Aku menyukai suasana pagi di hutan ini — yang sarat oleh bunyi, yang sesak oleh sunyi. Meski tak jauh berbeda dengan di desa masa kecilku, yang juga dipenuhi pepohonan dan hampir menyerupai rimba—antara pinus, bunga-bunga lampu jalan, dan yew yang hampir di tiap dahannya bersarang burung-burung berbagai dekut—tetap ada yang terasa lain, terasa gaib. Berdiri sendiri di setapak ini, aku menyadari manusia hanya bagian yang begitu kecil dari alam, yang tak berdaya, dan bukan yang mengatasinya seperti yang dulu kami yakini. Namun, menjadi bagian sesuatu—bagian kecil yang mungkin tak berarti, pula—aku justru merasa lengkap, seperti keping puzzle yang sekian lama menunggu, yang pada akhirnya menjumpai gambaran utuhnya.
Di depan jendela, aku mendengar suara langkah dari suatu keberadaan yang gaib, yang membuatku ingin membuka tirai jendela pondok ini. Namun, alih-alih bangkit berdiri, aku memilih duduk berhadap-hadapan dengan kegelapan. Cuaca dingin merembes merasuki ruang, bibirku gemetar saat bibir udara mengecup mataku. Aku masih ingat mimpiku semalam, ketika berada di dasar sumur, dengan Maut duduk di sampingku. Air dingin hampir menenggelamkanku. Meski hanya ada dalam pikiranmu, mengapa pula itu berati tidak nyata? Aku lelap dalam kuyup dan bibir gemeletuk. Namun, saat memejam, aku justru mengalami mimpi indah yang lesap begitu mata kembali terbuka. Hanya hangatnya yang tersisa—menyelubungiku dengan kedamaian. Mungkin mimpi tentang Nenek, atau Luna. Mereka bagian terindah dalam hidupku. Aku mencintai mereka. Dan tiba-tiba perasaan rindu yang menyesakkan menyelimuti dadaku. Padahal baru sehari aku berpisah dengan Luna. Kepada Nenek, aku menjaganya baik-baik agar dia tetap hidup dalam hatiku—lengkap dengan segala dongeng yang dia ceritakan setiap malam di samping lelapku.
Lalu aku membuka jendela.
Di halaman yang dipenuhi rumput-rumput dan bunga-bunga yang memutih dan memerah, berdiri sesosok rusa yang seluruh tubuhnya dibasuh cahaya cerlang. Meski begitu, apa-apa yang ada di sekitarnya tidak tertumpahi cahaya itu. Aku mengerjap lalu menutup tirai, membiarkan gelap sekali lagi menguasai ruang seolah dengannya aku dapat sembunyi. Tapi lantas terdengar suara sedekat nadi yang seolah berasal dari diriku sendiri. Jangan takut. Aku hanya ingin menyapa.
Dengan penjaga gunung aku hendak berjumpa. Biasanya dia ada di sini, tapi sepertinya tidak untuk hari ini. Tumben.
Lalu, sebelum aku sempat menjawab, dalam satu kerjap, rusa emas itu lenyap, seolah tak pernah ada. Seketika saja, hutan kembali sehening biasanya. Tapi tidak lama. Hanya sepersekian detik. Perlahan-lahan terdengar kicau — seolah selubung yang sejak tadi menutupi telingaku mulai tersibak. Serangga-serangga malam yang masih terjaga menambah semarak pagi. Bahkan terdengar pula gema uhu burung hantu.
Dan matahari pun terbitlah.
Cahaya yang satu memulas seluruh hutan dan membuatnya tidak monokrom lagi. Hijau, biru, merah, ungu—semula dengan tinta pudar, tapi kian lama kian tajam warnanya.
Aku berhenti di tempat rusa emas itu berdiri, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaannya sama sekali.
***
Apa jadinya jika aku tinggal di hutan ini seorang diri—selama sisa hidup—seterusnya?