“Baru kali ini gua denger negara hampir ngutang sama satu orang!” teriak si pembawa acara berkepala botak bernama Babeh itu. Untuk sejenak, suasana dalam ruangan podcast itu ramai oleh suara tawa para kru dan penonton. Beberapa orang terpingkal-pingkal. Babeh sendiri mengetuk meja dengan tangannya.
“Terus, gimana itu cara kerja sistemnya? Kenapa jadinya kok negara ini berhutang ke lu?” tanya Babeh sekali lagi.
Di dalam ruangan ukuran lima kali lima meter persegi itu, seseorang terduduk berhadapan dengan Babeh. Ini acara talkshow bernama Babeh Bacot. Orang itu mengenakan kemeja batik berwarna merah cerah, dengan ornamen Mega Mendung dan uliran-uliran lain. Rambutnya disisir ke atas dan sudah diberikan powder rambut. Ada cincin emas berbatu merah muda pada jari telunjuk kanannya. Sebuah gelang berwarna biru dengan pola-pola Balo Renni dari Bugis melingkar pada pergelangan tangannya. Ia tersenyum, sedikit tertawa pada pertanyaan konyol yang ditanyakan oleh Babeh, si pembawa acara. Setelah suasana sudah mulai tenang, Babeh menatap orang ini, menunggu jawabannya.
“Bukan negara yang berhutang ke gua. Gua yang berhutang ke negara ini,” begitu jawabnya.
Jawaban itu sedikit membingungkan sang pembawa acara sampai ia harus bertanya lagi.
“Maksud lu? Gimana?”
Orang itu mengusap pelan cincin pada jari telunjuk kanannya. Ia tatap lawan bicaranya.
“Berlian itu memang adalah punya bangsa ini. Gua cuma mengembalikan apa yang seharusnya dimiliki oleh negara ini. Selebihnya, gua cuma beruntung bahwa gua orang yang bisa membawa berlian itu kembali ke tempat seharusnya.”
Mendengar itu, si pembawa acara berdecak kagum dan menggeleng-geleng.
“Kenapa ya, orang kayak lu ini, jarang banget ada di Indonesia?”
“Gua bukan siapa-siapa,” ucapnya tersenyum sambil meminum air yang disediakan di dalam gelas kaca.
Orang bernama Babeh itu mengangguk-ngangguk. “Oke, kalau menurut lu begitu,” ia menyeringai singkat.
“Tapi lu tahu nggak, untuk sebagian orang, lu ini pahlawan loh. Lu ‘kan bisa untuk jual berlian ini ke negara lain, yang memang bisa bayar. Lu bisa bawa berlian itu ke pasar gelap, ke mafia yang kaya raya. Atau lu bisa bawa ke orang terkaya di dunia, atau lelang aja di pelelangan.”
Si narasumber terus menggelengkan kepala mendengarkan kalimat tersebut.
“Kenapa, lu nggak milih untuk lakukan itu?”
“Terlalu mahal, Beh, harganya. Terlalu mahal berlian itu untuk digadai demi kepentingan satu orang. Berlian ini bukan cuma soal uang. Bukan cuma soal ketenaran, dan sebagainya. Tapi ada mandat besar yang tersimpan di belakangnya. Ceritanya begitu dalam. Berlian ini berat bukan cuma karena ia besar, tapi juga karena ada nilai sejarah yang begitu dalam di belakangnya. Gua adalah orang yang akan lakukan apapun untuk bisa menghargai itu.”
Sejenak seisi studio lengang. Seolah sebuah percikan muncul di mata Babeh, ia tersenyum puas. Kru yang lain mengangguk-ngangguk. Setelah lengang yang khusuk untuk sejenak, Babeh mengangkat satu tangannya dan menunjuk pada narasumber di depannya.
“Ladies and gentlemen, inilah Rafael Van Bergen!”
Semua orang memberikan tepuk tangan yang meriah. Awalnya satu orang berdiri, lama-kelamaan semua orang berdiri dengan tetap bertepuk tangan. Itu adalah barisan tepuk tangan yang terpanjang yang pernah kudengar. Rasanya mereka tidak ingin aku pergi.
Aku menyalami Babeh. Babeh tersenyum dan membalas jabat tanganku. Kepala botaknya memantulkan cahaya lampu sorot dari atas. Tangannya yang bebas menunjuk ke arah sebuah majalah. Sebuah majalah internasional yang terkenal di dunia jurnalistik dan kepenulisan bernama Nowadays.
“Lu bilang bukan siapa-siapa?” ujarnya dengan kepala miring ke samping.
Pada sampul majalah, aku bisa melihat foto wajahku yang tersenyum sambil memegang berbagai tentengan di tangan kanan dan kiri. Gambar yang menggambarkan kondisiku waktu mencari berlian waktu itu. Ada tulisan The Person in Asia pada bagian bawah majalah tersebut.
