan cara yang terburuk. Tanganku menggapai-gapai menyentuh peti kasar. Ukurannya sedang, tidak terlalu besar, namun tidak terlalu kecil juga untuk menyimpan barang. Aku mengintip ke dalam peti, mengangkatnya perlahan.
Kosong. Peti itu kosong.
Aku pasti sudah gila. Pencarianku berputar-putar Indonesia, dihujat satu negara, cuma untuk peti ini. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berteriak. Wajahku terbenam, mataku menatap kosong. Air mata pun kering. Peti ini cuma tong kosong. Sampah tak berarti. Setidaknya, emas yang ada di dalam bisa kujual. Namun itu pun juga diambil oleh Otak Linggis.
Jemariku masuk ke dalam peti. Mengais-ngais, membayangkan perasaan jika saja batu itu di genggamanku sekarang. Jika saja berlian itu di sini. Perasaan seperti itu rupanya tidak bisa kubangkitkan. Tekstur kayunya kasar. Jika tidak berhati-hati, jariku bisa terluka karena serpihan kayu. Tapi aku tidak peduli lagi terhadap apapun. Dengan sengaja, kugores kuku jariku pada dinding peti itu sehingga ia menjadi berdarah.
“Sebentar,” aku menyentuhnya sekali lagi.
Ada sesuatu yang berbeda. Ini bukan tekstur kayu yang kasar. Ada yang lain di sisi dinding depan peti tersebut.
“Apa ini?” aku mengecek semua bagian dinding. Dari ujung ke ujung.
Aku cepat-cepat mengeluarkan ponsel kembali. Dengan jari berdarah, kubuka kunci ponsel tersebut. Kunyalakan senter untuk memeriksa kondisi peti. Aku memerhatikan dengan seksama. Ini sebuah ukiran. Bentuk-bentuknya begitu aneh. Pola segitiga, melengkung, titik, ini pola-pola yang kuketahui. Begitu familiar.
“Ini sebuah tulisan!”
Tulisan ini ditulis dengan menggunakan aksara Bugis, Lontara. Bentuknya sangat familiar dengan pola-pola yang selalu kulihat sepanjang aku di Sulawesi.
Aku berpikir cepat. Apa arti dari tulisan ini? Aku menekan nomor telepon untuk menghubungi seseorang.
“Bute?”
———————-
Dalam beberapa jam kemudian, aku sudah bertemu dengan Bute. Ia adalah orang Bugis asli yang kukenal, yang mungkin saja bisa membantuku dalam menerjemahkan kalimat ini. Kami bertemu di pelabuhan tempat dimana kami pertama kali bertemu. Ia nampak lebih lelah, entah karena apa.
“Bute, gimana kabar?”
“Ah, lu sok basa-basi,” Bute tertawa dengan suara seraknya yang khas itu. Ia kemudian menjabat tanganku.
“Lu kayak habis dirampok, Rafa. Kenapa ini kaki lu? Muka lu? Babak belur begini?” tanyanya dengan raut wajah prihatin.
“Aman kok. Ini cuma ketabrak aja.”
“Heh,” pria tua itu mendengus.
“Lu nggak usah bohong. Gua bertahun-tahun jadi pelaut. Bisa bedain mana yang luka tabrakan, sama mana yang luka karena berantem. Lu ini kayak abis disiksa orang,” ia menyeringai lebar.
Aku diam saja, tidak mengiyakan. Walau agak terkejut dengan tebakan orang tua ini.
“Kalau lu gak ceritain, gua gak akan bantu ya,” ancamnya sambil senyum-senyum. Ia bercanda saja, aku tahu.
“Oke, oke. Jadi, begini ceritanya, Bute.” Aku menahan lengannya supaya ia tidak pergi kemana-mana.
Setelah sekitar setengah jam berlalu, Bute mengangguk-ngangguk lebih prihatin lagi dari sebelumnya. Wajahnya yang kusam itu sekarang semakin mengkerut mendengar ceritaku. Kami sudah berpindah tempat dan duduk-duduk di salah satu tempat makan di sana.
“Oke, Rafa. Gua akan bantu. Ini kedua kalinya ya, gua bantuin lagi? Kalau dapet berlian ini, gua cuma punya satu harapan aja,” Bute menghirup napas dalam-dalam.
