Empat bulan beralu.
Rasanya membeli susu dan popok sebanyak itu tak bisa hanya dengan cara berdiam diri di rumah dan mengandalkan nenekmu saja. Sudah waktunya aku harus kembali ke dunia nyata setelah hampir satu setengah tahun begitu enggan berlayar di permukaan lautan kehidupan. Aku putuskan untuk mencari pekerjaan. Aku harus bekerja untuk kemajuan kehidupan kita ke arah yang lebih baik dan sejahtera. Keluar dari zona nyaman, yang sebenarnya tidak senyaman yang dibayangkan juga. Walaupun ibuku mampu tapi aku tak mau membebaninya lagi. Kasihan nenekmu selama ini membanting tulang untuk kita. Sekarang waktunya aku mengurangi bebannya.
Waktu kamu lahir, metode enam bulan ASI Eksklusif sudah mulai digencarkan oleh banyak kalangan. Kalau saja aku bisa. Jangankan enam bulan, dua tahun pun akan aku lakukan. Seperti yang dilakukan nenekmu dulu. Tapi nyatanya aku tak mampu. Maafkan aku Nona, ASI-mu hanya empat bulan saja itu pun tak eksklusif.
Mungkin aku terlalu stres, batinku, ragaku, otakku bekerja dan berpikir sangat keras sehingga produksi susu sangat sedikit. Keadaan dan kondisi tubuhku tak mendukungku untuk selalu memproduksi asupan gizimu. Maaf ya, aku rasa kamu harus cukup senang dengan bantuan susu formula yang semakin mahal harganya itu. Ampuuun...!
Ditengah keterbatasanku akan ASI-mu, ada saja orang yang nyinyir kepadaku.
"Duh kasihan, kok susunya susu sapi sih. Anaknya anak sapi donk!" Nyinyir 1 beraksi dengan mulut tak pernah belajarnya.
"Gak apa-apa minum susu sapi asal bagus kualitasnya yang nomor satu biar pinter anaknya. Kalau susu sapi murahan ya sama juga bohong. Udah anak sapi gak mutu lagi susunya." Nyinyir 2 bersabda seolah-olah kemampuan finansialku setara dengannya yang katanya orang kaya.