Satu bulan berlalu, yang artinya usiamu sudah satu bulan juga Nona. Kamu tumbuh lebih besar dan semakin menggemaskan.
Jujur aku lelah karena harus terjaga ditengah malam untuk menemanimu. Aku terbangun saat kamu menangis karena haus ingin susu atau popokmu basah. Walaupun lelah dan rasa ngantuk merajaiku tapi aku tetap memaksakan mata ini terjaga. Jika aku memang sudah sangat lelah dan susah dibangunkan oleh tangisanmu yang nyaring itu, maka nenekmu lah yang akan mengambil alih peranku. Lalu dimana ayahmu? Entahlah! Dia memang selalu begitu bukan! Selalu tak ada saat dibutuhkan.
Di suatu subuh. Kami bertengkar hebat. Setahun terpendam dan subuh itu meledak seperti bom. Perdebatan yang menurutku adalah hal yang wajar bagi seorang istri menuntut suaminya untuk bekerja lebih giat supaya bisa menafkahi anak dan istrinya. Aku ingin dia bekerja di tempat yang lebih layak. Tidak selalu meminta dengan hanya menengadahkan telapak tangan kepada orang tuanya. Dia sering mengatasnamakan aku dan kamu ketika dia meminta bantuan (uang) kepada mereka. Untuk susu si Nona lah, untuk popok si Nona lah atau untuk keperluanku bahkan. Dia bilang itu untuk kita, tapi tak sedikitpun uang hasil minta-mintanya itu mendarat di tangan kita. Uang itu sudah raib sebelum kita menikmatinya. Tak hanya kepada orang tuanya kepada ibuku saja dia sudah berani berbohong. Menyalahgunakan kebaikan nenekmu yang terlampau baik sebagai ibu mertua. Aku sangat kesal untuk satu hal itu.
Dibandingkan hanya menjaga warung internet milik tantenya yang bisa dibayangkan berapa penghasilan yang didapat dari situ. Sementara kebutuhan kita, hmm maksudku kebutuhanmu saja sudah serba mahal. Untuk kebutuhanku, ya sudahlah aku tak berharap banyak darinya. Belum lagi pekerjaan menjaga warnet lebih beresiko terhadap perselingkuhan, aku sangat yakin banyak wanita yang dia ajak ngobrol di dunia maya bahkan berlanjut kedalam dunia nyata. Dan, aku tak suka saat dia pulang dari warnet sering berbau alkohol.
Kamu tahu, di hari saat kami menikah dulu. Tadi paginya dia sudah mengucapkan ijab kabul, malamnya dia bersembunyi di balkon lantai 2 rumah kita hanya untuk menelepon wanita lain, entah itu kekasihnya, atau pacar-pacar yang lainnya. Aku tak peduli karena pernikahan kami nyatanya tak berdasarkan cinta. Hanya karena kamu sudah hadir dalam rahimku sebelum waktunya dan aku hanya ingin menyelamatkan statusmu di akta lahir. Tapi tetap saja sesak di hati ini, saat aku ingin berusaha menerima dengan ikhlas dan berharap nanti akan timbul rasa cinta diantara kami dan dia akan berubah. Nyatanya dia sendiri yang sudah membuatku berpikir bahwa dia tidaklah layak menjadi suamiku. Jadi sudah kuputuskan sejak saat itu, aku hanya akan bertahan bersamanya sampai kamu lahir. Titik!