Kalau saja aku punya sayap seperti burung, maka akan kukepakkan sayap-sayap itu supaya bisa mengangkat tubuhku terbang melayang ke langit tinggi. Menemui burung-burung lainnya yang menari dibalik awan, atau sekedar bertengger di atas dahan tertinggi supaya bisa melihat ke bawah sana. Sejauh mataku memandang seluas itu pula mimpi dan harapanku.
Lelah ini tak bertepi, tapi kuhempaskan segala ragu dan malas. Aku harus terus berjuang apapun yang akan terjadi nanti. Sudah banyak peristiwa yang kita lalui, langkahku yang santai tak lagi sanggup menahan segala rasa inginku. Aku ingin kita bebas, aku ingin kita damai, aku ingin kita maju, aku ingin kita kuasai ego kita masing-masing. Aku ingin kita bahagia walau berdua.
Dulu aku hanya berjalan santai, ya santai tapi aku tertinggal jauh dari mimpiku. Teman-temanku sudah melesat jauh kedepan. Mereka sudah memiliki segalanya di usia muda. Karir dan kekayaan. Sementara aku masih berkutat dengan susu dan popok. Bagaimana cara membelinya, bagaimana bisa mencukupi kebutuhan primer kita. Untuk urusan berhura-hura rasanya sulit kubayangkan.
Sekarang kamu tumbuh semakin besar. Aku merasa tak ingin sendiri lagi. Aku butuh bantuan. Teman berbagi suka dan duka, teman hidup yang mampu menopang beban finansialku selama ini. Lalu aku berpikir apa yang harus kulakukan setelah ini. Tetap angkuh dengan mengatakan, Aku bisa walaupun sendiri! Atau Apa sebaiknya aku coba membuka hati lagi?
Sejujurnya aku membutuhkan seseorang.
Dan, ada lelaki yang mendekatiku. Teman sekantor. Dia tahu ceritaku, rahasiaku yang tak pernah diketahui oleh yang lainnya. Bahwa i'm not a single womam anymore, i'm a single mom. And i have you Nona. Tak masalah toh kamu yang membuatku nyaman, katanya. Baiklah kalau begitu kita coba saja, kataku kepadanya.