Cukup lama juga Daniel pergi, tidak seperti biasanya. Mungkin ada sesuatu yang terjadi. Aku mengiriminya pesan dengan ponselku, tapi tidak dibalas. Mungkin baterainya habis. Ponsel Daniel masih belum dilengkapi fitur baterai matahari, jadi harus di-charge secara berkala, dan karena sudah berusia tua, baterainya cepat sekali habis. Daniel terkadang lupa dia mempunyai ponsel. Dia juga jarang mengerjakan tutor hariannya. Tiga hari berturut-turut, aku menunggunya di terminal, tapi Daniel tak kunjung datang. Dia baru pulang justru ketika aku tidak menunggunya.
Saat memperbaiki papan ikan penunjuk angin di depan rumah, aku melihat bayang-bayang seseorang mendorong sesuatu di dekat kedai ramen—atau, lebih tepatnya, di tempat kedai itu seharusnya berada. Aku menyipitkan mata dan menutupi keningku dengan tangan.
Ternyata Daniel.
Saat melihatku berdiri di depan rumah dengan tangan terlipat di belakang, dia menghentikan langkahnya, lalu menyandarkan bawaannya di samping tangga balkon. Dia mengelap keringat di keningnya dengan lengan bajunya. Boleh cium? katanya. Aku tertawa kecil dan mengangguk. Kami pun berciuman singkat di depan pintu kedai. Langit mendung dan angin mulai membawa hawa dingin, sepertinya sebentar lagi hujan akan turun, tapi Daniel seperti habis berjemur—mungkin memang begitu. Bajunya kusam bersimbah peluh. Aku segera menyuruhnya memasuki kedai dan dia berterima kasih dengan senyum yang menampakkan lesung di pipi kirinya. Kami sama-sama mengangkat troli yang berat itu untuk disandarkan di dalam balkon.
Segera setelah Daniel duduk di salah satu bangku, yang dekat dengan kasir, aku mengantarkan secangkir teh kepadanya. Teh manis dingin dengan dua sendok gula jagung. Aku bertanya kepada Daniel, apakah aku boleh duduk di dekatnya. Dia mengiakan lalu memberiku ruang di sisinya, tapi aku lebih memilih duduk di hadapannya, setidaknya agar kami dapat saling melihat. Aku bertanya, kenapa dia pergi lama sekali. Sebagai jawaban, Daniel menyampaikan kabar yang membuatku tereperangah. Kota Cempaka tenggelam. Aku, yang belum sanggup mencernanya, memintanya mengulang kata-katanya. Aku hampir tidak mempercayai pendengaranku, apalagi Daniel sering bercanda, dan dengan selera humorku yang memprihatinkan, aku sering terlambat menyadarinya, tapi sorot mata Daniel serius.
Kota Cempaka tenggelam?
Ya.
"Saat aku berangkat, kota Cempaka sudah terendam banjir setinggi mata kaki, tapi bus masih dapat melewatinya. Aku memandang jendela dan memperhatikan rumah-rumah beratap miring di belakang trotoar, tapi tidak melihat satu pun penduduk. Halaman-halaman rumah dibiarkan kosong. Daun-daun menggenang di jalan. Tak ada kain yang dijemur di kawat-kawat jemuran.
"Sepertinya semua penduduk kota Cempaka, yang barangkali tidak sampai seratus, sudah mengungsi.