Mulut Anne tidak berhenti berdecap, roti coklat di tangan sudah habis separuh. Eza, teman semeja sekaligus sahabatnya, hanya memandangi dengan wajah malas. Bagaimana dia tidak kesal, baru sedetik lalu Anne cerita tentang Papanya sambil meraung-raung, sekarang dia bisa-bisanya lahap makan seakan tidak ada masalah.
“Jadi gimana? Lu ada strategi gak?” tanya Eza. Gadis kutu buku dan pencinta teknologi mutakhir itu terlihat jauh lebih bersemangat ingin memecahkan masalah Anne ketimbang si empunya masalah itu sendiri.
“Gak ada, kayanya gak mungkin deh gue ngalahin Guntara. Dia bukan manusia biasa, Za,” jawab Anne dengan mulut penuh.
Eza mengangguk setuju. Dia sudah sejak SMP mengenal Guntara. Cowok pendiam itu memang berbeda. Banyak desas-desus aneh yang dia dengar mengenai Guntara, seperti dia adalah anak pejabat, dia anak mafia, atau dia ternyata adalah agen intelijen yang sedang menyamar. Duh, absurd. Kenang Eza mengingat masa SMP dan segala gosip murahan yang biasa dibikin teman-temannya.
Tapi semua itu memang hanya isu semata. Waktu upacara penerimaan siswa baru di kelas Sepuluh, Guntara yang waktu itu mendapat nilai ujian masuk sempurna, memberi pidato. Dari sana lah Eza tahu kalau Guntara ternyata mendapat Beasiswa sejak SMP lalu berlanjut sampai SMA. Wajar Guntara dapat Beasiswa, biaya sekolah di tempat mereka yang notabene adalah salah satu sekolah elite berstandar Internasional memang tidak sedikit. Sementara seingat Eza, belum pernah dia lihat Guntara dijemput pakai mobil, dia selalu pulang-pergi mengandalkan kaki, yang mana itu sangat langka di sekolah. Dia berspekulasi kalau Guntara adalah anak miskin yang beruntung, apalagi belum pernah juga dia tahu ada teman sekolah yang berkunjung ke rumahnya, makin besar lah dugaan Eza.
“Gue yakin dia punya kerjaan,” cetus Eza tiba-tiba.
“Maksud lu?” Anne memicingkan matanya, menunggu penjelasan.
“Lu tau salah satu aturan di sekolah kita, kan? Gak ada murid yang boleh kerja, kita semua harus fokus belajar. Nah, kalo kita bisa buktiin Guntara sekolah sambil kerja, nilai dia bisa berkurang, syukur-syukur malah Beasiswanya dicabut, Ne!” Eza mengakhiri kalimatnya dengan mata melotot bagai karakter antagonis di Sinetron.
Jahat sih ide Eza. Batin Anne. “Lu tau dari mana kalo dia kerja?” Tapi rasa penasarannya lebih besar dari rasa simpati. Dia menyapu pandangan ke sekeliling ruang kelas, memastikan tidak ada yang menguping pembicaraan mereka. Jam istirahat masih berlangsung, mayoritas murid masih di kantin.
“Lu nih pinter-pinter o’on ya, Ne. Gue merhatiin dong, coba lu ingat-ingat lagi kebiasaan dia. Dia selalu pulang tepat waktu, jam tiga dia udah pasti pulang, dia mana pernah nongkrong dulu atau ikut organisasi ... Ya, kan? Itu tandanya, ada kegiatan lain yang dia kerjain di luar sekolah.” Analisa Eza tidak bisa disebut analisa gembel, memang cewek penggila cerita detektif ini paling bisa kalau soal menerka-nerka.
“Kalo ternyata dia ikut kegiatan sosial gimana? Yang ada malah kita naikin pamor dia, kali.” Dan Anne selalu memberi opsi berbeda. Hal itu bagus sebagai penyeimbang bagi Eza yang kerap cepat menyimpulkan suatu hipotesis.
“Itu perlu pembuktian, Anne... Lu nih gimana, sih? Pernah jadi ketua OSIS, juara satu mulu, menang banyak Olimpiade tapi otak lu lambat banget.” Eza menggerutu. “Gini, deh. Selagi gue kumpulin bukti-bukti, coba lu tantangin aja dia. Kan bulan depan ada lomba menulis puisi buat peringatan bulan bahasa, lu ajak aja dia.” usul Eza.
Roti coklat sudah habis, Anne menegak seperempat botol air minum untuk melancarkan tenggorokan yang sempat seret, lalu bertanya dengan muka polos, “buat apaan, sih? Orang dia jagonya matematik, kimia, masa iya dia juga jago nulis puisi? Maruk banget.”
