Sampai Jumpa Besok

Rafael Yanuar
Chapter #4

Secangkir Teh Hangat (4)

Saat memandang langit, tepat setelah aku berhenti memainkan gitar, aku mendengar bintang-bintang bernyanyi. Aku tahu bintang tidak bernyanyi. Kalimat itu pun sudah jutaan kali disebutkan, sebelum dan sesudah aku mengatakannya — barangkali sudah kedaluwarsa. Namun, bintang-bintang itu memang bernyanyi. Aku memejamkan mata dan membuka pintu hatiku selebar mungkin. Telingaku terasa hening, tapi hatiku sarat simfoni. Sebuah lagu teruntai dalam nada-nada yang lembut, membawa nostalgia untuk sesuatu yang dekat, tetapi jauh, terasa gaib sekaligus galib. Saat membuka mata, kau sudah duduk di sampingku. Aku menyapamu dan kau membalasnya.

Selamat malam.

Selamat malam.

"Aku lega kau ada di sini."

Kau menyandarkan kepala di bahuku. "Aku selalu di sampingmu, bahkan saat tak di sampingmu."

Aku tak mengerti, tapi aku sudah terbiasa mendengar kata-katamu yang sarat misteri. Aku memutuskan tidak menjawabnya dan membiarkan hening menenteramkan benak kita. Kau memperagakan gerakan meniup dan menutupnya dengan senyum. Ah—benar. Aku mengambil kalung harmonikaku dan memainkan beberapa nada yang panjang. Mi — Fa — So, lalu La — Si — Do. Mi Fa So, Do Si La So Fa So, So Mi Do. Luna sudah menutup jendela sejak tadi, sepertinya sudah lelap, jadi aku hanya pelan-pelan saja mengalirkan nada, menirukan lagu-lagu yang dinyanyikan gemintang.

Jalan raya yang membentang nampak berkilauan dibasuh rembulan, udara yang berembus di sekitarku terasa sepi dan kosong, tapi sama sekali tidak hampa, tidak pula nisbi. Segala sesuatunya hampir gelap semata, tapi dalam kegelapan itu, aku seperti diselimuti cahaya. Aku memandang kepadamu, berharap mendapat secercah jawaban, dan kau hanya tersenyum, seperti biasa. "Hanya ada satu jawaban, dan mustahil menyampaikannya dalam kata-kata — sebab kata-kata, bagaimanapun, hanya separuh kebenaran."

Dan, seperti biasa, aku mengerti sekaligus tidak mengerti.

Angin membawa serta sejuk embun yang mengalir di permukaan daun. Karena dingin perlahan-lahan menjadi gigil, aku memasuki jendela dan menutupnya rapat-rapat. Dengan walkman dan sebuah kaset kosong yang sebagian pitanya sudah tereka, aku menyimpan lagu baru yang tadi disenandungkan gemintang. Karena malas menulis bait, aku mengisi liriknya dengan na-na-na saja, tapi judulnya sudah ada, Suara Nyanyian Bintang. Aku mencatat judulnya di lipatan kertas dalam kotak kaset.

Setelah nada terakhir jatuh didekap senyap, aku menekan tombol setop dan memeriksa isi kaset. Sepertinya hanya cukup untuk satu lagu lagi. Pita kosongnya tinggal sedikit. Meski begitu, di lemari masih ada tiga kaset Maxell 90' yang masih baru.

Karena belum mengantuk, aku membaca buku Nietzsche. Mataku tertegun pada satu paragraf yang sudah digarisbawahi entah oleh siapa. Bayangkan jika dirimu didatangi oleh iblis pada malam buta, dan dia berkata kepadamu: "Kehidupan ini, yang kaujalani sekarang dan telah kaujalani selama ini, harus kaujalani lagi dan lagi, berkali-kali tanpa terhitung banyaknya; dan tidak akan ada sesuatu yang baru di dalamnya. Setiap rasa sakit, setiap sukacita, setiap pikiran dan keluh kesah, serta semua yang teramat kecil ataupun besar di dalam hidupmu harus kembali kepadamu, dan semua itu akan berlangsung dalam rangkaian dan urutan yang sama—akan sama pula laba-laba ini dan sinar bulan di antara pepohonan ini, dan akan sama pula peristiwa ini dan aku sendiri. Jam pasir abadi eksistensi akan dibalikkan lagi dan lagi—dan kau berada di dalamnya, kau, debu dalam debu!"