“Omong kosong!” Babeh tertawa renyah, terkekeh-kekeh. Ia menepuk bahuku dan menatapku cukup lama. Ada rasa bangga yang memancar pada wajahnya.
Para penonton tidak mengedipkan mata, terus memberikan tepuk tangan. Aku meminta izin untuk pamit keluar dari ruangan, mengangguk, dan tersenyum pada hadirin yang hadir.
—————-
Sudah satu tahun berselang sejak aku menemukan Hortense’s Wens. Hari dimana aku ditangkap di bandara, menjadi hari yang sama dimana aku diamankan untuk pergi ke Jakarta. Setelah interogasi yang sangat panjang dan ditahan selama dua jam di dalam penjara kecil di bandara tersebut, aku dibebaskan. Mereka awalnya tidak percaya, sampai akhirnya ada seorang mantan pejabat yang memerintahkan agar aku bisa dibebaskan, bahkan dikawal ke Jakarta. Selama penerbangan kurang lebih dua jam dengan pesawat jet pribadi, aku bertemu orang itu. Mereka semua menyebutnya ‘Bapak’.
Setelah mendarat di Soekarno-Hatta, aku serta semua barang bawaanku diangkut untuk pergi ke Bogor. Sepanjang perjalanan aku tertidur. Mereka membawaku masuk ke dalam sebuah rumah besar di kawasan Malabar. Di sana aku berjumpa dengannya. Aku digiring masuk melalui sebuah ruang tamu yang lebih mirip seperti lobi hotel mewah. Di sana, ‘Bapak’ duduk di salah satu sofa. Ia sedang menyesap secangkir teh panas. Wajahnya tegas, santai, tapi berwibawa. Orang itu tersenyum ketika aku tiba di sana.
Para petugas di belakangku meletakkan ranselku tepat di sebelah kakiku dengan kasar. ‘Bapak’ menyesap teh itu sekali lagi. Aku berdiri kikuk menatap orang ini. Siapapun dia, orang ini bukanlah tujuanku. Dia bukan presiden.
“Teh atau kopi, Mas Rafa?” tanyanya dengan aksen Jawa yang kental.
“Bapak siapa?”
Orang itu terkekeh singkat. “Kamu tidak perlu tahu siapa saya. Justru saya yang ingin tahu. Kamu itu siapa?” ucapnya. Kalimat itu diutarakan dengan tempo yang pelan dan nada mendayu-dayu.
“Saya mantan karyawan UNESCO. Saya mencari—“
Ia menggeleng. “Bukan. Saya tidak tanya itu. Siapa kamu sebenarnya?”
Aku menekuk alis. Apa maksudnya?
“Oke, kenapa tidak bapak dulu yang kasih tahu saya, siapa bapak?”
Ia terkekeh singkat. “Saya orang Indonesia. Kamu gimana?” tanyanya, sambil menyesap kembali tehnya.
Ini adalah percakapan konyol.
“Pak, saya mau ketemu presiden. Ada sesuatu yang penting yang saya punya. Saya ingin melakukan negosiasi.”
Orang itu meletakkan cangkir tehnya. Ia balas menatapku, masih dengan wajah yang begitu ramah. Ada sesuatu yang aneh dari perangai orang ini yang membuatku waspada.
“Saya punya berlian—“
“Saya bisa bantu kamu. Saya bisa berikan semua yang kamu inginkan. Saya bisa bayar berlian itu. Tapi kamu harus jawab pertanyaan saya. Kamu itu siapa? Jawaban pertanyaan kamu, patutnya dipikirkan baik-baik.”
Aku semakin mengernyitkan dahi. Rasa bingung muncul, sebenarnya apa yang diingkan orang ini? Dia bukan presiden, tapi gayanya sok sekali seolah ia punya semua di dunia. Belakangan baru aku tahu bahwa ‘Bapak’ adalah orang yang memiliki kekuasaan politik jauh lebih besar dari Presiden. Ia bergerak dari balik layar, memetakan percaturan politik dalam dan luar negeri. Mungkin layaknya ia disebut sebagai salah satu elit global. Jika aku tahu lebih awal, aku tidak akan segegabah itu dalam pertemuan pertamaku dengannya.
“Saya orang ….” Aku terdiam sejenak. Sebelum memberikan jawaban, rasanya ada sesuatu yang membuncah di dadaku.
“Saya … orang Belanda,” jawabku patah-patah.
“Baik,” orang itu bangkit berdiri dan menyalamiku.
“Hanya itu yang perlu saya tahu,” ucapnya masih tersenyum.
Ia kemudian pergi meninggalkanku.
“Istri Pak Amin sudah kita bawa ke Penang siang tadi. Ia akan menerima perawatan yang seharusnya.”
Aku terperangah. Sungguh, siapa sebenarnya orang ini?
