Sampai Jumpa Besok

Rafael Yanuar
Chapter #10

Suara Kesunyian (6)

Saat langit berubah merah, Eyang Hora datang dengan becaknya yang dipenuhi buah-buah hasil panen. Dia memberiku sepuluh butir semangka dan sepuluh lagi untuk Luna. Segera saja aku bingung mau diapakan semangka-semangka itu, yang akhirnya aku bariskan di atas meja konter; agar cantik, aku menghiasnya dengan pita juga. Mungkin nanti, esok atau lusa, akan ada yang mau menyantapnya bersamaku. Aku menyuguhkan secangkir teh kepada Eyang, lengkap dengan roti bakarnya, tak lupa juga membungkus satu untuk Nenek. Karena ini Sabtu sore—besok libur—dan kebetulan Eyang Hora datang dengan becaknya, boleh tidak, ya, kalau aku menumpang saja? Aku ingin menghabiskan malam di hutan. Sudah lama aku tidak ke Gereja dan memilih menemui-Nya di rimbun hutan saja. Semenjak Romo Paulinus meninggal, Gereja Santo Ignatius tutup sementara, tapi jika kau mengunjunginya, pintunya selalu terbuka, tidak dikunci, dan ada pelantang suara yang memutar lagu-lagu Puji Syukur, menyesuaikan dengan tanggal Liturgi. Siapa yang memutarnya, tak ada yang tahu. Ketika angin berembus, lonceng-lonceng yang disembunyikan di balik dahan-dahan pohon siprus di halaman membentuk nada yang sunyi.

Setelah bersiap-siap sejenak—aku hanya membawa tas berisi baju ganti, termos teh, air minum, dan beberapa jilid buku—aku duduk di bangku becak. Rasanya nyaman sekali, seperti hendak berkelana jauh saja. Udara sore yang lembut dan berwarna kemerahan terasa membawa aroma musim gugur yang datang sebentar lagi. Eyang mengayuh pelan-pelan saja, tendanya pun dibiarkan terbuka. Aku mendekap erat jaket sebab udara terasa kian dingin saja. Ketika kami sampai di toko roti, aku melihat Daniel berdiri di kebun, sepertinya menyirami bunga-bunga. Aku melambaikan tanganku. Dia tidak bertanya aku mau ke mana. Dia sudah tahu, dan kalau mau dia pun dapat menyusulku, tapi—seperti pula Luna—sekalipun kesepian seringkali mencekam dan memuramkan wajahku, dia tahu adakalanya aku ingin sendiri saja, menikmati kekosongan yang wajar, yang damai, di tempat yang tidak penuh firasat akan jutaan hal yang pernah direncanakan tapi tak pernah menjadi nyata. Aku menyukai tempat-tempat semacam itu, yang senyap tapi tidak ganjil, yang sunyi tapi tidak sepi, dan salah satunya adalah tempat yang saat ini kutuju. Tempat-tempat itu seperti penyembuh bagiku. Becak berjalan dengan terkantuk-kantuk, bayang-bayang memanjang sunyi. Aku memandang sekumpulan burung terbang mengejar arah selatan, ke barisan bukit yang sambung-menyambung hingga ujung dunia. Setelah rumah Daniel tertinggal di belakang, tak ada rumah lain yang terlihat.

Sementara Eyang mengendarai becaknya, aku memandang bunga lampu jalan yang menyala satu per satu. Semula seredup kunang-kunang, lama-lama benderang, tapi tidak terlampau terang. Cahaya yang mulanya berwarna kekuning-kuningan, berubah menjadi kehijau-hijauan, dan sesudah itu berangsur-angsur menjadi kebiru-biruan. Cahaya-cahaya itu terus berubah, seolah hendak mengingat semua warna di Bumi, merah muda, jingga, merah tua, ungu, kelabu, dan sesuatu yang mendekati hitam, dengan spektrum yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Bunga-bunga itu bercengkerama dengan cahaya—bahasa tertua yang pernah ada.

