“Permisi, Bapak-Bapak. Saya mau tanya, rumah Pak Sur. Ke arah mana ya?” Terlihat seorang pria berumur 50 tahunan menurunkan kaca mobilnya dan bertanya kepada dua lelaki dengan pakaian compang-camping dan membawa karung di tangan kiri serta pengait sampah ditangan kanannya.
“Pak Sur?” Lelaki pertama menoleh ke arah lelaki lain sambil mengernyitkan dahi sampai kedua alisnya menyatu. Mereka bertatapan cukup lama, sampai akhirnya lelaki pertama menjawab dengan nada tinggi, “oooo… Pak Sur. Bapaknya Mira.”
“Ooooo… Mira itu.” Kata lelaki kedua.
“Iya, itu rumahnya di tengah situ Pak.” Sambungnya lagi sambil menunjuk ke sekumpulan rumah geber yang dikelilingi tumpukan sampah.
“Tapi, maaf Pak. Ada perlu apa, Bapak nyari Pak Sur?” Tanya lelaki pertama.
“Ah, nggak. Nggak ada apa-apa Bang. Cuma pengen ketemu anaknya.”
“Oh, Miraaa… Kebetulan. Kalo jam segini, Mira biasanya baru selesai mulung dari komplek situ.” Kata lelaki kedua menunjuk ke suatu arah.
“Bapak terus aja ikutin jalan ini. Cuma jalan ini yang bisa dilewatin mobil. Nanti disana pasti banyak orang. Bapak tinggal tanya aja, Mira ada nggak.” Sambung lelaki pertama.
“Oh, iya. Terimakasih Bang.” Katanya, lalu menutup jendela mobilnya dan memberi perintah kepada sopirnya, “jalan To.”
“Ngapain ya, nyari Mira?” Tanya lelaki pertama dengan heran.
“Mana pake mobil mewah. Orang kaya tuh. Jangan-jangan Mira ada nyuri sesuatu, pas lagi mulung?” Jawab lelaki kedua dengan mimik muka yang tak kalah heran dan penuh pertanyaan.
“Hus! Ngawur kamu. Mira tu anak baik.”
Mobil itu melaju perlahan dan berhenti tepat di sebelah bangunan dimana orang-orang banyak berkumpul.
“Bogas, kamu turun, tanya mana yang namanya Mira.” Perintah pria itu kepada seorang laki-laki yang duduk di sebelah sopir.
“Baik Pak.” Jawab Bogas membuka pintu mobil dan bergegas menuju kerumunan orang berpakaian lusuh dengan wajah penuh peluh dan noda hitam.
“Permisi. Ehm…” Kata Bogas berdeham sambil mengibaskan tangan di depan hidungnya, ‘bau sekali di sini.’ Katanya lagi, dalam hati.
Hening. Tak ada seorangpun yang menjawab diantara banyak orang yang sedang duduk jongkok mengelilingi tumpukan kecil sampah.
Beberapa orang sempat menoleh ke arah Bogas, namun kemudian kembali memalingkan wajah ke tumpukan sampah plastik di tengah-tengah mereka.
“Emmm… Permisi, Pak, Bu.” Sekali lagi Bogas berusaha mencari perhatian. Dan tetap, tidak ada yang menjawab.
“Saya mencari Jum, ehm… Jumirah.” Lanjut Bogas lugas, karena tahu tidak ada gunanya basa-basi di situasi seperti ini.
“Nggak ada di sini, yang namanya Jumirah.” Kata seorang perempuan, entah yang mana. Karena diantara mereka tidak ada yang mengangkat kepalanya. Semua sibuk dan fokus dengan sampah-sampah plastik di hadapan mereka.
“Mir, kamu tu.” Bisik seorang lelaki – yang tak lain adalah Slamet – sambil menyenggol lengan Mira.
“Apa’an sih Met. Dia nyari Jumirah, bukan Mira.”
“Eh, set dah. Masih aja gengsi, ni anak.” Bisik Slamet lagi.
“Yang tau nama aku Jumirah kan cuma kamu, Met. Diem ah.” Balas Mira sambil berbisik tak kalah pelannya.
“Anak Pak Sur.” Lanjut Bogas singkat.
“Saya, anak Pak Sur. Anda siapa, perlu apa?” Jawab Mira ketus sambil berdiri.