Tidak lama, ia menyuruh para asisten untuk menyiapkan sebuah kamar untukku, memanggilkan dokter untuk merawat luka-lukaku, dan memberikanku makanan untuk beberapa hari. Tapi aku tidak diperbolehkan keluar dari kediamannya. Tempat itu adalah penjara paling elit yang pernah kukunjungi.
Kami berdua bertemu lagi saat hari sudah mulai sore. Hanya ada kami berdua, duduk di ruang tamu.
“Mas Rafa setelah ini bisa pergi kembali ke negeri Belanda. Berlian itu kami akan pastikan selalu berada di dalam tas ransel Mas Rafa. Penjagaan akan kami lakukan untuk memastikan Mas Rafa dapat sampai di sana dengan selamat. Ada pasukan khusus, lima orang, yang akan ikut menemani,” ujarnya sembari mengaduk secangkir kopi tubruk panas.
Aku memiringkan kepala. Semakin bingung.
“Maaf, maksudnya? Saya pulang ke Belanda, gitu? Saya mau ketemu sama Presiden RI dulu untuk menjual berlian ini.”
“Oh, begitu? Kenapa?”
“Ya, karena ini ‘kan ditemukan di Indonesia.”
Lengang sejenak. Orang di depanku ini tidak menjawab.
“Mas Rafa,” orang itu meletakkan cangkir kopi panasnya.
Matanya menelisik ke dalam mataku. Manik mata tersebut membuatku merinding untuk sejenak. Kalimat selanjutnya yang ia ucapkan lebih aneh lagi.
“Saya tidak peduli dengan berlian itu. Percayalah, jika saya tidak peduli, presiden juga tidak akan peduli.”
Itu adalah sebuah pernyataan paling sombong yang pernah kudengar. Siapa gerangan sebenarnya orang ini?
“Itu cuma sebuah batu biasa. Kalau orang lihat, mereka juga tidak tahu harganya. Saya lebih peduli terhadap Mas Rafa. Saat ini, Mas Rafa adalah target pemburu bayaran internasional.”
“Apa? Bagaimana bisa?”
“Ya, wong salah mas sendiri. Kenapa toh itu divideokan dan diunggah? Sekarang semua orang penasaran, dan tentu saja ingin mencuri berlian tersebut.”
Aku menggaruk-garuk kepala. Bingung harus menjawab apa. Tapi memang setelah dipikir, hal itu masuk akal. Contoh salah satu orangnya adalah Otak Linggis.
“Tapi itu tidak masalah. Kami akan pastikan Mas Rafa aman. Jadi nanti, satu jam lagi, Mas Rafa bisa siap-siap dan segera pergi ke Belanda.”
Aku tidak langsung menjawab. Lidahku kelu.
“Loh, kenapa masam gitu mukanya? Bukannya ini keinginan Mas Rafa?”
Aku merenung cukup lama. Mulutku menganga, menjawab pertanyaan. “Baiklah kalau begitu. Saya akan berangkat.”
‘Bapak’ di depanku mengaduk kopi dan menyeruput kopi itu dalam-dalam. Ia mengembuskan napas panjang setelahnya. Tidak melanjutkan percakapan lagi. Aku terduduk termenung terus di sofa ruang tamu itu.
Ketika satu jam sudah lewat, sebuah mobil hitam mewah berhenti di depan rumah besar itu. Aku melangkahkan kaki. Semua barang bawaanku kuangkat dan kubawa untuk masuk ke mobil.
“Hati-hati di jalan, Mas Rafa.” Orang yang dipanggil ‘Bapak’ itu melambaikan tangan. Wajahnya melukiskan senyum tulus. Walau terlihat ada kesedihan juga di raut wajahnya. Alisnya mengkerut, seperti agak menyayangkan keputusanku.
Aku berdiri menatap mobil berwarna hitam tersebut. Ada lima orang termasuk sopir mobil yang berbaris di sisi mobil. Berlian tersebut ada di genggaman tanganku. Kuusap pelan permukaannya yang kasar tapi indah itu. Ia seolah bersinar karena sinar mentari dari luar.
Aku berjalan keluar. Salah satu dari lima pasukan khusus itu membukakan pintu mobilnya untukku. Pintu mobil hitam itu terbuka lebar. Aku berhenti. Kakiku tidak mau bergerak. Ada sesuatu yang salah.
“Kenapa, Mas Rafa?”
Hening selama beberapa saat.
Aku memejamkan mata, melihat kembali pada bagian diriku yang paling dalam. Ada sebuah panggilan dalam diriku, yang meronta. Ia memintaku untuk melakukan sesuatu. Aneh memang. Perasaan yang sama seperti yang kualami waktu mencari berlian itu dulu. Berlian ini sudah ketemu, lantas mengapa perasaan gusar ini masih ada?
Tubuhku memutar balik. Mataku mantap menatap orang dengan kemeja berwarna cokelat bernama ‘Bapak’ itu.