Sampai Jumpa Besok

Rafael Yanuar
Chapter #13

Kelening Senja (3)

Dalam pesan balasannya, Luna menceritakan pengalamannya dalam sehari. "Terik jatuh menembus jalusi, aku tidur sepanjang siang di belakang meja dengan tangan menahan halaman buku. Cahaya-Nya yang memeluk, seperti selimut tebal yang hangat. Aku menyukai foto-foto yang kamu kirim. Indah sekali. Kamu di mana, Erlyna?" Aku jawab tidak tahu. Dia berharap aku berkenan menjelaskannya lebih lanjut, dan aku tak mau membuatnya kecewa atau khawatir. Jadi, aku tulis saja pengalamanku selama sehari dua secara apa adanya. (Tentu, percakapan kami tidak sekaku yang tertulis, begitupun percakapan lain di buku ini, tapi karena aku tidak terlalu nyaman menulis bahasa lisan—aku sudah mencobanya, tapi malah jadi tidak menyukai tulisanku sendiri—aku mengubah semua percakapan menjadi bahasa tulisan, lengkap dengan aturan-aturan bakunya, seperti penempatan subjek dan predikat sebagai syarat kalimat dan sebagainya. Karenanyalah, aku jarang membubuhkan tanda kutip pada dialog karena tidak yakin apakah dialog yang tertulis bukan karanganku semata—saat aku mencatatnya, kejadiannya sudah berlalu dan aku hanya mengandalkan ingatan yang tidak seberapa tajamnya. Pada beberapa kasus, seperti pesan teks, aku secara sadar dan sengaja mengubahnya. Maaf, jika hasilnya menjadi kaku.)

Setelah melewati jalan setapak yang seketika ada di depan pondok, aku sampai di desa. Di sini, ada banyak sekali manusia—membuatku berpikir untuk pindah saja. Membuka kedai teh di tempat ini pasti laku, bukan? Tapi aku tidak tahu apakah jalan itu akan selalu ada. Dan aku tidak mau berpisah denganmu.

Hutan itu misterius, ya?

Iya.

Jalan-jalan baru seperti yang kaulewati, Erlyna—yang mungkin akan tiada esok harinya—bukan sesuatu yang jarang terjadi, tapi kau harus berhati-hati. Bukan tak mungkin jalan pulang itu tertutup bersama hilangnya jalan datang.

Dan aku mengerti. Ketika melewati jalan setapak itu, aku sudah memikirkan risikonya. Sayangnya, sudah lama sekali aku ingin bertualang. Jadi ketika diberi kesempatan, aku tak mampu menahan diri.

Tapi aku juga tak punya hati meninggalkan rumah Nenek. Banyak kenangan di sana, berpendaran seperti bintang bercahaya, teduh di musim gugur yang sepi. Setiap sudutnya menawarkan kenangan. Udaranya mengembuskan rindu. Padahal sejak lama aku bermimpi, dalam damba yang jauh, untuk tinggal di tengah-tengah peradahan, di pusat keramaian, tapi ketika berhasil mendapatkannya, aku justru tak ingin memilikinya. Aku jadi memahami betapa mendamaikan kesunyian itu.

Setelah singgah di sini, lama-lama insaflah aku, kota ini seperti berada di dunia antara, terlalu berkabut, juga muram entah kenapa. Mungkin berada di tengah manusia justru membuatku merasa sepi. Adakalanya tidak ada suara yang terdengar—satu pun tiada. Tapi yang aku alami bukan keheningan seperti di kampung halaman kita, melainkan kesendirian. Entah ini karena aku jauh dari rumah, entah memang begitulah adanya. Kabutnya pun sepekat bulan, dan aromanya seperti campuran daun-daun layu, atau tanah yang dibasuh embun, tapi ada pula yang membuatku kerasan, misalnya bau bakaran yang tercium saban malam, entah ikan entah ayam, dan suara tumis-menumis yang seperti di belakang igauan. Adakalanya jerit nyaring uap dari gerobak yang lewat di depan rumah mengaburkan udara sunyi—mungkin penjual putu. Dan pagi ini, aku juga menghidu sayup-sayup dupa dan sajen.

Rumah-rumahnya memiliki cerobong yang tidak terlalu tinggi dengan rancangan yang bersahaja saja—aku tidak dapat menjelaskan lebih baik daripada ini—tetapi setiap halamannya ditumbuhi pohon dan bunga. Danau seluas samudra yang hanya sesekali beriak ditiup kesiup membentang di sepanjang jalan. Barangkali musim salju di sini dingin sekali.

Lihat selengkapnya