“Sebenarnya, gua juga lagi pusing. Ada masalah sama usaha perkapalan gua. Ya lu tahulah, kapal pinisi itu gak selalu dipakai orang. Paling cuma buat yang mau wisata aja. Banyak kapal-kapal gua yang terancam sudah tidak bisa dipakai lagi, karena butuh reparasi. Sedangkan penghasilan gua dari kapal-kapal itu udah nggak pas lagi.” Bute menghela napasnya. Bersamaan dengan itu, asap dari rokok elektrik yang dipegangnya juga ikut keluar.
“Masalahnya sebenarnya bukan karena gua nggak punya uang. Bukan itu. Tapi, Rafa, ini masalah yang lebih dalam dari sekadar uang. Sekalipun gua sekaya artis atau pejabat sekalipun, pada akhirnya usaha kapal pinisi akan mati kalau ini terus berlanjut. Mereka berganti dengan kapal-kapal modern yang lebih canggih dan minim reparasi. Lu liat sendiri di pelabuhan. Berapa banyak jenis kapal Pinisi yang ada di sana?” ujarnya.
Jari telunjuknya yang bercincin hijau itu mengarah ke arah pelabuhan di depan kami. Memang betul yang dikatakan Bute. Dulu ketika aku bertolak dari sini pun kapal-kapal ferry lebih banyak merapat di dermaga itu.
“Jika lu sudah temukan batu itu, pesan gua cuma satu,” pria itu mengembuskan asap rokok elektriknya.
“Tolong ingat percakapan kita,” ucapnya dengan tatapan penuh harap.
Aku mengangguk. Entah harus kujawab apa kalimatnya. Yang bisa kulakukan hanya menganggukkan kepala saja, bukan?
“Sekarang coba lu kasih tahu, apa yang bisa dibantu?”
Aku mengambil peti kayu kosong itu dari lantai. Dari sekian banyaknya barang bawaanku, sekarang tinggal sisa tiga saja. Peti kayu ini, lukisan Hortense, dan tas ranselku, dengan tentengan-tentengan lain di kanan kirinya. Peti itu kuletakkan di atas meja dengan posisi terbuka.
Kepala Bute melongok untuk melihat ke dalam kotak kayu tersebut. Untuk beberapa saat, dahinya mengkerut dan balas menatapku lagi.
“Kosong isinya.”
“Ada sesuatu di dalam sini, Bute. Coba raba di sebelah sini,” Aku menunjuk bagian tempat terukirnya kalimat tersebut.
“Wah, betul,” Bute menyentuhkan jari-jari pada dinding peti tersebut.
“Ini aksara Bugis. Gua kenal tulisan ini,” ucap Bute sambil terus menggerakkan jarinya ke ujung kalimat.
“Iya ‘kan? Apa artinya Bute?” Aku sudah bersemangat.
Bute kembali duduk di posisinya semula.
“Ya, walau gua ini asli Bugis, gua nggak bisa ngebaca tulisan ini, Rafa.”
Aku tertunduk kecewa.
“Tapi bapak gua bisa. Mau coba gua tanya?” Bute menutup peti itu lagi.
Mataku langsung berseri-seri. “Boleh! Dimana dia sekarang?”
“Heh, berarti kita akan berangkat naik kapal lagi. Ayo, Rafa. Kita ke kapal sekarang,” ia sudah menggotong peti kosong yang ada di atas meja tersebut. Aku pun mengikutinya dari belakang.
————-
Ombak sedang tinggi-tingginya. Namun cuaca masih mendukung kami untuk pelayaran. Langit cerah terbuka, dengan warna biru sejauh mata memandang. Kapal Bute, Sabbath, telah mengarung ke laut lepas. Layarnya terbuka lebar. Kali ini, hanya ada kami berdua saja di dalam kapal. Tidak seperti waktu kami berangkat ke Selayar. Saat itu ada banyak anak kapal Bute. Jadilah, aku menjelma menjadi awak kapalnya. Ia memberikanku berbagai perintah. Dari menarik jangkar, mengguyur kapal, menarik tali layar, hingga berdiri diam. Aku mengikuti semua perintah itu, tanpa banyak mengeluh. Setelah mengarungi laut untuk satu setengah jam lamanya, Bute membiarkan kemudinya bergerak sendiri.
“Kita sudah akan sampai,” Bute menunjuk ke arah pulau di depan kami.
“Pulau apa itu?”
“Nanti, lu juga akan tahu,” jawabnya dengan suara seraknya yang khas.
