"Pokonya aku gak mau Nona punya ayah baru. Aku ayahnya." Dia menolak aku mencarikan ayah baru untukmu Nona.
"Kalau kamu merasa kamu ayahnya tunjukin dong. Jangan ngomong doang. Kita butuh pembuktian. Tujuh tahun kemana aja kamu?" Aku balik menyerang dia, kami beradu mulut.
"Kalau kamu tetap melakukan itu biar Nona bersamaku saja." Dia menarik tanganmu Nona.
"Hey, lepaskan anakku. Lepaskan dia." Aku menarik tanganmu yang sebelahnya. Kita saling menarik badanmu.
Kamu kesakitan lalu kamu menjerit,
"Aaaak tidaaakkk..." Ya kamu menjerit dan membangunkanku.
Astaga, dimana aku? Hah ini kan kamarku, dimana si lelaki pemalas itu. Lalu Nona,
"Mamaaa..." teriakanmu terdengar nyaring dari luar kamar.
Astaga aku hanya bermimpi, tragedi perebutanmu hanyalah mimpi. Syukurlah. Kenapa sampai kebawa mimpi begitu. Haduuh kepalaku pening jadinya.
"Mama tolong aku..." Ah ya aku melupakan teriakan itu.
"Nona kenapa sih kamu teriak-teriak. Mengagetkan saja. Ada apa?" Kusegera berlari ke luar kamar menuju sumber teriakan.
"Mama tolong air baknya sudah penuh aku tidak bisa mematikan krannya. Lihat bajuku basah jadinya." Kakek meminta tolong padamu untuk mematikan air kran sebelum dia pergi ke masjid.
Apa iya dia tidak rela sebegitunya seperti dalam mimpi tadi. Hah tapi apa peduliku padanya. Iya memang dia ayah biologismu Nona. Tapi dia bukan ayah yang peduli padamu. Tujuh tahun selama kamu hidup, dimana dia? Apa kontribusinya terhadap kamu? Dimana tanggung jawabnya. Tak perlu pula aku meminta izin padanya. Toh aku juga tak tahu dia ada dimana? sekarang siapa pacar barunya? dia sedang apa? Dia sudah menikah lagi pun aku tak peduli.
Keputusan ada di tanganku dan kamu Nona. Jika aku bertemu dengan calon ayah barumu dan ternyata kamu suka dengannya, ya kenapa tidak. Kita yang menjalaninya, bukan dia. Iya kan!
Sebenarnya dari dulu juga sudah banyak yang berusaha mendekati, ada yang hanya sekedar suka, ada yang suka tapi tidak siap terima kamu sebagai anaknya, ada pula yang hanya memanfaatkan situasi. Dasar laki-laki gak tau diri! Macam-macam deh tingkah laku para lelaki itu. Makanya aku lelah mencari dan menutup hati itu aku rasa memang harus dilakukan. Berkali-kali aku bilang, aku tak siap terluka lagi. Sudah banyak lelaki brengsek yang aku temui. Aku lelah!
Calon ayah (1)
Ini kisah pencarian ayah ketika kamu masih berumur sekitar 3 tahun.
Dia bernama Dicky, dia tinggi, putih dan tampangnya hmm lumayan lah. Ya itu karena katanya dia seorang Nederlander karena ayahnya seorang keturunan Belanda. Untuk penampilan fisik waktu itu aku beri dia nilai 7,5 deh. Kalau dulu ibu boss di kantorku pernah kepincut saat melihat dia sewaktu mengantarku bekerja berarti mungkin bisa jadi nilainya 9 dong. Tapi apalah artinya nilai tinggi kalau akhlaknya saja tidak ada.
"Ayana, siapa itu, pacar kamu? Ganteng ya." Kata ibu boss yang baru datang dan melihat kita di parkiran.
"Eh ibu, iya bu pacar saya." Dasar boss genit.
"Kalau mau embat saja bu, saya ikhlas kok." Gerutuku dalam hati.
"Tuh kan, boss kamu aja bilang aku ganteng. Kamu tuh harus bangga punya pacar kaya aku. Dickyyy!" Dia bangga pada dirinya sendiri.
"Idih males banget. Ya udah sana gaet aja sekalian. Kalau bisa. Udah ah aku masuk dulu." Lalu dia juga pamit pulang setelah melihatku masuk ke dalam kantor.
Aku mengenal dia dari komunitas pertemanan sehatku dulu. Kebetulan kita sempat berlatih di tempat yang sama di salah satu gymnastic club di Bandung.
Karena sering bertemu dengannya di tempat itu alhasil kita menjadi kenal dan semakin dekat. Awalnya pendekatan biasa sampai pada akhirnya dia menyatakan isi hatinya. Kita tidak mengumumkan kedekatan kita kepada teman-teman yang lain. Katanya sih teman-teman dia terlalu berisik dan pasti akan selalu menggoda kita. Jadi aku iya kan saja untuk backstreet dari teman-temanku yang lainnya juga.