Perutku tiba-tiba terasa lapar.

Sepertinya, karena sepanjang hari hanya meminum cokelat hangat dan permen cokelat, lambungku terasa engap dan bergas. Di dapur ada bahan-bahan lengkap, tapi aku terlalu malas mengolahnya menjadi kue atau apa pun. Aku menimbang-nimbang buah persik, tapi akhirnya mengambil jaket dan melangkahkan kaki menuju kedai ramen.

Pohon lampu kota menyala redup di sepanjang jalan, tapi tak sanggup menghalau gelap yang merayap hingga ke ufuk. Kunang-kunang berterbangan di sepanjang jalan, memancarkan cahaya berwarna kuning-kehijauan — sedikit pucat, tetapi cukup. Kunang-kunang menjauh dan mendekat dan menjauh lagi. Karena jarak kedai ramen Pak Bos lumayan jauh, aku memasukkan tanganku dalam saku jaket, menggosok-gosok tangan seraya menarikembuskan napas pelan-pelan. Rambutku yang panjang tertiup angin. Berkali-kali aku merapikannya, tapi percuma. Malah tambah kusut tidak keruan. Aku mengenakan tudung yang menyatu dengan jaketku.

Begitu tiba di kedai ramen, aku melewati pintu yang hanya berupa tiga kain panjang merah yang ditulisi aksara Jepang. Entah apa maknanya. Aku duduk di salah satu bangku yang berada di dekat kuali ramen, mengejar hangat, tempatku yang biasa. Setelah menyisir rambutku dengan jari, aku menjulurkan tangan mendekati tutup kuali. Nyamannya. Kedai ini akan menghilang begitu fajar menyingsing dan kembali saat menjelang larut. Tidak ada yang tahu asal-usulnya, tiba-tiba saja ada di sini, dan selalu ramai sekalipun tak ada yang datang. Terkadang, saat duduk di genting, aku mendengar suara riuh-rendah dari arah kedai, tapi begitu aku mendatanginya, ternyata bangku-bangkunya kosong belaka. Konon, pemiliknya, yang biasa dipanggil Pak Bos, adalah hantu; atau semacam roh suci yang tinggal di hutan purba. Memang, beberapa tahun belakangan, batas antara dunia dan yang lain seolah menjadi setipis kabut, sehingga penampakan arwah, roh-roh, hantu, dan sejenisnya mulai terasa wajar, tidak lagi menakutkan.

Aku memesan semangkuk ramen dengan bumbu kare. Namun, ketika pesananku disajikan, Pak Bos meletakkan semangkuk sesuatu di sebelah ramenku. Saat tutupnya terbuka, kabut tebal nan hangat menguap merabunkan pandangan. Aku semingrah begitu menyadari, itu adalah nasi dengan taburan biji wijen dan cacahan nori (rumput laut) panggang. Sudah lama aku tidak makan nasi. Aku langsung menyuapnya sesendok. Rasanya enak sekali. Masih mengepul panas dan lidahku bagai terbakar. Tapi, tetap saja, rasanya enak sekali.

"Bagaimanapun, memang tidak ada yang seenak nasi, ya?"

Pak Bos setuju.

Ada dua botol kecil berisi cairan hitam di samping mangkuk nasi, jelas bukan shoyu. Aku menuangkan salah satunya dalam sendok—sedikit saja, hanya beberapa tetes. Ternyata kental. Kecap manis.

Aku memberi Pak Bos sebungkus teh mawar dan tiga buah persik. Dia menerimanya dengan tulus hati. Setiap kali mengunjungi kedai ini, aku selalu membawa sebungkus teh. Sama seperti Luna, Pak Bos menyukai teh mawar yang, ketika pertama kali meminumnya, membuatnya terkejut. "Saya baru tahu mawar bisa dibuat teh. Saya kira hanya krisan dan rosela." Dia menyuguhiku cokelat panas yang tidak terlalu manis dan lebih dominan rasa pahitnya. Pas dengan seleraku. Padahal aku tidak memesannya. Hanya saja, rasanya terlalu berlebihan jika diminum setelah menyantap semangkuk ramen dan nasi. Perutku yang tadinya kosong langsung wegah. Aku meminta segelas air kepada Pak Bos. Setelah meneguknya tandas, aku mohon diri.