Ketika Matahari terbenam di ufuk, kami sampai di rumah Eyang. Aku turun di dekat jembatan yang menghubungkan desa dengan hutan seluas benua. Sebelum menyeberangi jembatan, yang lantainya terbuat dari kayu sederhana, aku berpamitan kepada Eyang dan Nenek. Nenek membekaliku dengan serantang bakpao yang masih mengepul, panas di tanganku, aku menyantapnya satu sebelum berangkat. Dengan rantang di tangan kanan dan lampu di tangan kiri, aku pun menyeberangi jembatan yang lantainya sudah ditenggelamkan kabut. Sungai yang menderas di bawah kakiku tak tampak wujudnya, hanya suaranya yang terdengar, menderu-deru. Sesampainya di seberang, aku meletakkan bawaanku di lantai berumput, lalu merapatkan jaket dan menaikkan syal hingga ke bawah hidung, tak lupa juga mengetatkan tali ransel. Udara yang mengendap di sekitar seolah mengandung embun yang basah, tetapi tidak menyesakkan sama sekali, seolah tidak terbuat dari bahan yang sama dengan yang setiap hari kuhidu. Aku tak dapat melihatnya, tapi aku yakin napasku menguarkan uap putih. Aku mengangkat lampu minyak di tangan kananku dan mendapati diri tengah berada di antara pohon salam, viburnum, dan alder, yang dilengkapi dengan pakis-pakis besar dan bunga-bunga liar yang tumbuh bebas dengan pulas warna yang berbeda-beda. Entah di mana, aku mencium aroma samar arbei di belakang bau humus yang tajam. Cahaya bulan yang lemah tak sanggup menembus rapat daun-daun, hanya sedikit yang berhasil mencapai permukaan tanah, tetapi cukup, lebih dari cukup malah. Dengan mengandalkan titik-titik pendar peraknya, yang mengubah dunia jadi monokrom, aku melangkah dengan lebih pasti. Lalu rembulan pun mencapai batasnya. Saat akhirnya satu-satunya terang hanya lampu minyak yang tidak terlalu jauh jangkauan jaraknya, denyut jantungku berpacu, tapi aku mendamaikannya. Tidak mengapa, tidak mengapa, bisikku dalam hati. Aku mengenal jalan ini sebaik telapak tanganku sendiri. Aku hanya perlu mencari alamat sungai, dan itu tidak terlalu jauh. Untuk menghalau getar jemari, aku menyanyikan lagu-lagu ciptaanku sendiri, terkadang aku hanya meniru notasi yang disampaikan pucuk-pucuk pinus, yang berkelebat di saujana dalam wujud siluet-siluet yang menajam. Ada sebuah pondok kecil di ujung jalan setapak ini, yang letaknya tak jauh dari sungai. Pintunya tak berselot, hanya papan yang ditempelkan begitu saja di kusen dengan sepasang engsel yang sudah lama tidak diminyaki, sehingga selalu menimbulkan suara derit yang lengket manakala tersibak, tapi bagian dalamnya ada gerendel. Jendelanya belum pecah terburai dan ranjangnya masih dilengkapi kasur sekalipun sudah lepas jahitannya di sana-sini. Seminggu sekali aku menyempatkan diri membersihkannya dan menempatinya pula. Di hutan ada puluhan pondok sejenis — sebagian sudah hancur, sebagian masih baik, dan sebagian dihuni pertapa. Aku mendaku salah satunya sebagai milikku. Hanya ada satu kamar di dalam sini dan tidak ada ruangan lain lagi. Kamar tersebut dilengkapi meja panjang yang menghadap jendela kecil dengan tirai cokelat yang mampu menghalau cahaya secerlang apa pun dan membuat seisi ruang menjadi segelap pejam. Di meja, aku menyimpan lima buah buku yang diberikan Daniel pagi tadi, setoples garam dan gula, serta sekotak daun teh hitam dan rosela. Dapur dengan kompor tungku dan zanjabil ada di belakang pondok, lengkap dengan panci labah-labah dan peralatan makan kayu di dindingnya—berapa kali pun kau mencucinya, selalu ada lumut menyelimuti sendok-sendok dan garpu-garpu kayu itu. Aku memasak sop dengan sayur-sayuran yang kupetik dari tepi sungai yang jaraknya tidak terlalu jauh di belakang pondok—agak menurun dan berbatu, tapi tidak sulit ditempuh. Aku membuka rantang pemberian Nenek, mengambil satu bakpao, lalu menyantapnya sambil duduk di depan pintu. Karena tak ada bangku, aku berleseh saja beralas sandal seraya sesekali memainkan kalung harmonikaku, mengundang nada-nada tunggal yang panjang dan repetitif. Aku memandang pucuk-pucuk cemara yang diterangi cahaya bulan dan membayangkannya sebagai not-not yang menyimpan tinggi rendahnya nada, aku melukis birama imajiner dengan mataku, lalu menerjemahkannya menjadi lagu dengan harmonikaku. Meski repetitif dan kadang hanya ada satu dua nada secara terus-menerus, ternyata hasilnya cukup indah. Aku buru-buru meraih ranselku dan mencari Walkman yang seharusnya aku letakkan di risleting pertama, tapi rupanya aku lupa membawanya. Ya sudahlah, mungkin lain kali, lalu kembali meniup harmonika dan memainkan lagu yang sama berulang-ulang. Aku mendengar suara seruling yang, entah bagaimana, terasa begitu padu dengan senandung harmonikaku. Rupanya ada seseorang yang terjaga selain aku, tapi