Daniel memerlukan semua jeruknya untuk diolah menjadi bahan-bahan kue dan minuman di toko rotinya, jadi ketika dia memberikan lima butir kepadaku, aku berusaha menolaknya, tapi Daniel memaksa. Aku membeli terlalu banyak, katanya. Lagipula, di belakang rumahku sudah ada kebun jeruk yang sebentar lagi akan panen. Aku sudah tidak perlu lagi belanja di kota, kecuali untuk beberapa bahan kue. Tentu saja, seperti yang sudah aku jelaskan, istilah membeli tidak relevan lagi di zaman sekarang. Kami mendapatkan hampir semuanya secara cuma-cuma. Kami tidak tahu bagaimana keadaannya di tempat lain, tapi begitulah yang kami alami di sini. Kami masih menggunakan istilah membeli sebab tidak tahu harus menggantinya dengan apa. Kurang lebih, sama seperti istilah "matahari terbit dan terbenam", padahal yang terbit dan terbenam bukan Matahari, melainkan Bumi, tapi tentu merepotkan jika kita mengganti istilah-istilah yang sudah setua peradaban itu dengan "Bumi berputar sedemikian rupa sehingga mengokultasi Matahari di bawah cakrawala lokal." Terdengar kurang romantis juga.
Aku segera memasukkan jeruk pemberian Daniel ke dalam lemari dan mengambil satu untuk dimakan nanti. Aku mengundang Daniel memasuki kedai dan menyuguhinya segelas teh madu yang madunya dipisah di wadah lain. Agar manfaat madu tidak berkurang, aku menganjurkan Daniel menuangkannya saat teh mendingin atau bersuhu suam-suam. Kata Daniel, hanya aku yang tahu takaran madu dan teh yang pas bagi lidahnya. Saat dia membuatnya sendiri di rumah, rasa teh madunya selalu lebih atau kurang manis. Aku pun menyuguhinya sepiring pisang bakar, dengan taburan keju dan sedikit cokelat cair yang disantapnya dengan perlahan. Aku pun kaget, tiba-tiba saja kota Cempaka terendam banjir—dan banjirnya sedalam sungai, katanya. Sisa-sisa penduduknya, yang barangkali hanya puluhan buru-buru mengungsi di kota sebelah. Mungkin beberapa hari lagi, desa ini juga akan didatangi pengungsi.
Jika benar begitu, untuk sementara waktu para pengungsi dapat menetap di pabrik yang ada di dekat terminal. Ada pula yang dibangun di dekat hutan purba, di sebelah rumah Eyang Hora. Tapi hanya dua yang masih utuh, sisanya hampir nyatu dengan tanah. Sudah tak ada lagi pabrik yang berfungsi atau beroperasi—entah sejak kapan para pengembang mengabaikannya. Tapi di dalamnya ada kamar-kamar kosong yang lumayan nyaman ditinggali. Ukurannya tidak terlalu besar, dengan lubang angin di plafon, hanya saja sayangnya tidak ada jendela. Di dalamnya ada lampu-lampu matahari yang menyala mandiri pada saat menjelang magrib.
Di bagian operasional, ada mesin-mesin asap yang pernah digunakan untuk mendinginkan iklim, tapi sudah dirusak dengan cairan yang kini menjadi bahan utama untuk mengaktifkan otak Luna. Cairan tersebut terletak di belakang daun telinga Luna. Setahuku hanya beberapa mili jumlahnya. Entah dengan apa cairan itu dibuat—atau apakah itu dibuat, bukan turun dari langit—aku sama sekali tidak tahu, dan bagaimana cara kerjanya pun asing sekali untukku, yang jelas benda itu sanggup melelehkan baja, tapi tidak menimbulkan efek apa-apa terhadap benda-benda yang lembut, bahkan seperti air saja jika tetesannya membasahi kulit. Cairan itu tersembunyi di suatu tabung kecil di belakang telinga android, yang kelak mengalirkan jiwa ke dalam diri Luna. Kata Luna, kalau jiwa itu ada, pasti letaknya di telinga. Bukan di mata? Bukan. Lalu aku bertanya, apa yang terjadi jika cairan itu tumpah. Jawab Luna: Maka yang ada di sekitarku akan kembali menjadi logaritma.
Maksudnya?
Segalanya menjadi terkotak-kotak.
Dan, dalam prosesnya, aku akan kehilangan diriku.
Ah, aku jadi mengerti kenapa cairan itu disebut Jiva, yang merupakan padanan dari kata jiwa. Tanpa disadari, kami pun sebagai manusia, sama seperti Luna sebelum diberi jiwa, melihat segala sesuatu dalam kotak-kotak. Seperti kata Hermann Hesse, kita membatasi diri dengan garis yang terlalu sempit. Padahal, kita terdiri atas seluruh isi Alam Semesta.