Sampai Jumpa Besok

Rafael Yanuar
Chapter #9

Suara Kesunyian (5)

Ah, selain jeruk, aku juga punya ini—Daniel menyerahkan sekantung besar cokelat sebagai oleh-oleh. Oh, ada susu cokelat juga. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Aku bahkan nyaris menangis saat menerimanya. Stok cokelatku memang tinggal sedikit, dan aku tak mampu membayangkan hidup tanpa cokelat—sekalipun cokelat yang kami temukan hanya produk sintetis. Aku betulan menangis ketika menerima kantung kertas berisi lima jilid buku bekas, yang semuanya buku kumpulan sajak. Aku melihat-lihat judulnya, ada Padamu Jua karya Amir Hamzah, lalu Aku Ini Binatang Jalang karya Chairil Anwar, selanjutnya buku Sajak-Sajak Sepatu Tua karya Rendra, Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono, dan sebuah novel berjudul Komedi Manusia karya Saroyan. Dulu aku terbiasa mengawali hari dengan membaca beberapa lembar sajak, lengkap dengan secangkir cokelat panas di beranda yang teduh sebelum terbit fajar. Hari-hari masih sesunyi biasanya, bahkan mungkin lebih sunyi, tapi puisi membuat segalanya jadi terasa tertanggungkan. Berjam-jam lamanya aku membaca—berusaha mengabaikan kata-kata yang berloncatan di kepala. Kenapa pendar inspirasi justru datang ketika aku hanya ingin membaca, bukan menulis? Bagaimana mungkin aku tahan? Buku sajak banyak mempunyai bagian yang kosong. Dalam satu halaman, barangkali hanya sepertiga yang terisi. Jadi, aku menulisi bagian-bagian yang putih kosong itu dengan puisi-puisiku sendiri, yang terkadang di mataku jauh dari layak. Puisi-puisi itu hanya mengabadikan—atau tidak, boleh jadi ia hanya catatan—perasaan-perasaan yang kualami dan yang tidak. Tak dapat dipungkiri, aku tinggal di dunia yang sepi tapi indah dengan suasananya yang romantis, yang setiap pagi diberkahi cahaya terbit yang manis dan setiap senja bermandikan cahaya layung yang lembut. Begitu saja isi puisi-puisiku sebenarnya, dan aku tak berharap ada yang membacanya selain diri sendiri. Suatu saat nanti, setelah aku mengembuskan napas penghabisan dan menjadi salah satu yang terlupakan, barangkali ada yang menemukan buku-buku itu, lalu membaca puisi-puisiku yang menyelinap di bagian kosongnya dan menebak siapakah penulis kecil yang kesepian ini. Lalu, pada malam-malam sebelum lelap, aku mencoba melagukan sajak-sajak yang mengusik hatiku itu, yang terngiang-ngiang selalu sepanjang hari. Aku memetik gitar dengan memangku buku puisi.

