“Ada dua cara menunggu senja. Bercengkerama dengan cinta dan ditemani secangkir teh hangat. Ataukah sendirian di kursi goyang, ditemani bunga yang mulai mengering. Pilihlah…! Tapi hati-hati, salah langkahmu satu pijakan, akan merubah segala mimpi indah.”
Jumirah namanya, tapi ia lebih suka dipanggil Mira. Baginya nama pemberian orangtua kandungnya itu nggak asik. Nggak keren. Nggak prestige. Basi. Mungkin untuk orang Jawa jaman dulu, nama itu bagus. Indah. Sama laaahh dengan nama Shafira di jaman sekarang.
Itu sekilas tentang namanya, Jumirah alias Mira. Seorang gadis pemulung, anak pemulung. Setidaknya sebelum ia tahu kalau Pak Sur bukanlah ayah kandungnya. Mira hidup bersama Pak Sur, dibesarkan oleh Pak Sur selama enam belas tahun sampai akhirnya Pak Sur harus pergi meninggalkan Mira karena penyakit TBC nya. Almarhum Pak Sur adalah laki-laki sederhana dan penyayang. Meskipun Mira bukan darah dagingnya, beliau tetap sekuat tenaga menghidupi Mira yang ditemukannya di tempat sampah Komplek Griya Mapan bersama dokumen akta kelahiran bertuliskan nama “JUMIRAH” dan selimut biru bergambar Doraemon, yang sampai saat ini masih terlipat rapi di kotak rotan tempat bayi Mira disimpan.
Saat itu, Pak Sur yang sudah ditinggalkan istri dan anak-anaknya pulang ke kampung karena tidak kuat menjalani hidup sebagai keluarga pemulung, memutuskan untuk membesarkan Mira dan menganggapnya seperti anak kandungnya sendiri.
Mira tumbuh menjadi anak periang, bersama teman mainnya, Slamet. Mira berkulit kuning langsat, berhidung besar dan mancung. Bibirnya tebal merekah dengan mata bulat dan dahi lebar. Rambut keritingnya terurai panjang berwarna merah pirang terbakar sinar matahari.
Kehidupan yang keras sudah biasa Mira jalani di antara tumpukan-tumpukan sampah. Meski begitu, Mira tidak pernah kekurangan cinta. Pak Sur dan juga Slamet selalu memperhatikan dan memberikan apa yang Mira mau sepanjang mereka mampu. Sementara kedua laki-laki itu sejatinya adalah orang lain. Mira bahagia bisa menemani Pak Sur sampai akhir hayatnya. Bersama memilah sampah di depan rumahnya sambil menunggu senja. Menyajikan teh hangat untuk Pak Sur, yang diseduhnya dari beberapa lintir daun, tanpa gula dan ubi rebus. Mira tahu Pak Sur bahagia sepanjang hidup bersamanya, karena beliau pergi dengan senyum terhias di wajah. Tapi Pak Sur nggak pernah tahu, bahwa beliau pergi dengan membawa kebahagiaan Mira.
“Kenapa kita seringkali harus melepaskan cinta? Meninggalkannya tergeletak, tanpa tersentuh cinta yang baru. Tegakah? Sia-sia? Hanya orang yang pernah jatuh cinta lalu patah hati lah yang mampu menjawabnya.