Tiga minggu lalu, Daniel mengajakku berbelanja di kota yang beberapa pekan sekali biasa kami kunjungi—utamanya untuk mencari suasana baru, juga untuk membeli perbekalan dapur yang mulai habis. Di kota, aku suka mengunjungi alun-alun, memandangi rumah-rumah yang jendelanya menyala, dan sapa ramah penghuninya. Sesekali aroma sedap panggangan dari arah warung atau kedai memanggil-manggil, membuat perutku sukar sekali menolak. Toko-tokonya juga menyediakan hampir segalanya dalam jumlah seadanya. Etalase-etalasenya menawarkan berbagai barang—baru dan bekas. Sayangnya, sebagian besar toko tutup bahkan sebelum magrib mengatup hari, tapi segera digantikan angkringan-angkringan yang menawarkan penganan hangat. Tentu, tujuan utamaku adalah membeli persediaan teh yang tidak seberapa banyak di toko langgananku. Namun, selain melihat-lihat teh di toko Malam Kudus yang dikelola Pak Huda, aku juga selalu menyampatkan diri mengunjungi toko buku Napak Tilas Pak Hasan, seorang pria yang sejak pertemuan pertama kami sepertinya tak jua bertambah usia atau beriak telaga jiwanya, selalu tenang dan dalam. Dia terlihat rengkah—sudah tua sekali—dan kebapakan, tapi jika kaupandang matanya, ada cerlang jenaka seolah umurnya baru semuda gigi susu. Buku-buku yang aku dambakan selalu ada di tokonya, di antara rak-rak pustaka yang warna catnya sudah mengelupas. Katanya, sebulan sekali, dengan bermodal gerobak tua, yang roda dan badannya sudah aus di sana-sini, Pak Hasan mengumpulkan buku di kota-kota tetangga, juga di permukiman warga yang ditinggalkan. Aku selalu mencari waktu bertandang ketika Pak Hasan ada di tempat. Sebagai pemilik perpustakaan, bahkan Luna mengakui koleksi Pak Hasan jauh lebih banyak daripada yang dia sendiri miliki. Kota itu dulu bernama—mungkin sesuatu yang bermakna cahaya, seperti nama semua kota di pulau Alaula—tapi kini kami menyebutnya "Pusat" saja. Sepertinya tak ada lagi yang mengingat namanya, bahkan penduduknya sendiri. Seandainya boleh, aku ingin menamainya Tsurayya saja.
Jujur, ajakan Daniel begitu menggoda, dan aku toh sudah lama tidak belanja, tapi, karena persediaan teh di rumah masih banyak, terpaksa aku menolaknya. Meski tidak mampu menyembunyikan rasa kecewa di wajahnya, Daniel tetap menawarkan bantuan. "Barangkali kamu mau menitip sesuatu? Setoples cokelat, mungkin? Atau permen? Bubuk teh?" Aku tertawa kecil. Dia tahu semua yang kusuka. Aku menjawab tidak, tidak ada. "Tapi kalau di toko Pak Hasan, kamu menemukan buku puisi, bawalah satu untukku." Aku ingin membaca puisi. Di perpustakaan Luna hanya ada sedikit buku puisi, dan sebagian besar ditulis dengan bahasa Inggris. Bukan berarti aku tak bisa membacanya, hanya saja aku ingin menikmati sajak yang ditulis dengan bahasa ibu, seperti sajak-sajak Chairil Anwar atau M Aan Mansyur yang dulu diungkapkan Nenek pada malam menjelang lelap. Bahkan sebelum kata-kata membentuk suatu makna di telingaku, hampir setiap malam Nenek membacakan sajak-sajak untukku. Dua buku saja yang menjadi favoritnya, yakni Aku Ini Binatang Jalang karya Chairil Anwar dan Aku Hendak Pindah Rumah karya M Aan Mansyur. hampir setiap malam dua buku itu mengantarku kepada lelap. Kata Nenek, karena rutin mendengar sajak, aku jadi cepat bicara. Entah benar atau tidak, mungkin sajak dan kecepatan bicara ada hubungannya, mungkin juga tidak, tapi yang pasti kenangan tertua yang ingatanku masih sanggup menjangkaunya adalah saat Nenek membacakan sajak-sajak itu untukku. Saat itu, malam di depan jendela segelap pejam yang gelisah; hujan turun tanpa henti. Aku berbaring di pangkuan Nenek yang sebelah tangannya membelai rambutku, dan tangannya yang lain membuka buku. Dengan suaranya yang lembut, Nenek membacakan sajak panjang M Aan Mansyur. Di Hadapan Mata Jendela, judulnya. Aku masih ingat baris pembukanya.
waktu mulai berwarna coklat, malam hendak tiba,
aku duduk berhadap-hadap dengan mata jendela.