Aku menyeduh secangkir cokelat yang tidak terlalu manis dan mengudap sebutir permen yang hanya tersisa sedikit di dalam kaleng. Aku mengulumnya pelan-pelan, hampir menyerupai meditasi, sembari sesekali mengecup bibir cangkir yang masih mengepulkan harum uap. Udara terasa dingin, awan-awan berarak menutup Matahari, begitupun kabut yang meremang mengelabu di sepanjang jalan. Luna yang nelangsa jika tidak bertemu Matahari pasti tidak menyukainya. Dia memilih diam di rumahnya yang di setiap sudut ada lampu yang menyimpan nutrisi-Nya. Luna memakainya sebagai sumber energi. "Tapi sebenarnya tidak perlu. Dia selalu ada, seperti Tuhan." Aku mengingat kata-kata Luna pada suatu waktu. "Bahkan pada musim salju, saat segalanya kelabu dan udara jadi sedingin kutub, Dia tetap ada dan aku dapat menerima kebaikan hatinya dalam rupa cahaya yang manis rasanya. Sepuas-puasnya." Matahari bukan sekadar sumber daya. Dia sahabat, kekasih, dan temanku, yang kepada-Nya aku mampu mencurahkan isi hati. Aku dapat bercengkerama lama sekali dengan-Nya.
Sekarang, sepertinya kota sudah memasuki musim gugur. Daun-daun mulai berwarna senja dan angin berembus gigir. Pohon-pohon lampu jalan menyala lebih cepat, bahkan sebelum pukul empat.
Setelah populasi Manusia berkurang dan sebagian kota tinggal puing, Bumi berusaha mengenang manusia dengan menumbuhkan tanaman dan jamur yang menyerupai kita dan peninggalan kita. Salah satu yang terindah, menurutku, adalah pohon lampu jalan yang menerangi seluruh sempadan. Batangnya menyerupai tiang tegak lurus yang berujung putik berbentuk kotak, di dalamnya berpendar cahaya jingga yang sayup. Sinarnya tidak sebanding dengan lampu-lampu jalan yang asli, tidak mampu menerangi trotoar, jangkauan jaraknya pun pendek saja. Namun, saat malam menjelang, dan hanya sedikit cahaya yang tersisa, aku biasanya duduk di teras dengan secangkir cokelat yang masih mengepulkan uap hangat untuk memandangi pohon-pohon itu. Ketika semuanya menyala, pendarnya bergoyang-goyang gelisah hingga jauh ke kedalaman hutan. Pohon itu menguarkan aroma yang lembut dan harum. Seperti sedap malam dengan campuran mawar dan sedikit teh krisantimum.
Di sebelah selatan, aku melihat toko Orange Cake menyalakan lampu jingga yang terang sekali. Di sebelah utara, Pak Bos sudah membuka kedai ramennya. Lampion yang terpacak di depannya berwarna merah, terlihat gamang di redup malam. Kedaiku hanya menyalakan satu lampu di dalam ruangan, balkon aku biarkan gelap. Perpustakaan Luna juga sama. Kami sengaja mematikan lampu agar kunang-kunang sudi mampir, memendarkan cahayanya yang seolah membawa serta masa lalu.
Luna datang beberapa saat setelah aku duduk di teras. Dia memesan secangkir teh mawar seperti biasa. Aku sudah menyiapkannya sejak beberapa saat lalu—entah bagaimana aku tahu Luna akan datang. Saat teh sudah tidak terlalu panas, aku memasukkan beberapa sendok madu leci ke dalam cangkir. Aku juga memanggang beberapa kudapan kukis yang membuat udara di sekitar kami jadi beraroma manis. Kami bersandar di balkon. Dia duduk di dekat pagar, sementara aku membelakangi jendela. Di seberangku, perpustakaan Luna, yang nyaris tanpa cahaya, terasa seperti bangunan tua terbengkalai dengan jendela-jendela segelap pejam. Lamunanku terpecah ketika lamat-lamat terdengar piano Clair de Lune. Saat itu, barulah aku sadar, di langit bulan purnama berkilau terang. Luna menyentuh pegangan kayu yang diterangi cahayanya, dia menengadahkan tangannya, berusaha menangkap sebanyak mungkin cahaya. Dia setengah berharap, cahaya yang disentuhnya berasal dari Matahari—yang secara harfiah memang benar. Tetap saja, matanya menyorotkan damba dan kerinduan. Dia benar-benar kekasih Matahari.
