Selamat pagi, Pagi!! Entah bagaimana aku harus memulai hari. Karena aku, hanyalah seonggok daging yang berisi jiwa, yang harus mencari sesuap nasi untuk bisa bernafas. Aku Jumirah. Entah apa yang merasuki (jangan auto nyanyi yah), sehingga mereka menamaiku Jumirah di era modern seperti ini. Pun aku tak pernah mampu menanyakan artinya.
Tapi, perkenankan aku memperkenalkan diri sebagai Mira. Dan please, jangan panggil aku Jumirah, aku malu. Jika bisa aku mengulang waktu, pasti aku akan protes dengan nama itu. Akta kelahiranku sudah resmi dibuat sebelum aku mampu bicara. Dan aku bukan Nabi Isa, yang bisa mengatakan kebenaran, meskipun kaki belum bisa berjalan.
Kubuka jendela rumahku yang terbuat dari kardus berlapis dua. Seketika tercium bau busuk menyengat. Entah nasi busuk, sayur basi, ataukah bau tikus mati. Atau semua bau itu telah bercampur menjadi satu. Sungguh aroma yang tidak pernah bisa dibayangkan oleh manusia-manusia kota dan kaya raya penghuni gedung pencakar langit yang jika siang datang, bayangannya mampu meneduhkan area pembuangan sampah ini. Bau jamban dan kotoran mereka rasa-rasanya masih lebih baik daripada bau dari luar jendela kamarku.
Jangankan udara bersih, udara segar pun tak pernah sedikitpun menyapa melalui celah jendelaku yang robek. Panas matahari yang masih terasa hangat menandakan bahwa hari belum terlalu siang.
Ah, terimakasih hidup, karena aku masih hidup. Aku beranjak dari alas jerami yang kurajut sendiri membentuk persegi panjang berukuran 1,5 x 1,5 meter. Bahkan panjangnya pun tidak melebihi tinggi badanku. Iya, semalaman dan setiap hari aku tidur dengan posisi meringkuk sejak aku bisa mengingat siapa teman-temanku.
Aku berjalan menuju belakang rumahku. Rumah? Bahkan bentuknya pun tidak layak disebut sebagai rumah. Dinding ini sudah sangat rapuh karena panas dan hujan. Bagaimana mungkin, sambungan-sambungan kain dan spanduk bekas yang kurangkai dan membentuk sebuah kotak yang akhirnya bisa kujadikan tempat berteduh, bertahan lama diterpa cuaca. Atapnya pun dari rongsokan seng dan asbes yang aku dapat di antara tumpukan gunung berbau busuk di sekeliling rumahku.
Aku, gadis pemulung muda berbakat. Aku harus cepat. Bila terlambat, aku nggak akan mendapatkan sampah-sampah bagus yang mungkin laku dijual dengan harga sepadan dengan nasi putih dan tahu atau tempe goreng. Aku hendak bergegas menuju lahan perkantoranku – anggap saja seperti itu – ketika ada yang memanggil namaku dengan lantang.
“Juuum! eh, Miraaaa!”
Suara nyaring yang memekakkan telinga meski berjarak seratus meter itu sangat familiar di telingaku. Kubalikkan badanku menyambutnya.
“Slameeett! Ii…iiiihh! awas kamu yah!” Sergahku sambil mengernyitkan dahi dan memonyongkan bibir tanda tidak setuju atas sapaan pertamanya.
“Udah jalan aja kamu, Met!”. Sapaku tak kalah nyaring.
“Ehehe, maaf Mir. Gitu aja ngambek.” Cibir Slamet sambil terus berlari ke arahku.
Slamet berumur tujuh tahun diatasku. Sementara, andai aku sempat merasakan bangku sekolah, aku pasti sudah duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Atas. Slamet, tubuhnya tinggi semampai, kulit tangan, muka, dan kakinya hitam gosong dan mengkilat terbakar matahari. Sementara perutnya putih bersih karena selalu terlindungi kaos lusuh yang bertuliskan ‘PILIH NOMER DUA’ dan foto salah satu Caleg yang mulai memudar. Kaos koleksinya selalu banyak dan bertumpuk acak di kotak yang bahkan tidak bisa disebut sebagai lemari baju. Bukan jersey, pun bukan polo. Bagaimana tidak, jika masa kampanye datang, Slamet lah pemuda yang paling rajin berdiri di pinggir jalan menanti pembagian kaos dari partai maupun Caleg peserta Pemilu.
Tergopoh-gopoh Slamet mengejarku yang saat itu sedang berdiri diam, tidak berjalan, bahkan tidak berlari.
“Dapet apa hari ini kamu, Mir?” Tanya Slamet dengan nafas yang terputus-putus.
“Ngapain Met, lari-lari macam dikejar anjing kamu tu,” sahutku sambil terkekeh kecil, “belum Met, baru juga bangun. Semalem nggak bisa tidur. Biasa, amnesia.” Lanjutku.
“Insomnia Mir! Orang ga sekolah macam aku aja tau, bedanya insomnia sama amnesia”
“Emang bedanya apa, Met?” Tantangku.
“Yeee gitu aja nggak tau kamu Mir. Insomnia itu kurang tidur. Amnesia, kurang makan!” Jawab Slamet percaya diri.
“Ah, sudahlah Met, toh bener apa salah jawabanmu tu, aku nggak tau. Bukan bagian kita mbahas begituan. Nggak nyampe otakku nih. Bisa sekolah, naek kelas dua SD aja udah syukur, hahahaaa…” Jawabku sambil berkelakar.