Agar tidak terlalu lembam, aku berjalan-jalan sejenak sebelum pulang. Aku mengancingkan jaket dan menebalkan syal. Perut kenyang membuat tubuhku terasa sedikit lebih hangat.

Setelah meninggalkan kedai, sejauh bermeter-meter, kecuali gedung bekas pabrik yang sudah tak lagi beroperasi, yang menjulang hitam di ujung tatap, tak ada lagi bangunan yang terlihat. Aku mengayun kaki dengan ringan, menyusuri jalan beraspal yang ditumbuhi rerumputan liar. Di sebelah kananku, terbentang luas padang dandelion yang mulai berbunga dan semak gelagah. Terkadang terlihat Roh-Roh Hutan berjalan di balik pepohonan.

Begitu mataku mulai mengenal gelap, aku memadamkan senter. Seketika saja, suara-suara di sekelilingku menjadi bertambah tajam dan jelas. Aku mendengar kersik langkah melompat-lompat di rerumputan; entah hewan pengerat atau angin di bawah daun. Dering jangkerik dan tonggeret terdengar nyaring menebas sunyi. Kunang-kunang berpendar di sepanjang jalan. Jumlahnya tidak banyak, tapi sejauh mata memandang selalu terlihat kerlipnya. Kabut menebal dan membenamkan kakiku. Aku memutuskan pulang. Lagipula, sepertinya sudah cukup jauh aku berjalan.

Ketika aku berbalik arah, kau dan dia sudah ada di sampingku.

Sejak kapan?

Baru saja, bersama dia. Kau yang berjalan di sisi kiriku menunjuk dia yang berjalan di sebelah kirimu. Lalu aku menyadari sosok lain di sebelah kananku. Dia tidak berjalan tepat di sampingku, tapi sedikit di belakang. Dia seorang tua dengan sigaret terselip di bibirnya, tapi aku tidak mencium bau rokok. Aku menyapanya.

Selamat malam.

Oh, selamat malam.

Kami berempat berjalan dalam diam di bawah pohon lampu jalan yang menawarkan cahaya redup. Aku menggenggam senter dan menimbang-nimbang apakah perlu menyalakannya. Sudah berpuluh-puluh tahun jalan beraspal yang kami lalui tidak dilalui kendaraan selain sepeda, tapi ada semacam perasaan takut yang tersisa setiap kali aku melewatinya. Kau berkata ingin makan di kedai Pak Bos, bersama dia.

Aku baru saja makan di sana. Aku disuguhi nasi.

Benarkah?

Aku mengangguk.

Aku sudah lupa rasa nasi.

Memangnya pernah makan nasi?

Berhubung aku ciptaanmu, kayaknya pernah. Itu pun kalau kamu setuju.

Masa aku sehebat itu?

Apa boleh buat. Dia dan aku tetap saja sosok yang kauciptakan untuk mengatasi kesepianmu.

Lalu—aku berbisik di telingamu—apakah dia juga ciptaanku?

Oh, bukan. Sayangnya, kamu tidak sehebat itu.

Syukurlah.

Aku menoleh kepada pria tua di sebelah kananku. Maaf, sepertinya saya belum pernah melihat Anda. Apakah Anda pelancong?

Sang kakek, yang sejak tadi menikmati sigaretnya, mengarahkan matanya kepadaku. Dia mengenakan kacamata bulat yang sudah retak kaca kanannya. Di balik kacamata, meskipun samar, terlihat sepasang mata yang dipenuhi keriput. Bolamatanya setua waktu.

Bukan. Aku Maut. Kau boleh menyebutku Malaikat Maut. Atau Kakek saja kalau kau mau. Aku memang sudah kakek-kakek. Dia tertawa.

Entah kenapa aku tidak terkejut mendengarnya. Rasanya seperti saat aku bertemu Kurir Cuaca, Roh Pohon, atau Pak Bos saja.

Saya baru tahu Malaikat Maut ternyata perokok. Agak ironis, bukan? Tapi entah kenapa juga terasa cocok sekali. Atau, barangkali ada maksud filosofis di balik semua yang Anda lakukan?

Filosofis?

Aku mengangguk.

Lihat selengkapnya