Saat menjelang siang, yang ada di kedai hanya Luna dan aku. Daniel sudah pergi, meninggalkan sebuah kecup di kening. Buku-buku pemberiannya aku letak di sudut meja. Luna tertarik dan meminjam satu, Komedi Manusia, dan membacanya di dekat jendela. Luna tidak banyak bicara, begitupun aku, dan kami, pada akhirnya, hanya menikmati keberadaan masing-masing. Cuaca, seperti biasa, seteduh hari-hari sebelumnya dan mungkin sama dengan hari esok pun. Pada dasarnya, hidupku begini-begini saja, biasa-biasa saja dan cenderung datar tanpa gejolak, seperti danau yang tenang, tapi bukan berarti membosankan. Daniel dan aku berencana hidup bersama, tapi berhubung kami yatim piatu, dan mandul pula, kami memutuskan melangsungkan pernikahan diam-diam saja. Entah kapan waktunya, kami pun tidak tahu dan tidak mau memusingkannya, kami hanya tahu, suatu kelak kami akan bersama sepanjang sisa usia, mungkin tumbuh menjadi pasangan tua seperti Nenek dan Eyang Hora yang sejak bermulanya ingatan, menetap di situ-situ jua. Sebenarnya, kami sama-sama tidak tahu apa gunanya berencana, mungkin agar hidup yang terasa tanpa waktu ini jadi sedikit mempunyai getar, entahlah. Aku mengelap meja dalam rembang siang yang diteduhi daun-daun gugur, aku biarkan saja yang jatuh di aspal, hanya menyapu yang rontok di lantai beranda. Sesekali, aku memandang Luna yang termangu di samping jendela, dimainkannya cangkir teh yang meruapkan harum mawar nan manis. Aku membuka pintu lebar-lebar dan membiarkan suara alam menyelinap masuk. Angin yang berembus menyentuh lonceng kecil di muka pintu. Gemerincingnya membuat kedaiku jadi terasa ramai dan damai — hanya saja yang datang bukan manusia, melainkan angin, atau mungkin pengunjung gaib, seperti para hantu yang biasanya muncul saat menjelang petang dan semakin jelas wujudnya saat angkasa menggelap. Jika kau beruntung, kau bahkan dapat melihat iring-iringan lampion yang menyala di sepanjang jalan, yang terus bergulir sampai ke dalam hutan. Lampion-lampion itu terasa dekat, seolah jaraknya hanya selemparan batu, atau seperminuman teh, tapi saat kau mengejarnya, mereka terasa muskil kaususul. Meski coba kaudekati berulang kali pun, lampion-lampion itu selalu sudah di depanmu di selisih jarak yang sama. Selamanya kau hanya mampu berjalan di belakangnya—dan ketika perhatianmu buyar, entah karena suasana malam itu terlalu indah untuk diabaikan, atau karena sebab-sebab yang lain, yang terus-menerus mengusik pikiranmu, cahaya merah itu akan menghilang, meninggalkanmu dalam kegelapan hutan dan jalan setapak yang entah ke mana 'kan berakhir. Kau justru dapat menikmati malam festival, yang kami juluki "festival arwah" justru saat mengubur dalam-dalam rasa penasaranmu. Biarkan saja lampion-lampion merah itu berjalan dua-dua di depan jendelamu. Biarkan saja, saat malam melarut dan langit menjadi sekental kopi, gema suara biji-bijian yang diaduk dalam wadah kayu terpantul di mana-mana seolah jaraknya dapat dijangkau jemari. Jauh sekaligus dekat. Lalu, saat tabuh-tabuhan terakhir lesap dalam senyap, hiruk pikuk peradaban yang seharusnya sudah lama punah, terdengar menggantikannya. Semula hanya kilas samar di latar belakang, tapi lama-lama menjadi sedekat jemari. Meski begitu, saat kau menjenguk jendela, tak ada apa pun di luar sana selain dunia yang sunyi. Lamunanku terpecah manakala menyadari suara kicau burung-burung di belakang desauan daun dan aku dikembalikan pada teduh siang yang dipenuhi derik jangkerik dan cicada. Aku memejamkan mata dan memisahkan kicau itu dari suara-suara lain yang mengelilinginya dan segera saja telingaku mendengar dekut yang akrab. Rupanya di di depan rumah, di pohon yang hitam-hitam rantingnya, bertengger burung-burung pergam putih yang biasanya enggan hidup di dekat manusia. Awalnya, aku salah mengenalinya sebagai merpati, sebab perbedaan warna bulunya hampir-hampir tidak kelihatan. Kecuali pada sayap dan ekornya yang hitam, seluruh badannya putih, tapi saat pertama melihatnya, hitam dan putih itu melebur menjadi kelabu—seperti merpati. Benar-benar burung yang cantik! Sebuah suara mengejutkanku. Aku menoleh dan mendapatimu sudah berdiri di sampingku, entah sejak kapan, tidak ada dia, katamu dia sudah lama tidak ada. Aku tidak bertanya lebih lanjut apa maksud "tidak ada" itu, dan memilih menggenggam tanganmu saja. Kau memandang lurus-lurus pada salah satu dahan yang dihinggapi empat ekor burung pergam. Aku memahami perasaanmu yang barangkali sama dengan perasaanku—bukankah kau itu diriku juga, sisi diriku yang lebih manusiawi? Meski kerap ditemukan di hutan purba, dengan berbagai jenisnya yang beraneka ragam, rasanya baru pertama kali aku melihat burung-burung pergam di perdesaan ini. Burung-burung pergam biasanya hidup di hutan, menjauhi segala aktivitas manusia. Mungkin mereka sudah berjabat tangan dengan sisa-sisa peradaban yang di mata mereka tak mengancam lagi, atau, yang lebih mungkin, jangan-jangan perdesaan ini sudah berubah menjadi hutan? Mungkin ini sesuatu yang perlahan-lahan terjadi, tapi begitu terjadi, langsung terlihat perbedaannya. Mungkin iya, kau melangkah girang di antara pohon-pohon yang menyerupai bambu, yang memayungi jalan ke rumah Daniel. Angin sepi membelai rambut panjangmu yang tidak diikat. Kau mengenakan gaun terusan putih gading tanpa motif tapi cocok sekali dengan tubuh mungilmu. Kau benar-benar menyerupai masa kecilku. Lalu aku membiarkanmu pergi dan menghilang ke dalam kenanganku, kubiarkan kau menjalani hidup di tempat yang jauh, lebih jauh daripada mimpi, dan aku kembali memandang burung-burung itu, yang memberiku perasaan hangat, menyerupai kedamaian, mungkin karena mengingatkanku pada kisah alegoris Musyawarah Burung-Burung karya penulis sufi Fariduddin Attar. Burung-burung dalam buku itu melambangkan pencaharian spiritual, kerinduan terhadap Yang Satu, yang ternyata adalah diri mereka sendiri.

