Setelah bus menjauh dan tak terlihat lagi, aku berjalan mendekati pintu keluar, dan duduk di salah satu bangku yang tidak terlalu berlumut. Ada debu, lempung, kulit serangga yang telah kering. Aku menyapu semuanya sekaligus. Di sampingku, berdiri tiang lampu yang sudah lama padam, di belakangku pohon kamper tua sabar mengamati segala. Cahaya mengombak lembut di antara dahan-dahannya yang besar. Sayup-sayup daun dipermainkan angin perlahan-lahan sampai. Langit dipenuhi bayang-bayang seteduh telaga.
Di bangku yang mulai hangat itu, aku berbaring berbantalkan tas dengan menempelkan pergelangan tangan di kening. Bau lumut yang keruh tapi menenteramkan membuaiku. Di atap loket, terlihat samar seekor burung melompat-lompat sunyi. Kicaunya yang menyayat menyumbat telinga. Seperti Kauai O'o di Hawai'i yang di ujung jurang kepunahan memanggil pasangannya—tapi dialah yang terakhir dari kaumnya. Kicau burung di atap loket itu tidak sama dengan Kauai O'o, tapi ketika mendengarnya, tercipta suatu kesan yang hampir serupa, barangkali karena mereka sama-sama menjeritkan kesepian, kerinduan, dan kekalahan, dengan bahasa yang muskil dimengerti tapi dapat dipahami. Syukurlah, burung lain kemudian menghampiri dan kicau yang sampai menjadi sedikit girang. Aku toh tidak ada bedanya dengan mereka—burung-burung itu. Manusia, pada akhirnya, menjadi spesies yang hampir punah. Sebentar lagi, barangkali di permukaan Bumi yang tabah menampung segala ini, tak ada yang tersisa dari kami.
Saat hendak bangkit dan menegakkan punggung, aku terhuyung hampir jatuh. Ada sesuatu dalam lambung yang mendesak keluar lewat kerongkongan. Segera saja aku menenggak teh hijau—segelas dan segelas lagi, seperti obat. Setelahnya, napas menjadi ringan dan mata yang sempat buram kembali disentuh warna. Aku meraba pola Matahari di sandaran bangku dan membiarkannya meredup di tanganku. Lunalah yang kali pertama menyebut cahaya-Nya—dia selalu menulis Matahari dengan N besar—sebagai "Pola Matahari". Dia kerap memejamkan mata seolah berdoa—tidak, bukan seolah, dia benar-benar berdoa. Setelah membisikkan isi hati terdalamnya, dia jadi terlihat lebih baik dan lebih santai.
Luna menyerap nutrisi Matahari sebanyak yang mampu dicerapnya. Aku pun begitu. Sebenarnya aku tak tahu apa itu Nutrisi Matahari, mungkin ada hubungannya dengan baterai di dalam tubuhnya, atau cairan Jiva di belakang telinganya, tapi bukankah semua makhluk menyandarkan hidupnya kepada Matahari? Dan aku bukan kekecualian. Punggung tanganku menjadi hangat, seperti digenggam tangan yang sabar dan penuh kebaikan hati, seperti dipeluk sosok berwelas asih. Mungkin ada baiknya aku berdoa kepada Matahari seperti kepada Tuhan seperti Luna. Mungkin Matahari adalah Tuhan.
Sejak kecil, terutama sejak genetikku diedit—atau yang kemudian disebut diangkat—kesehatanku memang tidak terlalu baik. Aku bisa berhari-hari berbaring di tempat tidur dan menghabiskan waktu dengan membaca, menjalani tutor, atau menulis di layar ponselku. Luna biasanya datang dengan membawa buku-buku ringan, seperti komik atau novel anak, tapi terkadang, karena dia tahu aku astrophile, dia membawa buku-buku tentang antariksa. Terkadang aku memintanya membacakan beberapa paragraf Carl Sagan, terutama pada bagian Pale Blue Dot.
Buku Pale Blue Dot, jika dibacakan, memang menyerupai dongeng. Apalagi suara Luna jelas dan menenangkan. Aku mudah sekali terleap, bahkan sebelum bab satu selesai.