“Ya gara-gara itu, dablek, makanya gue suruh lu nantang dia... Lu bisa bikin dia malu! Lu belum bisa bersaing sama dia di mata pelajaran umum, minimal lomba-lomba ya lu mesti menang, dong! Kan gak mungkin lu kalah, secara gitu lu udah nulis antologi cerpen dan puisi. Lu calon sastrawan dari sekolah kita, Ne!” Eza berusaha membakar semangat Anne.
Mungkin hanya dengan cara itu Anne bisa terlihat di mata Guntara sebagai seorang rival yang setara. Bukan ide buruk. Otak Guntara memang encer kalau menyelesaikan rumus-rumus pasti seperti Matematika, Fisika dan Kimia. Tapi kalau menulis puisi? Anne yang sudah aktif menulis sejak kecil adalah jagonya. Barangkali cara itu bisa dipakai untuk mencuri perhatian dari orang-orang di sekolah. Guntara bukan manusia setengah dewa, pasti ada hal yang tidak dia kuasai, dan Anne ingin membuktikannya.
Kebetulan sekali. Jam istirahat baru selesai, siswa/i mulai masuk kembali ke dalam kelas masing-masing untuk mengikuti jam pelajaran selanjutnya, tidak terkecuali Guntara. Dari balik kacamata tebalnya, mata Anne terus mengikuti langkah Guntara yang berjalan sampai ke kursinya di pojok belakang dekat jendela.
Area itu dinamai “zona neraka”, dianalogikan begitu karena dianggap “panas” sebab dihuni cowok-cowok keren. Selain ada Guntara si Jenius effortless, ada juga Barry dan Timo. Barry merupakan kapten tim basket sekolah, ditambah muka cakep dan tubuh atletis, ya pasti dia secara otomatis berada di puncak top daftar cowok idaman. Kalau Timo agak unik, mukanya tidak terlalu cakep, tapi karakter dinginnya selalu berhasil melelehkan hati murid-murid cewek. Belum lagi dia juga anak orang berada, Ayahnya adalah salah satu pemilik saham yayasan sekolah. Anne dan Eza tidak termasuk bagian penggemar, dua cewek ini bahkan sering bertanya-tanya apa istimewanya tiga serangkai neraka itu? Mereka tidak mengerti hal-hal seperti itu, membedakan cowok cakep dengan tidak saja mereka tidak bisa. Dan yang bikin aneh, tiga serangkai itu juga seolah terasing dari murid yang lain. Mereka jarang berbaur dan hanya asyik pada dunia mereka bertiga.
Sok cool banget, sialan! Rutuk Anne tiap kali melihat mereka ke mana-mana hanya bertiga. Seakan ada pagar tinggi yang mengelilingi pojokan itu, memisahkan mereka dari murid-murid lainnya.
Anne menelan lidahnya kelu, dia telah berdiri di dekat meja Guntara dengan badan sedikit gemetar. Timo memasang earphone di telinga dan pura-pura tidak tahu ada Anne di dekatnya, sementara Barry melirik Timo yang duduk di sampingnya.
“Mau ngomong sama Timo?” tanya Barry. Sebagai kapten tim basket, setidaknya dia cukup tahu dasar berbasa-basi.
“Gu... Guntara,” panggil Anne pelan, suaranya bergetar. Duh, sial, kok grogi banget, sih? Dia tidak berhenti mengutuk dalam hati.
Mata elang Guntara yang tadinya memandangi lapangan dari jendela, bergeser pelan ke arah Anne. Alisnya terangkat sebagai sebuah tanda tanya.
“Eh... Bulan depan... Bulan depan ada lomba nulis puisi, lu ikut, ya!” Nada Anne terdengar memerintah.
Barry yang duduk di depan meja Guntara, menopang dagunya sambil menatap Anne miris. Datang-datang udah main perintah. Katanya dalam hati. “apa untungnya buat Guntara?” dia nimbrung ikut campur.
“Ya... Ya... Kan dia...” Mata Anne menoleh pada Eza yang duduk manis di meja paling depan, berharap ditransfer jawaban. “kan lu juara umum, partisipasi lah buat bulan bahasa... Siapa tau kalo lu ikut, temen-temen yang lain juga pada ikutan, lu kan tau minat anak muda ke sastra sekarang rendah.” Masuk akal juga akal bulus Anne.
“Sejak kapan minat sastra yang lain jadi tanggung jawab Guntara?” Kali ini Timo angkat bicara, ternyata diam-diam dia menguping sejak tadi.
Gila! Suaranya berat banget. Desis Anne dalam hati. Pertama kalinya dia mendengar suara Timo dari dekat, layak dijadikan momen bersejarah.