Kami sampai di sana sekitar pukul 3 sore. Teriknya sinar matahari tidak bisa dibohongi. Cuaca panas negara tropis seperti ini kadang menyiksa bule-bule seperti diriku. Rasanya, tenggorokkanku sakit lagi. Ini seperti radang yang dulu kualami waktu berada di tempat Edi. Aku mengeluarkan botol minum dan menenggak air banyak-banyak dari botol plastik itu.
Sesampainya di dermaga, aku disuruh turun lebih dulu. Ia mau aku untuk mengikatkan tali kapal pada kayu. Di sana, tidak terlalu banyak kapal terlihat. Paling hanya satu dua kapal nelayan. Kapal-kapal itu dibiarkan begitu saja mengapung-ngapung di air dangkal. Sebuah jangkar kecil diturunkan agar kapal-kapal itu tertambat di sana.
Pulau ini adalah pulau yang kecil. Pun begitu, setelah berjalan lagi hingga ke bagian timur, aku melihat ada banyak pondok-pondok kayu. Mungkin sekitar tujuh pondok. Kami berjalan menyusuri pantai dan mengarah ke salah satu pondok itu yang berada di paling ujung.
“Lu tahu ini dimana?”
“Dimana?”
“Ini Pulau kecil Nambolaki. Kita akan ke rumah bokap gua,” ucapnya terkekeh-kekeh.
Aku tidak menjawab apapun lagi. Aku penasaran bagaimana rupa orang yang hidupnya sudah mencapai ratusan tahun. Apakah ia adalah orang tua renta? Orang tua yang sakit-sakitan? Namun tebakan itu salah.
“Halo, bapak tua,” ujar Bute. Ia menyapa pada satu-satunya kakek yang berada di dalam ruangan kecil di pondok itu.
Orang yang disebut bapak tua itu menengok ke pintu masuk. Tangannya kecil, tapi berotot. Untuk ukuran seorang kakek ratusan tahun, ini adalah orang tua yang cukup bugar. Jemarinya sedang memegang palu, paku, dan kayu. Ia sedang berkutat mengutak-ngatik sesuatu. Ia membalas dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Kakek itu bertelanjang dada, hanya mengenakan celana pendek berwarna coklat.
Bute terlibat dalam suatu percakapan dengannya. Saling balas-membalas, masih menggunakan bahasa tersebut. Demi melihatku, ia menunjuk dan entah mengapa, kakek tua yang tadinya ramah ini, berubah wajahnya jadi masam sekali. Ia meletakkan palunya dan menunjuk keluar. Dengan suara keras ia membentak-bentak. Aku masih berada di luar, belum menginjakkan kaki ke pondok. Aku bingung apa yang sebenarnya terjadi. Bute kemudian balas membentaknya. Aku sedikit demi sedikit melangkahkan kaki lebih jauh lagi dari pintu. Namun di tengah perdebatan itu, Bute berhenti dan menengok ke arahku.
“Mana kotaknya? Kotak, kotak!”
Aku buru-buru meberikan kotak itu pada Bute.
Bute masih lanjut membentak-bentak, sambil menunjuk-nunjuk kotak. Jemarinya berputar-putar. Kadang kotak itu ia goncang-goncangkan. Kadang ia tepuk-tepuk. Si kakek tua tidak mau kalah. Ia juga menepuk-nepuk dinding kayu pondok tersebut. Aku masih tidak tahu apa yang terjadi. Ingin kutanyai Bute, masalah keluarga apa yang sebenarnya sedang mereka perdebatkan?
Tapi mendadak situasi berubah. Si kakek tua itu tiba-tiba menerjang Bute. Ia mengambil palu dengan tangan kirinya, dan berjalan maju dengan langkah besar-besar.
“Pegang dulu ini! Pegang!” Bute memberikan kotak itu padaku. Tapi aku kurang cepat memegangnya sehingga kotak itu malah jatuh dan mengenai kakiku.
Aku refleks memegang telapak kaki, meloncat-loncat kesakitan hingga terjatuh di atas pasir. Tubuhku terguling-guling saat Bute dan bapaknya itu bergulat dengan satu sama lain. Bagai pesumo, si kakek mendorong anaknya itu dengan segenap kekuatan yang ada. Sesekali ia menendang juga. Bute menahan mati-matian posisi itu. Mulut mereka masih berkomat-kamit dengan bahasa aneh. Ketika Bute sudah berada di luar pondok, kakek tua itu menutup pintu dan menguncinya. Itulah akhir dari perdebatan mereka. Suasana lengang seketika.
