SAMPAI NANTI SAATNYA TIBA

sbwjsnd
Chapter #2

#2 - Bandung, 3 April (Antara Hidup dan Mati)

Hari ini tanggal 3 April, Tuhan mengirimkan malaikat kecil kepadaku. Itu kamu Nona, putri kecilku. Tapi sebelumnya...

Hampir 15 jam aku merasakan sakit yang tidak keruan di perut yang sudah sangat membengkak ini. Rasa sakit yang kerap muncul dan hilang lalu muncul lagi dan lagi dan terus begitu. Setiap satu jam sekali, 30 menit sekali, lebih sering menjadi 15 menit sekali dan semakin sering lagi tiap menitnya. Sore itu, aku sedang menikmati reaksi yang baru dalam tubuhku. Sambil berjalan mengitari ruang tengah di rumah nenek buyutku. Semua orang sedang sibuk dan kamu ikut-ikutan menyibukkanku dengan segala macam tingkahmu di dalam perutku.

Nenek buyut dan nenekmu sedang sibuk mengaduk dodol di wajan yang sangat besar. Nenek-nenekmu yang lainnya sedang asyik membuat Sambal Goreng Kentang Pete dan menanak nasi. Tante Nina, Tante Irma, Tante Anya dan yang lainnya sibuk memotong sayuran dan mengolah bumbu-bumbu. Dan, aku hanya mondar-mandir diantara mereka yang sedang sibuk memasak.

Sementara para lelaki sibuk memasang tenda dan kursi tamu di halaman depan. Kamu tahu, karena waktu itu mereka semua sedang mempersiapkan acara di hari terpenting dalam hidupnya Kak Sumi, dia sepupuku. Dia akan menikah esok harinya. Aku tak membantu banyak karena kamu sudah membuat sibuk dengan segala tendanganmu di dalam perut. Kamu seperti ingin keluar dan membantu mereka juga hehe.

"Hey, si utun pengen ikutan bikin dodol ya?" Kata nenek buyut.

"Sini utun, yuk bantuin nenek." Nenekmu ikut memanggilmu.

"Sabar ya, para nenek dan tante sedang sibuk-sibuknya hari ini. Kamu keluarnya besok lusa aja habis pestanya selesai." Tante Irma ikut berkomentar.

"Hahaha..." Semua orang tertawa.

Menjelang magrib rasa ngilu dan sakit semakin menjadi. Aku tak tahan dan takut. Aku masih bingung, sebenarnya bagaimana rasa melahirkan itu. Satu hal yang paling menyebalkan adalah dimana ayahmu? Ini saat yang paling menegangkan, detik-detik mendebarkan. Seharusnya dia ada didekatku saat itu, menemaniku. Dimana dia?

Puluhan kali aku meneleponnya, sudah puluhan kali pula aku mengirimkan sms padanya. Dasar payah, dia selalu menghilang disaat aku butuh. Tapi anehnya dia paling rajin hadir disaat tidak diperlukan atau jika sedang ada maunya.

"Dimana dia?" Tanya ibuku.

"Aku tidak tahu bu." Jawabku singkat.

"Kamu sudah beri dia kabar?" Tanya ibuku lagi.

"Sudah dari kemarin sore bu, hari ini juga sudah belasan sms yang kukirim, tapi tidak ada satu pun balasan darinya. Telepon juga tak diangkat." Ibu menatapku dengan rasa kesal.

"Sudahlah bu, aku baik-baik saja. Biarkan si Pengecut itu menghilang semaunya." Akupun kesal tapi aku harus terlihat baik-baik saja di depan ibuku. Aku tidak mau membebaninya. Aku harus kuat!

"Dimana dia? Kenapa dia tidak datang? Sudah tahu istrinya mau melahirkan. Malah keluyuran." Kesal Tante Irma sambil memotong wortel.

Lalu terdengar suara nenek buyut di dapur.

"Sini biar nenek panggil dia lewat dandang ini." Sambil berjalan mendekati dandang kesayangan miliknya yang sedang dipakai untuk menanak nasi. Nenek buyut berteriak, " Yogaaa cepat pulang anakmu akan segera lahir. Pulang kau Yoga!"

Entah itu teori dari mana? Cara memanggil orang yang jauh disana dan entah dimana ala nenek buyut tentunya. Mungkin itu tradisi orang-orang jadul seperti nenek buyut. Terlalu kuno haha. Nenek buyut lucu sekali saat kepalanya berusaha masuk ke dalam dandang dengan asap panas mengepul tertiup ke arah wajahnya lalu dia berteriak ke dalamnya. Semua orang tertawa melihat tingkah lucunya.

Menuju isya aku semakin tak tahan. Rasa sakit mulai terasa setiap 10 menit sekali membuatku merana. Ingin rasanya dia si Pengecut itu berada disampingku saat itu. Walaupun sekedar untuk memberikan sedikit pijatan di sekitar pinggang dan pinggulku. Karena dikedua bagian itu sangat ngilu sekali dan aku membutuhkannya. Karena ibuku tak tega melihatku meraung, menjerit dan mengaduh kesakitan akhirnya aku dibawa ke bidan langganan keluarga besarku. Hampir semua tante-tanteku melahirkan disana dulu. Jaraknya tak jauh, hanya sepuluh menit naik becak dan ibu yang mengantarku ke bidan malam itu.

Sesampainya di sana, Ibu Wati sang bidan terkenal di kalangan keluarga besar kita hanya bilang bahwa prosesnya masih lama. Baru saja pembukaan dua dan kami disuruh pulang lagi.

"Ini mah masih lama, udah kamu pulang lagi aja daripada disini nungguin sampai bosan dan gak ada hiburan. Nanti stres, pulang saja ya. Nanti jam 2 malam datang lagi aja. Sok ibu tungguin, ibu gak akan tidur sampai kamu kesini lagi." Ibu Wati seperti sedang mengusir kami.

Lihat selengkapnya