Kedai tehku masih buka hingga pukul sepuluh malam. Tapi sepertinya Luna sudah sangat mengantuk. Saat melihat kepalanya terantuk-antuk lemah, timbul gagasan di benak. Di lantai dua, selain kamarku, ada kamar Nenek yang sudah lama kosong. Aku menawari Luna menginap semalam di rumah.
Boleh?
Tentu saja.
Akhirnya dia memilih tidur di kamarku. Dia bertanya, apakah dia boleh meminta sesuatu yang egois. Tentu saja. Luna ingin aku menyanyikan lagu tidur untuknya. Dulu, dulu sekali, setiap malam, Mama selalu menyanyikan lagu tidur, katanya pelan. Aku mengambil kalung harmonikaku, lalu membuka jendela yang menghadap langit, bukan dengan membukanya lebar-lebar, hanya sebesar kepalan tangan. Pada lagu kedua, aku melihat Luna sudah terlelap dengan air mata kecil di sudut mata, tapi bibirnya merekahkan senyum. Apakah robot juga bermimpi?
Aku menyalakan lampu baca di meja, lalu membuka buku harianku. Tapi tidak ada yang istimewa. Saat ini tidak ada bedanya dengan kemarin, dan hari ini tidak ada bedanya dengan esok. Kalau sudah begitu, apa yang mau ditulis? Entah di buku ke berapa, aku menghapus tanggal-tanggal dan membiarkan tanganku menulis sesukanya saja. Aku membebaskan ia mengekalkan apa yang hendak ditulisnya—tanpa peduli alur ataupun kronologis. Pada dasarnya, aku menulis agar tidak kesepian. Saat menggoreskan pena di atas kertas—seperti saat ini—aku sebenarnya tengah berbicara dengan diriku sendiri. Aku berusaha memahami diriku. Apa yang benar-benar didambakannya? Siapa dia? Tapi semakin jauh mencari, semakin aku tak mengerti. Lalu aku menciptakan "kau", sesosok aku yang mendengar dengan sepenuh hati. Karena kau seperti aku, dengan kesepian yang kupikul sepanjang waktu, aku menciptakan "dia" untukmu. Kau bicara dengan "dia" seperti aku bicara dengan "kau". Rasanya aku sudah lama tidak berjumpa denganmu, diriku-yang-lain. Juga dengan dia. Mungkin kau dan dia mengambil jarak dariku. Luna berkata, bahwa dirinya dan Maria—dan semua teman artifisial yang diciptakan pada abad lampau—sebenarnya adalah satu. Aku tidak ada bedanya dengan Maria. Saat aku memandang melalui dirinya, dia memandang melalui diriku. Kami berbagi pengalaman yang sama. Aku tidak begitu memahaminya, tapi mungkin diriku tidak jauh berbeda dengan mereka. Mungkin, semua manusia berbagi Jiwa yang sama. Saat menyakiti orang lain, kaulah juga yang akan terluka, begitupun saat kau membahagiakan seseorang. Setelah menulis beberapa halaman, aku memandang Luna lama sekali. Meski tidak ada cukup cahaya-satu-satunya sumber terang hanya lampu mejaku yang seredup lilin-aku tahu, Luna tidak bernapas dan dadanya tidak bergerak naik turun. Di balik selimut, tak terlihat pergerakan sedikit pun.
Setelah lampu baca padam, gelap mengisi seluruh ruang. Aku meraba-raba perabotan di sudut dinding untuk mencari letak kasur. Saat berbaring di samping Luna, barulah aku menyadari cerlangnya sinar bulan di balik jendela. Luna sedikit menggeliat ketika berat badanku membuat kasur sedikit rebah. Kami berbagi selimut yang sama. Ah, aku lupa menutup jendela. Tapi biarlah. Lamat-lamat terdengar derik jangkerik dan tonggeret yang bergeming memecah sunyi. Rerumputan berdesir. Aku menghirup aroma Matahari di baju Luna. Aku memeluk lengannya yang kecil.