Bute membanting vapenya ke tanah.
“Sialan!” wajahnya geram, merah padam.
“Ayo, Rafa!” ajaknya. Ia berjalan meninggalkanku. Kakinya melangkah ke arah kapal.
“Apa sebenarnya yang terjadi?” Perlahan-lahan aku bangkit dan menenteng-nenteng peti kayu itu.
“Kakek ini, sok jagoan dia. Gua akan ambil senapan!” Bute masih terus melangkah dengan langkah tegap maju.
Aku menekuk alis. “Hah? Kenapa? Ada apa sebenarnya? Weh, Bute!”
“Gua salah sebut negara. Harusnya gua bilang aja lu orang Indonesia. Gua lupa, kakek bangkotan itu paling nggak suka sama Belanda. Dia nggak mau lu masuk ke dalam. Dia malah ngusir kita. Kakek bangkotan itu memang kelewat kolotnya. Dikira Belanda mau ngejajah Indonesia lagi, apa?”
Dengan penjelasan itu, rasa penasaranku sedikit terpuaskan. Tapi Bute ini terbilang kelewatan. Kami sampai lagi di pondok, kali ini sudah membawa senapan. Bute pikir si kakek akan terkejut dengan senapan itu. Ternyata si kakek sudah berada di luar. Ia menenteng badhiknya. Terulang lagilah pembicaraan seperti tadi. Mereka berceloteh dengan bahasa yang aku tidak paham sama sekali. Ini situasi menjengkelkan, sekaligus mengkhawatirkan.
Setelah saling lempar kalimat, entah di kalimat yang ke berapa, Bute menembak senapan itu. Atap pondok rusak sebagian. Tidak sampai hitungan tiga, kakek tua langsung mengejar kami dengan badhiknya. Ia lari seperti kesurupan.
“Lari, Rafa! Lari!” Bute tunggang langgang meninggalkanku sendirian.
Aku masih celingak-celinguk, bingung akan apa yang terjadi. Tapi naluriku mengatakan untuk terus berlari. Kakek itu mengejarku. Badhiknya mengayun mengikuti irama tangannya. Tidak pernah kusangka dikejar kakek tua pendek, memegang sebuah badhik dengan langkah cepat begini, bisa menjadi pengalaman traumatis seumur hidup.
Aku tidak peduli lagi dengan barang-barangku. Semua kutinggalkan. Kakek ini lari bertelanjang kaki. Jarak kami barang hanya beberapa meter saja. Sambil mengejar ia menyumpahiku dengan makian Bugis.
“Lari terus, Rafa! Lari! Jangan berhenti sampai dia menghilang!” Bute berteriak dari ujung sana. Napasnya ikut terengah-engah.
Kadang dengan bahasa Belanda, kakek itu mengutuk.
“Godverdomme!” bentaknya. Kemudian badhiknya itu melesat dari tangannya, berputar-putar ke arah punggungku. Aku masih beruntung, badhik itu tidak pernah sampai padaku.
Entah apa sebenarnya salahku ini, tapi proses pengejaran itu berlangsung beberapa menit. Kakek tua tidak menyurutkan semangatnya untuk membunuhku. Kami berlari mengelilingi pulau. Aku bisa melihat Bute malah justru bersembunyi di balik pondok dan tidak menghentikannya. Lukaku yang belum sembuh betul malah jadi bumerang.
Karena situasi fisik yang kurang menguntungkan, aku terjatuh berguling. Pasir-pasir panas itu menempel di tubuhku. Aku ingin segera bangkit dan berlari lagi, tapi kakek itu sekarang sudah ada di hadapanku. Ia juga terengah-engah. Peluhnya menetes. Kulitnya yang hitam itu memantulkan sinar matahari.
“Mau ngapain kamu ke sini lagi?” tanya kakek itu dengan bahasa Indonesia yang lancar.
“Ampun, pak … ampun … saya … cuma orang biasa. Saya mau minta … tolong!” kataku sambil berusaha mengatur napas yang tercekat. Peluhku deras menetes, membasahi baju.
“Kamu pergi dari sini sekarang juga! Orang Belanda tidak boleh ke sini lagi!”