Selain dengan dia aku pun kenal dekat dengan dua teman lainnya yang satu group dengan Dicky. Ada Bima dan Yosy, mereka baik padaku. Kedua orang itu juga asik diajak berteman. Mereka bertiga nampaknya cukup dekat. Tapi sepertinya Dicky tidak mau mereka berdua tahu kalau aku dan dia sedang menjalani suatu hubungan. Aku sempat bertanya kenapa? Tapi aku berpikir positif saja mungkin memang Dicky tidak mau bagian privasinya terganggu. Atau mungkin jangan-jangan dia malu kalau sedang dekat dengan janda sepertiku. Hmm...
Seiring berjalannya waktu, sepertinya kedekatan kita berdua terendus oleh Bima dan Yosy. Aku pernah pula diajak Dicky ke rumah Yosy dan kebetulan saat itu juga Bima ada disana. Kecurigaan mereka berdua dimulai saat itu. Aku sih biasa saja, ya biarlah mereka tahu, kenapa harus ditutupi. Kalau memang dia mencintaiku kenapa harus backstreet dari teman kita masing-masing. Lama-lama aku malah dibikin semakin penasaran. Ada apa ini?
Saat jalan kita tidak lagi harmonis, lambat laun aku merasa diperalat. Makan aku yang bayarin, transportasi selalu pakai motorku, yang isi bensin juga aku, pulsa aku isi juga, tiap gajian dia selalu cek uang yang aku dapat, dan mengambil jatah jajanku juga. Dia juga pernah meminta dibelikan motor besar waktu itu. Yang bayar siapa, ya pasti akulah. Gila! Lalu aku dan Nona makan apa nanti. Aku tak mengindahkan permintaan dia untuk yang satu itu. Terlalu berlebihan.
Saat aku liburan ke Bali dulu bersama rekan-rekan kerja sekantor, aku sama sekali tidak menikmati liburanku. Tiap saat, tiap detik di teror dia terus. Selalu di telepon ditanya dimana? lagi apa? sama siapa? Aku dilarang keluar malam, pergi jalan-jalan walaupun dengan teman sekantorku. Aku hanya diam di hotel dan dengan setia meladeni sambungan telepon darinya. Aku juga hampir tertinggal bis rombongan gara-gara sibuk mencari oleh-oleh topi Billabong asli di Kuta. Sial!
Dulu memang masih sedikit outlet merk itu di Bandung. Ya aku pikir mumpung lagi di Bali. Kenapa tidak.
Eh busyet aku tersadar setelah kembali ke Bandung. Aku sama sekali tak menikmati liburan mahal itu. Sungguh menyebalkan, itu semua gara-gara dia.
Sifatnya yang sangat tidak sabaran dan pemarah membuatku jengah. Dia hampir membawaku mati dijalanan saat akan pergi ke kantor. Dia mengendarai motorku dengan sangat kencang, aku hanya berpegangan pada besi bagian belakang motorku. Gila, kali itu aku benar-benar dibuat berdebar-debar, jantungku serasa mau copot. Sampai tiba dikantor dia coba menenangkanku, meminta maaf, tapi tak ku gubris. Dia marah lalu pergi lagi. Begitu pula saat dia menjemputku sepulang kerja. Kemarahannya belum reda. Dan, aku merasakan menuju kematian bagian dua. Sampai aku memberanikan diri untuk meminta diturunkan saja di tengah jalan. Aku tak peduli dia akan membawa kabur motorku. Bawa pergi sajalah motorku yang penting aku selamat, pikirku waktu itu.
Dia selalu marah jika aku tak bisa memenuhi apa yang dia mau. Aku selalu mengalah. Hey ini salah. Pastilah ada yang salah. Aku sangat yakin. Lalu kenapa selama ini aku jadi buta karenanya. Ini tidak benar. Aku lelah aku ingin menyudahi semua ini. Tapi bagaimana caranya dia selalu mengancamku jika aku memintanya untuk mengakhiri hubungan tidak sehat ini. Dia mengancam akan datang dan merusak kantorku. Dia mengancam akan menabrakan motor yg kita naiki. Dia mengancam akan menculik kamu Nona. Itu semua membuatku gila.
Aku ingin minta tolong tapi pada siapa. Aku teringat kata-kata Bima dan Yosy yang dulu pernah mengingatkanku saat mereka curiga tentang kedekatanku dengan Dicky.
"Ay, lu jadian sama si Dicky." Tanya Bima penasaran.
"Hmm enggak, kita hanya deket biasa aja." Aku menyembunyikan kebenaran.