Aku memasuki kedai dan mendapati Luna masih duduk di samping jendela dengan mata terpejam seolah menerima kecup Matahari di pipi dan keningnya. Dia menangkupkan dua tangannya di permukaan meja yang dilapisi taplak bermotif bunga yang warnanya sudah pudar diisap cuaca. Entah sudah berapa lama dia berada dalam posisi yang sama. Terkadang Luna dapat mematung lama sekali—dengan napas yang berembus kecil-kecil. Tapi dia tidak terlelap. Dia sesadar saat membuka mata. Katanya, hanya dengan begitulah, dia mendengar Matahari menyanyikan lagu-lagu yang hangat. Tirai tipis jendela yang selembut mantila membayang di wajah Luna yang jernih. Aroma mawar dari gelas tehnya yang belum tersentuh terhidu di seantero ruang. Aku tersenyum dan berjalan lambat-lambat menuju mejaku sendiri, pelan-pelan duduk di bangku yang sudah disediakan. Aku biarkan saja sunyi ini bertahan selama mungkin, tak ingin memecahkannya dengan suara apa pun, termasuk yang menggema tak putus di hati. Biar saja angin berembus menembus pintu yang tersibak lebar-lebar, membawa aroma daun-daun segar dan kicau burung-burung yang melangutkan.

Kepak sayap sekawanan punai, entah di mana, menembus lamunan terik siang. Di belakang meja konter, aku merunduk mengawasi pintu yang dibiarkan tersibak, semata agar mataku dapat memandang dengan jarak yang lebih luas, tempat burung-burung itu semestinya berada, tapi aku tidak melihat apa pun selain langit biru-kehijauan di belakang rimbun oak yang usianya setua waktu. Ombak daun yang berayun di dahan terus-menerus menderu, membuat segala suara jadi meredup di latar belakang. Tanpa aku sadari, dekut burung-burung tak lagi terdengar, hanya sunyi yang tersisa, terasa jauh sekali. Aku tidak dapat menebak ke mana perginya burung-burung itu, kini wujudnya pun sesamar mimpi, ataukah memang begitu? Mungkin mereka pergi dari—atau pulang ke—hutan purba, atau bersembunyi di negeri kabut, tempat dongeng-dongeng bukan lagi dongeng dan mimpi-mimpi bukan lagi mimpi. Aku menyandarkan kepala di permukaan meja dan memainkan bola globe, memutar-mutarnya, dan bertanya-tanya, apakah dunia memang sekecil ini? Aku tidak tertidur tapi tidak pula terjaga, kesadaranku setipis fatamorgana di parau kemarau, sekalipun cuaca siang saat ini seteduh kenangan indah. Aku tak tahu lagi di mana sebenarnya berada. Pada saat-saat seperti ini kerap kudapati kau di ujung kesadaranku. Kita terpisah selubung kenangan. Kau tak menyadari keberadaanku, sebab diriku yang adalah masa depanmu belum lagi dapat dikatakan ada. Kau seperti pemandangan di depan jendela dan aku orang yang diam-diam mengikuti gerakanmu dari balik ruang gelap. Kau bertanya-tanya tentang apa yang kuyakini—apa aku sanggup menenangkanmu yang terus-menerus cemas terhadap masa depanmu sendiri? Lalu waktu, bukan giliranku. Matahari, bukan milikku.

Pada pukul tiga petang, Luna pun pulang. Aku mengantarnya menyeberang, sekalian meminjam buku dan mengembalikan yang telaj lunas halamannya. Aku selalu menyukai aroma tajam buku tua di perpustakaan Luna, yang entah bagaimana tidak menyesakkan sama sekali. Luna senantiasa berkeliling, merawat buku-bukunya dengan cermat dan hati-hati, tanpa memperhitungkan hari. Tak ada sehelai pun debu menempel di lembar halaman ketika jariku menyelidik kata-kata di dalamnya. Aku suka memindai satu per satu buku di rak, dan menyusuri rak-rak dan lorong pustaka yang lengang dan sepi. Tiga buah jalusi di masing-masing sudut menyebarkan cahaya Matahari secara merata di seantero ruang. Adakalannya Luna tidak berkeliling dan tenggelam di balik mejanya, dan jarang sekali terlihat sampai-sampai aku hampir melupakan keberadaannya—jika sudah begitu, lebih mudah melihatnya di kedaiku daripada di rumahnya sendiri. Perpustakaan jadi terasa luas dan kosong. Hanya buku-buku dan aku yang terdengar napasnya. Aku pulang dengan membawa sekantung besar buku yang hampir semuanya membahas hutan dan gunung. Aku ingin menulis novel berlatar pegunungan, tentang gadis yatim piatu yang sehari-harinya mencari nafkah dengan membuka kedai teh. Sebelum kembali memulai kelana, para pelancong tetirah di sana, barang semenit-dua menyelonjorkan kaki. Aku ingin menamainya dengan namaku, Erlyna, tapi mungkin juga Luna. Aku menyukai nama Luna.


Lihat selengkapnya