Bute berlari-lari dari belakangnya. Ia mengendap-endap, kemudian membekap si kakek dari belakang. Kakek itu bergulat dengannya. Namun Bute tidak membiarkannya lepas. Setelah akhirnya beberapa saat lewat, fisik kakek itu melemah. Ia menjadi lemas dan terkulai di pasir. Mataku mengedip-ngedip, masih tidak percaya apa yang terjadi.
“Ayo, Rafa. Orang ini belum mati kok, tenang aja. Gua cuma bikin dia keabisan napas sebentar.”
Aku menggelengkan kepala.
“Kita seret dia ke pondok sekarang. Iket kaki tangannya. Gua tahu cara supaya dia mau bantuin kita!”
Sekali lagi aku hanya menurut. Sembari mengikat kaki dan tangan kakek malang itu, aku bertanya-tanya. Sebenarnya apakah betul kakek ini sudah berumur ratusan tahun? Kuharap kakek ini tidak kena serangan jantung.
——————
Hari itu berlalu cepat. Setelah kami mengikat si kakek, aku dan Bute makan ikan bakar di pinggir pantai. Kami menumpang di rumah si kakek yang tidak terkunci. Suara api dari kayu api unggun bersahut-sahutan dengan suara ombak pantai. Langit menggelap. Sebentar lagi magrib.
Setelah beberapa saat, si kakek menengadahkan kepala.
“Sudah sadar?” tanya Bute sambil menggigit ikan bakar di tangannya.
“Mau ngapain kalian di rumahku? Tidak sudi ada orang Belanda di sini! Pergi!” Kakek itu meludah.
“Hei! Tenang dulu! Biarkan dia bicara!”
“Tidak! Orang Belanda harus pergi!”
“Sabar dulu! Dengarkan dulu kita mau ngomong!”
“Pergi sekarang! Pergi! Belanda kurang ajar!”
“Saya orang Indonesia!” Aku berteriak, membentak. Sontak itu membuat hening suasana.
“Saya bukan orang Belanda. Saya besar di Indonesia. Saya tumbuh di sini. Saya belajar dari negara ini! Saya hanya memiliki warna kulit seperti orang Belanda. Apa saya tidak bisa jadi orang Indonesia?” Aku sudah geram. Kakek keras kepala ini benar-benar menyebalkan.
“Tahu apa kamu soal Indonesia? Dari mana asal kamu? Karena kamu ada kepentingan dengan saya, makanya kamu bilang kamu orang Indonesia, bukan? Sama saja kamu dengan semua orang Belanda.”
Kali ini giliran aku yang terdiam. Tapi mataku tidak berhenti menatap mata kakek botak tua bangka ini.
“Heh, sudah. Bapak tua, kita ke sini cuma mau minta dibacakan tulisan ini,” Bute mengangkat kotak dan memberikannya pada ayahnya.
“Di dalam kotak ini ada tulisannya. Tolong bacakan saja!”
Si kakek menerawang untuk membaca tulisan di dalam.
“Nih, sebentar. Gua terangin,” Bute menyalakan senter dari ponselnya.
“Apa tulisannya?” tanya Bute antusias.
“Tulisannya,” si kakek menatapku sekarang.
“Belanda bajingan,” ujarnya dengan mata merahnya memandangku.
Aku menghela napas, mulai kehabisan kesabaran. Jika dia bukan bapaknya Bute, sudah kucelup kepala botaknya itu ke dalam air.
“Toa, ayolah! Dia bisa menemukan berlian!”
“Berlian? Berlian apa? Peduli apa aku sama berlian? Mau yang kau cari tahi juga, aku tidak peduli! Aku tidak sudi bantu Belanda macam kau!”
Tahu-tahu tanganku sudah bergerak tanpa kendali. Kedua tanganku mencekik leher si kakek ratusan tahun itu. Tidak peduli dia akan mati atau tidak.
“Kasih tahu isinya, kakek bangkotan!”
“Tidak!” Ia menggeliat berusaha melepaskan diri.
“Kasih tahu!” Aku mengguncang-guncang tubuhnya.
“Rafa! Sabar! Tenang!” Bute melepaskan tanganku.
Aku kembali duduk ke posisi semula.
“Sabar, Rafa! Kita harus bujuk dulu pelan-pelan!”
Aku lanjut memakan ikan bakar. Napasku masih terengah-engah.
“Kita nggak bisa tanya orang lain? Yang bisa baca tulisan ini?”