Beberapa hari lalu, ketika Luna menemaniku duduk di balkon, kami mendapati langit menggelap dengan cepat. Aku mengira mendung mengendap-endap dan hujan sebentar lagi menghadap. Luna kecewa sebab dia belum puas menyerap nutrisi Matahari. Tapi perasaannya cerah kembali begitu kami menyadari apa yang sebenarnya terjadi—seekor Burung Layang Putih melambung perlahan di antara awan. Besar sekali. Agung sekali. Suatu tanda peradaban, barangkali yang terakhir, pada suatu nanti yang sebentar lagi. Hampir seabad lalu, ketika dunia perlahan-lahan tenggelam, para konglomerat membuat pesawat yang kelak dijuluki "Burung Layang Putih". Kalau tidak salah, ada sepuluh Burung yang berkelana di angkasa raya. Seperti namanya, Burung Layang Putih berbentuk menyerupai burung layang-layang dengan sayap sejernih mutiara. Jangan bayangkan sayap di kiri dan kanan badannya seperti sayap kaku di pesawat-pesawat tua. Alih-alih, sayap burung ini, layaknya burung yang terbang di antara dahan, mengepak perlahan dengan gerakan seindah tarian. Semua manusia yang tinggal di dalamnya sudah wafat lama sekali, tapi android-android seperti Luna masih ada—menghabiskan sisa keabadian di lambung kapal yang sunyi.
Luna memandangnya tanpa berkedip. Dia tidak berkedip selama bermenit-menit dan membuatku sedikit khawatir. Dan saat dia akhirnya berkedip, kedipannya sedikit canggung dan terasa disengaja, artifisial. Aku menggenggam tangannya, bertanya ada apa.
Rupanya Luna terhubung dengan sesamanya yang tinggal di dalam burung itu. Luna bertanya seperti apa rasanya terbang?
Kamu mau melihatnya?
Mau.
Dia pun berbagi visi dengan android bernama A-302. "Pemiliknya", yang sudah lama meninggal, menamainya Maria. Luna, melalui Maria, memandang jendela yang menghadap Bumi.
Lalu, seperti apa? Seperti apa rasanya terbang?
Luna terdiam, berusaha menemukan kata yang tepat.
Saat memandang Bumi, sepi di hatiku terasa lebih nyata, tapi juga ada perasaan bebas yang mengisi dadaku. Rasanya nyaris meledak. Aku tidak terlalu menyukainya.
Aku merenungi jawabannya. Aku tidak mengerti sekaligus mengerti.
Di mataku yang kecil, terhampar dunia luas yang agung. Aku seekor burung, terbang dengan sepasang sayap yang melambung pelahan. Aku melihat hamparan perbukitan dan lembah yang membentang luas tanpa batas. Hutan tertutup kabut seperti biasa, tapi terlihat pula pucuk-pucuk pinus raksasa yang sekilas terlihat putih. Dan saat kami terbang lebih jauh, aku tak bisa lagi membedakan pohon ek dengan linden atau cemara atau pinus—semua terlihat sama. Hijaunya sama, putihnya pun sama. Sungai dan danau seperti benang bening yang memanjang—atau garis yang memisahkan satu daratan dengan daratan lainnya. Matahari yang lembut memantulkan cahaya di permukaannya. Aku menelusuri jejaknya yang berujung ke laut.
Lalu aku kembali turun dan memandang bunga-bunga liar dan pohon-pohon yang memutih di sekitar rumah kita. Burung-burung lain terbang di sekelilingku. Segalanya begitu hidup, tapi kota kita meredup dalam senyap.
Aku meminta Maria menemaniku berkeliling Burung Layang Putih. Dia mengiakan. Kami berjalan pelan menyusuri jalan yang sepi. Gaun panjangnya menyapu lantai yang sejernih mutiara. Saking heningnya suasana, aku bisa mendengar suara kain dan langkah kaki kami. Tidak ada sehelai pun debu yang terlihat. Tidak ada jaring laba-laba di langit-langitnya. Tidak ada pintu keluar. Hanya ada ruang kosong melompong dan jendela di sepanjang sisinya yang sepi.
Kami memasuki aula besar serbaputih dan bertemu android-android lain. Ketika kami bertemu, mereka langsung mengerubungi kami.
Oh, orang permukaan, ya? Bagaimana kabar di bawah? Di mana kamu tinggal? Apa yang kamu lakukan selama ini?
Aku kalang kabut menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Karena suara-suara di luar tidak terdengar sama sekali, salah satu android bernama Alina menyalakan musik. Aku tidak tahu judulnya, tapi nadanya begini—Luna menggumamkan suara biola.
Padahal jarak matahari lebih dekat, tapi bagian dalam pesawat terasa dingin. Hanya saja, bukan dingin yang disebabkan suhu. Matahari melimpahkan cahayanya yang penuh kebaikan melalui lampu-lampu energi. "Rasa" energinya berbeda dari yang biasanya kuserap di Bumi. Terasa lebih steril. Aku menyukainya—bagaimanapun, itu dari Matahari—tapi lebih menyukai cahaya yang jatuh di kota.
Lalu, Maria mengajakku menjenguk ekor kapal yang ternyata berisi permakaman. Ada peti-peti yang disusun secara simetris dengan jarak yang sama. Makam terbaru usianya sudah lima puluh tahun. Maria mendekati sebuah makam dan membelainya lembut. Ada kaca jernih yang memperlihatkan bagian dalamnya. Aku melihat sosok gadis usia belasan yang sangat cantik yang sangat mirip dengan Maria. Dia Maria, katanya. Maria yang asli. Dia cantik, bukan?