aku tidak benar-benar yakin ia manusia. Di seberangku ada lembah yang dalam dan nun jauh di sana, ada sawah sengkedan yang sudah lama tidak disentuh petani, perlahan-lahan kembali pada bentuk alaminya. Lalu aku memangku harmonika dan membiarkan malam mendesahkan sunyinya yang biasa. Aku tidak tahu sekarang jam berapa tetapi bulan sudah semakin kecil bentuknya, sangat jauh berbeda dengan saat aku baru sampai di sini. Aku menggigit bakpaoku yang masih menyisakan panas, kunang-kunang berkerumun di belakang belukar. Banyak sekali jumlahnya, dan beberapa mempunyai cahaya yang menyerupai bunga lampu jalan, berubah-ubah pada setiap kedipnya—merah tua, jingga, merah muda, ungu tua, nila, biru. Beberapa ekor kunang-kunang pusparona yang memendarkan cahaya kebiru-biruan, yang kemudian berubah menjadi kemerah-merahan, yang lalu menjelma keungu-unguan, hinggap di punggung tanganku. Aku takjub saat ia beralih rona begitu lincah sampai-sampai tidak kentara. Tidak lama ia menemaniku. Sebelum aku puas memandangnya, ia sudah terbang menjemput teman-temannya yang lain, mengisi kelam dengan cahaya yang sepi. Aku mengangkat hidungku, udara terasa manis seperti dipenuhi anggrek, padahal di sekitarku tidak ada sehelai pun—atau ada? Tentu saja "aroma manis" yang aku maksud tidak dalam makna yang sebenarnya. Seringkali udara hanya menyajikan aroma hutan yang biasa, tapi kita selalu dapat menyadari aroma anggrek. Mungkin di barisan pohon pop ash itu ada anggrek hantu—yang seharusnya mekar setahun sekali. Aku enggan memastikannya. Rasa letih menjalar di sekujur tubuh. Aku memilih memasuki pondok dan meletakkan lampu minyak di meja, membiarkan baranya melambai-lambai, semakin lama semakin samar seiring redupnya pejam. Aku nenyeduh secangkir teh yang tidak terlalu kuat rasa dan aromanya, lalu menyesapnya perlahan-lahan sampai rasa hangatnya menjalar di seluruh tubuh. Aku memadamkan lampu minyak di samping pejamku dan seketika yang tersisa tinggal kelam yang pekat, seolah mempunyai bobot. Antara pejam dan jaga hampir tiada beda. Malam semakin lama semakin larut dan segalanya gelap dan aku berbaring di kasurku yang gelap. Tak ada satu pun berkas cahaya, aku tak tahu di mana berada, apakah masih di tempat yang sama atau di kelam mimpi yang samar, bedanya antara mata terpejam dan membuka pun tak kupahami sungguh-sungguh. Segalanya sama saja, yang nyata menjadi nisbi. Aku meringkuk di dasar sumur, udara di sekitarku memekat dan mendingin—dingin sekali, sampai-sampai membuatku menggigil—air melahapku dan hampir menelan hidungku, mataku terasa pedih, pejam tak lagi menyembuhkan. Telingaku sunyi-senyap, segala suara memadat dan mengendap hingga tak satu pun lahir sebagai bunyi. Suara di benak pun tak bernasib lebih baik. Kepala terasa kopong, kosong, aku seolah berhenti ada. Keberadaanku memudar dan menyatu dengan udara. Sumur yang kudiami ini semakin lama semakin dalam. Di dasar sini, di ujung abyss yang tersembunyi di palung Bumi ini, kebebasan tinggal masa lalu, yang jauh dan tinggi. Kematian mendekat kepadaku dan duduk di sampingku, dan kami berdua menengadah mencari-cari cahaya bulan yang barangkali melintas di mulut sumur, tapi tak nampak apa pun, apakah lubang sumur itu tertutup atau terbuka, atau bahkan ada, adakah jalan keluar, kami pun tidak tahu. Dan kami hanya berdiam saja tanpa berkata sepatah pun. Aku tak tahu kapan lelap mengecup mataku. Sepertinya aku bermimpi, tapi melupakannya, hanya saja aku yakin itu mimpi yang indah dan membahagiakan, yang berhubungan dengan kenangan—barangkali dengan Nenek, atau Luna, atau keduanya. Langit di depan jendela masih segelap pejam, tapi lamat-lamat terdengar lantunan azan, berarti sudah pukul empat. Aku memejamkan mata dan mendengarnya lamat-lamat. Apakah di dekat sini ada masjid? Rasanya tidak. Kadangkala aku merasa Bumilah yang melantunkannya, seperti pula kidung-kidung atau mantra yang kerap menebas sunyi. Aku pernah mendengar suara rindik pada suatu malam yang sembap, atau gamelan, atau suling, yang ke mana pun kaucari, muskil kautemukan wujudnya. Lalu terdengar pula lonceng-lonceng kecil yang entah berasal dari kuil atau gereja yang mana. Genta-genta itu mungkin saja ditambatkan di balik rimbun dan bergemerincing kala angin atau burung-burung menyentuhnya. Tapi berbeda dengan tujuan awal diciptakannya lonceng, lonceng yang digemerincingkan Bumi dengan suara serindang siang yang geming, tidak ada hubungannya dengan ketepatan waktu. Ia berdentang kapan saja, tanpa dapat kau dan aku tebak perangainya. Meski begitu, selalu terdengar tepat waktu—seolah tak ada waktu yang lebih tepat daripada saat itu untuk membunyikan lonceng-lonceng itu.


Lihat selengkapnya