Di kamar, aku mendapati sebuah buku setebal bata, tergeletak dalam posisi terbuka di permukaan meja. Di sampingnya, tiga koin tersusun secara vertikal. Satu kepala dan dua lainnya ekor. Karena penasaran, aku mencari tahu judulnya, ternyata kitab Yi Jing. Tidak hanya teks asli, tapi juga dilengkapi dengan penjelasan untuk masing-masing heksagram, termasuk tafsir tiap-tiap sajaknya. Aku ingin membacanya, namun menyerah beberapa saat kemudian. Kondisi ruang yang gelap—hanya diterangi lampu teplok di dinding sebelah kanan, entah arah mana—membuat mataku cepat sekali lelah, dan setelah seharian berjalan, aku hanya ingin rebah. Aku memutuskan mengembalikan buku itu dalam kondisi semula—halaman 358, pada bab Heksagram 27 Yí "Memberi Makan"—dan berjalan mendekati jendela. Di sampingnya, ada lemari kecil yang masing-masing raknya dipenuhi buku. Karena tak mampu menahan godaan, lagi-lagi aku menyusur punggung-punggung buku dengan ujung telunjuk. Aku mengambil satu yang berjudul Gadis Jeruk, karya Jostein Gaarder. Seraya bersandar di dekat jendela, dalam penerangan redup lampu yang nyalanya tidak selalu seimbang, aku menelusuri tiap kalimatnya lamat-lamat.
Di meja ada setermos air panas dan setoples cokelat bubuk, juga selembar kertas bertuliskan, "Silakan seduh." Aku mengambil sesendok cokelat dan mencampurnya dengan air mendidih. Aroma cokelat nan manis mengisi seluruh ruang. Aku mengembalikan buku Gadis Jeruk di tempatnya semula dan menikmati suasana dalam hening yang menyerupai meditasi. Dinding kamar memantulkan cahaya senja lampu teplok dengan sudut-sudut gelap yang selalu bergerak. Selebihnya, sunyi. Aku sudah terbiasa berhadapan dengan heningnya malam, lengkap dengan pikiran-pikiran yang menyesaki kepala, tapi di sini heningnya berbeda, hampir tanpa suara. Bahkan secercah kicau pun tiada. Begitu pula angin dan kersik. Udara mengendap dibekukan waktu. Dingin tak tercatat pada termometer.
Arunika hanya menangis dua kali sepanjang malam, pada pukul nol-nol dan dua. Aku yang sudah tertidur sontak terjaga. Dia menangis dengan lantang, serupa jeritan, tapi tidak lama, hanya beberapa menit, mungkin Ibu Eva segera mengemban dan menyusuinya.
Karena mata tak lagi mengantuk, aku memandang jendela, ternyata kabut sudah menguap. Di seberang rumah, orang-orang berkumpul—entah untuk melihat apa. Saat aku mendekat, semua membuka jalan tanpa diminta. Kami berdiri saja di tepi air, tanpa penerangan. Ada yang mengembuskan rokok, ada pula yang menyimpan tangan dalam saku celana, sebagian lagi melamun seolah tidak melihat apa-apa.
Di dasar danau, ada sebuah kota, lengkap dengan jalan-jalan dan sempadannya, dan rumah-rumah beratap merah yang masih menumbuhkan rerumputan, dan lampu-lampu jalan yang tak menyala lagi. Segalanya terasa dekat sekaligus jauh. Bukankah tempat ini agak terlalu luas untuk disebut danau? Aku tak sanggup melihat ujungnya. Di kiri dan kanan, air terus ada, tanpa seberang.
Seorang Nenek mendekatiku dan dengan ragu-ragu menyentuh bahuku. Tangannya terasa hangat sehingga aku, nyaris tanpa sadar, bersandar di bahunya. Seketika saja aku teringat Nenek. Ingin rasanya aku memintanya mengelus rambutku.
Nenek baru pertama kali melihatmu. Apa Anak bukan penduduk desa ini?
Aku menggeleng pelan.
Apa yang kamu lihat sekarang, Nak, adalah kampung halaman kami—rumah kami sebelum semuanya tenggelam.