Suatu pagi, tepat setelah matahari terbit, 114 juta tahun yang lalu di Bumi: bunga yang pertama kali muncul di planet ini mekar untuk menerima sinar matahari.
— Eckhart Tolle
Cita-cita Carl Sagan di buku Pale Blue Dot akhirnya terwujud. Manusia berjingkat-jingkat melintasi Bimasakti—mengarungi langit, melampauinya, mengubah dunia "lain" sesuai tujuannya sendiri. Meski butuh waktu lama, apalagi setelah tragedi Wabah Serigala pada abad lampau, kita berhasil mencairkan kutub-kutub di Mars dan menjadikannya layak huni. Untuk pertama kali kita melangkahkan kaki di asteroid-asteroid, bulan-bulan planet Jovian—terutama Europe dan Titan—Sabuk Kuiper, dan Awan Oort. Kita juga berencana terbang menuju eksoplanet terdekat. Butuh waktu lama untuk sampai. Kita bahkan tidak tahu apa yang kelak kita temukan, tapi tetap saja mencobanya.
Setelah sekian lama menetap, manusia kembali menjadi pemburu dan peramu, tapi bukan padang-padang atau hutan yang kita jajah. Alih-alih, kita mengembara di antara bintang, mengudap habis manfaat, lalu pindah ke tempat lain—asteroid lain, planet lain, bulan lain—yang masih kaya sumber daya. Meski begitu, bukan berarti kehidupan di Bumi lenyap sepenuhnya. Beberapa manusia masih tinggal di sini, di planet kecil nan rapuh ini—setetes nila di luasnya jagat. Beberapa lainnya, seperti aku, menganggap Bumi satu-satunya rumah yang nyaman dihuni.
Semenjak manusia tersebar di Bimasakti, perbedaan-perbedaan di Bumi jadi tidak relevan lagi. Saudara-saudara kita yang dilahirkan dan dibesarkan di planet lain secara alami mulai menunjukkan kesetiaan kepada dunia tempat lahir mereka—tak peduli perasaan apa pun yang masih mereka pertahankan bagi Bumi. Sebatang rumput yang biasa saja di Bumi menjadi keajaiban di Mars. Padang rumput yang kini terbentang di depan rumahku barangkali harta karun yang tak ternilai di mata mereka.
Paragraf-paragraf sebelumnya terasa bombastis, ya, seolah aku hendak menyampaikan saga sehebat Star Wars, yang melibatkan diktator antarplanet atau pesawat tempur yang luar biasa canggih. Tapi tidak. Tidak seperti sejarah kelam kolonialisme, seiring berlalunya waktu, Manusia perlahan mendewasa dan—akhirnya sanggup mewakili julukan yang mereka pilih untuk diri mereka sendiri—bijaksana. Sapiens. Dulu, kita telanjur digdaya tanpa diimbangi kebijaksanaan. Dengan kesadaran penuh, kita merusak planet yang menjadi satu-satunya rumah kita. Kita telah membakar bahan bakar fosil selama ratusan tahun—mengakibatkan meningkatnya efek rumah kaca yang berpotensi mengubah Bumi menjadi Venus. Syukurlah, semua berubah sejak bahaya pemanasan global mulai memasuki kesadaran masyarakat. Meski butuh waktu lama, akhirnya kita mampu memanfaatkan sepenuhnya sumber daya dari surga—angin dan matahari—dan perlahan-lahan meninggalkan sumber daya dari neraka—bahan bakar fosil.
Omong-omong, namaku Erlyna.
Pada akhir era Antroposen, aku menghabiskan waktu di sudut kota Andala yang sudah lama ditinggalkan. Sebagian besar penghuninya pergi atau telah meninggal dunia. Bangunan-bangunan di sekitar rumahku dihancurkan dan puing-puingnya dibuang entah ke mana, kecuali beberapa yang digunakan untuk mencegah banjir. Sebenarnya, pada awalnya, para penduduk ingin mempertahankan bangunan-bangunan di sini seperti apa adanya saja, tapi sejak kebakaran meluluhlantakkan kota beberapa tahun lalu, mereka berembuk dan akhirnya memilih untuk menghancurkannya saja, kemudian memanfaatkan lahan yang tiba-tiba ada sebagai hutan, taman, atau pertanian. Sebagian lagi dibiarkan kosong.
Sejak aku kecil, segala sesuatunya sudah seperti ini. Aku tidak memiliki ingatan ketika kota ini masih ramai dan dipenuhi rumah. Selain beberapa bangunan tua—termasuk rumahku—hanya ada gedung kelabu yang dulu dijuluki "pabrik asap". Tepat di belakangnya, terbentang luas nyaris tanpa tepi, hutan purba yang dipenuhi pohon-pohon raksasa berusia ratusan tahun. Hutan tersebut gelap dan berkabut seperti di dongeng-dongeng Grimm Bersaudara. Di sana, pohon-pohon ek berselimut lumut yang usianya lima ratus tahun tumbuh tanpa peduli waktu, pohon ash dan linden yang menjulang setinggi 50 meter menghalangi jalan matahari. Jalinan kusut dan lembap hornbeam, paku-pakuan, alder rawa, dan jamur-jamur sebesar piring membuat aroma hutan terasa tajam tapi tidak menyesakkan. Setiap akhir pekan, aku selalu mengunjunginya. Ada perdesaan di dalam hutan yang sudah lama ditinggalkan dan aku sering bermalam di salah satu rumah kosongnya.
Di lingkunganku sendiri, hanya tersisa tidak sampai sepuluh rumah—mungkin tujuh, tapi aku tidak terlalu yakin. Letaknya berjauhan. Di seberang rumahku, ada perpustakaan tua dua lantai yang dinding-dindingnya tak tentu warna, tetapi bagian dalamnya terawat dengan baik. Di selatan, sekitar tiga ratus meter dari rumahku—dan lima belas kilometer sebelum hutan purba, ada toko roti Orange Bakery yang, sesuai namanya, menjual roti-roti dengan bahan utama jeruk. Aku suka selai jeruk, roti isi jeruk, lemonade, dan orange marmalade-nya. Kalau matahari terlalu bersemangat menyorotkan sinar siangnya dan tidak ada satu pun pengunjung yang mendatangi kedai, aku akan berjalan dalam kerindangan pohon-pohon yew yang tumbuh tanpa peduli tempat, menuju Orange Bakery dan memesan es lemon-nya yang segar.
Aku sendiri, sehari-harinya mencari nafkah dengan membuka kedai teh yang bersahaja saja. Sebenarnya tidak tepat jika disebut "mencari nafkah", sebab sudah lama kami, manusia yang tersisa di Bumi, berhenti menggunakan uang dan mulai meninggalkan sistem barter. Sumber daya yang berlimpah membuat uang tidak lagi relevan. Apalagi populasi manusia semakin berkurang setiap harinya. Akhirnya, kami yang tinggal di kota — yang penduduknya barangkali tidak sampai lima puluh ini, menghabiskan hidup dengan cara berbagi. Jika musim panen datang, aku menutup kedai dan membantu di ladang-ladang.
Sebenarnya, aku menulis buku ini untuk kubaca sendiri, tapi aku seperti menemukan seorang teman yang sabar dan mau mendengar. Aku dapat menceritakan apa saja tanpa perlu takut dihakimi. Aku jadi paham kenapa Anne Frank, dalam buku harian yang diberinya nama "Kitty", berkata bahwa kertas lebih sabar daripada manusia. Setiap kali aku menulis, aku tergoda untuk mengobrol seolah aku didengar.
Datanglah! Datanglah! Aku berseru kepadamu.