Sampai Jumpa, Cinta Pertama

KUMARA
Chapter #3

SATU CANGKIR ES KRIM

Sekujur tubuh Anne panas-dingin, berkali-kali dia menjilat bibir yang kering. Dia bingung harus mensyukuri situasi saat ini atau justru melempar sumpah. Hampir seluruh pasang mata tamu tengah menelanjanginya, seakan dia adalah alien yang datang dari planet Namek.  

“Jangan malu-malu, Anne. Silakan dicicipi nasi kuning buatan tante,” ujar Ibu Barry penuh perhatian.

“Iya, Tante, makasih.” Anne cuma bisa menggumam. Ingin sekali dia sembunyikan kepala dari jangkauan mata anggota tim basket yang masih terus melirik sambil berbisik-bisik. Sedangkan Timo duduk sendirian di ujung ruangan, terlihat asyik makan kue tanpa mau diganggu siapa pun, dia bahkan sepertinya belum sadar kalau ada Anne di sana.

Ada satu nama yang belum muncul...

“Eh... Nak Guntara! Akhirnya datang juga!” 

Jantung Anne berdegup lebih kencang setelah mendengar Ibu Barry menyambut satu tamu yang baru tiba. Barry berlari kecil menghampiri orang yang dimaksud. Suasana lantai dua ruko itu kian riuh, cewek-cewek tim basket terlihat sibuk merapikan rambut dan membenarkan pakaian, tidak ingin tampak bercela di hadapan pujaan.

“Gue kirain lu gak datang, Gun!” komentar Timo yang akhirnya mengangkat pantat. Saat dia menyuap satu sendok kue ke dalam mulut, matanya secara tidak sengaja berlabuh di mata Anne. “Lu diundang juga?” tanyanya tanpa tedeng aling-aling. 

Makin-makin lah seluruh mata tertuju pada Anne sekarang, termasuk Guntara. “Iya, dong! Masa pacar sendiri gak diundang,” sambar Ibu Barry yang bikin suasana tambah runyam. 

Timo tersedak. Guntara melotot. Cewek-cewek menganga. Hanya cowok-cowok anggota tim basket yang menyambut dengan suka cita kabar mengejutkan itu. 

“Gila, kapten! Kok lu gak bilang-bilang sih pacaran sama mantan ketua OSIS?!”

“Halo kakak manis, boleh kenalan?”

“Gak nyangka ya, selera ketua kita ternyata cewek pinter!”

Komentar-komentar gaduh dari mereka sulit diredam. Muka Barry telah merah padam, kesal campur malu. “Bukan! Dia bukan pacar gue!” dia mengacak rambut tebalnya frustrasi. “Mama, nih! Jangan suka nyimpulin sendiri gitu, dong," protesnya membuat seluruh ruangan tertawa lantaran sikapnya terlalu menggemaskan.

Ujung mata Barry bisa menangkap Anne yang hanya mampu menundukkan kepala sambil meremas terusan motif bunga kuning yang dia kenakan. Dia jadi merasa bersalah karena telah melibatkan Anne. Dan kalau salah paham itu diteruskan, sebetulnya Anne yang paling dirugikan. Penggemar fanatik Barry mungkin saja menghajarnya atau minimal memberi peringatan.

“Mau pacaran atau gak, kenapa, sih? Biar itu jadi urusan mereka.” Suara Guntara terdengar dingin dan ketus. Dia berjalan ke meja prasmanan untuk mengambil makanan.

“Iya tapi gue sama Barry emang gak pacaran!” Tiba-tiba Anne menggas suaranya secara spontan. 

Gila. Ngapain gue barusan. Anne meringis dalam hati. Seisi ruangan melihat dia lagi, tapi kali ini dengan tatapan geli karena responsnya yang berlebihan. Guntara sesaat melirik tapi kemudian dia fokus memindahkan makanan ke piring. 

“Lu apa-apaan, sih? Kaya yang ogah banget sama gue. Santai aja, ngapa?” bisik Barry di samping telinga Anne. Dia juga tidak kalah malu.

Sorry ... Gue gak maksud apa-apa, kok. Cuma gak mau ada yang salah paham aja," jelas Anne tidak enak hati.

“Gak mau ada yang salah paham atau gak mau Guntara salah paham?” tebak Barry.

“Dih, kok nyambung ke dia?” Anne lekas menjauh meninggalkan Barry dan sifat usilnya.

Acara ulang tahun Barry ke-18 berlangsung sederhana. Ibunya menyiapkan beragam makanan dan minuman tradisional yang rasanya lezat bukan main. Hanya ada acara tiup lilin dan doa bersama yang dipimpin Ayahnya, ditutup karaoke bersama yang berlangsung berantakan dan kocak. 

Satu per satu tamu telah pulang. Hanya tinggal Anne, Timo, Guntara dan beberapa anggota tim basket yang tidak lelah berkaraoke. Anne sendiri sudah sejak tadi ingin pamit, dia bingung juga untuk apa terus di sana, tapi dia sungkan pada Ibu Barry yang terlihat begitu suka padanya. 

Guntara dan Timo duduk mengobrol berdua di sofa. Kuping mereka mulai sakit karena dipaksa untuk terus mendengar suara-suara sumbang. Anne meyakinkan dirinya untuk mendekat, ada yang ingin dia tanyakan pada Guntara, apalagi kalau bukan menyangkut soal lomba menulis puisi.

“Gi-gimana puisinya? Udah nemu ide?” tanya Anne terbata-bata. 

“Itu kan rahasia pabrik, kalo dikasih tau ke lu ya kalah, dong,” sahut Timo.

“Gue kan nanya Guntara bukan lu! Jangan jadi juru bicara mulu, deh.” Anne memprotes dongkol.

“Gue sih santai aja. Ide gak perlu dicari, nanti juga datang sendiri," jawab Guntara segera menengahi sebelum perang di antara Anne dan Timo terjadi.

Lihat selengkapnya