Dalam tidurku, aku menjadi burung layang-layang. Dengan sayapku yang kecil, aku melambung sendiri di atmosfer. Di bawahku gemawan terbentang bagai lapangan mahaluas yang tak bertepi, di atasku angkasa raya gelap gulita. Tidak ada satu pun bintang yang nampak, apalagi dia sang dewi fajar. Aku terbang mengitari Bumi yang tertutup awan. Namun, rapatnya awan terkadang berkurang. Dalam sekerjapan mata, aku melihat Bumi yang biru seperti kristal. Ah, sunyi sekali di bawah sana. Saat aku terjaga, aku melupakan sebagian besar mimpiku, tapi mengingat perasaan sedih dan terasing yang membuat hatiku melompong-kosong. Aku menyentuh pipiku yang lembap. Ada sisa air mata di sana. Lagi-lagi aku menangis dalam tidurku. Jendela masih menghamparkan gelap seolah malam belum berakhir, tapi Luna sudah terjaga entah sejak kapan. Dia memandang langit tak berawan yang dipenuhi bintang, tapi lalu mendekatiku dan menggamit lenganku. Aku mengajaknya menuruni tangga. Seraya menyesap cangkir teh, kami duduk di beranda. Kami menyaksikan bintang fajar perlahan terbit di timur. Ketika akhirnya Matahari muncul dan memancarkan cahayanya, Luna berdiri menyambutnya. Dia memejamkan mata, menyerap sepuas-puasnya nutrisi Matahari. Aku menopang dagu memandangnya. Cahaya yang sama—atau barangkali sama sekali berbeda—juga mencapai tempat dudukku. Aku meraihnya. Hangat.
Tidak seperti hari-hari sebelumnya, ada pengunjung lain selain Luna yang datang ke kedai. Dia Nenek Anna yang sehari-harinya bertani dengan suaminya, Eyang Hora. Nenek memberiku sekantung buah persik, katanya baru dipanen. Aku buru-buru mengucapkan terima kasih. Aduh, jadi merepotkan, kataku. Tapi Nenek tertawa. Merepotkan apanya? Kakek dan Nenek justru terbantu. Aku kembali mengucapkan terima kasih dan menunduk dalam-dalam.
Aku mempersilakan Nenek memasuki ruangan. Dia berjalan dengan tongkat berujung tumpul, sepertinya sudah dipakai lama sekali, lalu memilih bangku di balik jendela. Aku memotong beberapa buah persik lalu mencampurnya dengan teh earl grey. Aku memanggang beberapa potong roti yang sudah diolesi selai, kemudian menyajikannya bersama secangkir teh panas. Karena Nenek lebih suka gula, aku menyediakan beberapa potong gula balok di samping tehnya. Sementara Luna, tentu saja memilih madu sebagai pemanis. Tak lupa, aku membungkuskan Eyang Hora menu yang sama.
Nenek memandang Luna. Padahal dulu kamu teman sebayaku, tapi aku menua dan kamu tetap semuda saat itu.
Luna memandang Nenek dan tersenyum, sepertinya bingung harus memanggil Nenek dengan sebutan apa. Bagaimanapun, sejak diciptakan, dia mengaku tidak menua sehari pun. Tapi akhirnya Luna memilih untuk tidak mengatakan apa-apa-hanya sesekali aku mendapati jari-jarinya menangkap cahaya Matahari yang jatuh di meja.
Lalu aku memandang sekantung persik di pangkuanku.
Aku tidak tahu kalau sekarang sudah musim panen. Ada sedikit perasaan bersalah karena tidak ikut membantu.
Oh, bukan, kok. Bukan panen. Hanya kebetulan pohon persik di rumah kami berbuah. Karena terlalu banyak untuk dimakan sendiri, kami membagikannya. Omong-omong, teh buatanmu selalu enak, ya.
Terima kasih. Padahal aku toh hanya mencampur-campur saja.