Kamu pikir aku ini pohon uang!
Itu kalimat yang selalu aku ingat dari lelaki yang tak sudi aku sebut namanya disini. Tapi aku harus menceritakan kisahnya karena dia punya andil banyak atas kekacauan dalam hidup kita. Aku sebut saja dia 'Lelaki'. Dia yang aku harap sedang menunggu atau sudah mendapatkan karmanya. Aku sendiri percaya karma itu ada. Jika kita berbuat baik kepada orang lain, maka kebaikan akan datang pula kepada kita, begitupun sebaliknya. Aku tahu Tuhan Maha Adil. Aku yakin itu!
Aku rasa cukup sudah untukku membuat kisah dengan para lelaki muda. Bagaimanapun mereka tak akan lebih siap, mereka harus berjuang lebih keras lagi. Disaat mereka ingin mengambil kesempatan tapi waktunya tidaklah cukup. Aku diburu waktu dan mereka masih dengan santai menjalani hidup dengan cara mereka. Aku tak punya banyak waktu untuk bersantai ada makhluk kecil dan diriku sendiri yang harus dihidupi dengan layak. Aku semakin tua dan aku tak ingin lebih menua lagi menunggu mereka sampai tiba di garis yang aku inginkan. Kecuali memang mereka sudah sangat siap mental, hati, pikiran, resolusi, impian dan materi untuk mengarungi lautan kehidupan bersamaku dan anakku.
Kebutuhan hidup yang semakin meningkat, tak semua terpenuhi hanya dengan penghasilan yang kudapat. Masalah keuangan mulai aku rasakan saat itu. Seandainya aku bisa mengatasinya sendiri mungkin itu tak akan menjadi masalah serius. Tapi tuntutan hidup dan keinginan menikmati hidup lebih baik membuatku terjebak dan harus berurusan dengan masalah keuangan itu sendiri. Mungkin karena aku sedikit boros dan sedikit konsumtif pula. Seandainya aku bisa lebih bersabar dan berhemat. Pasti akan baik-baik saja waktu itu.
Seringkali aku menolak permintaanmu Nona. Bukan karena aku tak mau tapi benar adanya aku tak memiliki kesanggupan untuk memenuhi segala keinginammu itu. Aku harus memilih mana yang harus diprioritaskan. Kadang kamu menangis dan kecewa karena aku tak bisa mengindahkan maumu. Maaf ya Nona. Aku pun tak ingin selamanya terjebak oleh masalah keuangan. Rasanya ingin sekali memiliki pendukung keuangan yang bisa membantu kita dalam mencapai sesuatu. At least jika kebutuhan pokok bisa dipenuhi olehnya, bisa jadi hasil jerih payahku bekerja bisa kugunakan untuk memenuhi kebutuhan tambahan kita. Impian yang entah dimana harus aku cari. Aku dan kamu butuh "Dia" si pemberi nafkah.
Aku pikir sebaiknya aku mencari lelaki yang lebih dewasa dan mapan secara materi. Lelaki yang harus sudah siap secara mental untuk menikahi seorang janda anak satu sepertiku. Yang terutama dia harus bisa menerima kita dengan kesadaran dan ketulusan hati. Aku tak menomorsatukan penampilan fisik lagi, yang penting dan sebagai syarat utama dia tidak boleh jobless.
Jika harus berurusan lagi dengan para lelaki yang tak memiliki tanggung jawab terhadap anak istrinya, ya lebih baik kuurungkan saja niat untuk memiliki pasangan hidup lagi. Sendiri mungkin akan lebih baik. Tapi aku tak bisa egois. Mungkin kamu membutuhkan sosok itu, seorang ayah dan aku pun membutuhkan teman berbagi keluh kesah dan rasa bahagia. Ini menjadi PR paling sulit bagiku, jika saja aku seorang gadis mungkin akan lebih mudah. Tapi akan kucoba, karena aku yakin rezeki jodoh itu akan datang nanti. Aku tak bisa hanya menengadahkan tangan dan meminta kepada Tuhan tanpa ada suatu usaha mencarinya.
Lelah dengan berondong yang hanya menghabiskan waktuku saja, hmm tidak semua begitu sih (Baca : kecuali Ombes. Dia yang terbaik). Akhirnya aku mengenal seseorang, dia lebih tua usianya dariku, dari segi tampang gak jelek-jelek amat lah. Dia mengaku masih lajang dan ingin sekali mengenalku dan kamu lebih dekat. Dia tinggal di Cikarang dan bekerja disana. Disebuah perusahaan yang cukup besar dan memiliki jabatan yang lumayan bagus sebagai kepala bagian HRD.
Dia juga seorang pembicara di berbagai seminar katanya. Jika dia bisa menjadi seorang motivator bagi banyak orang, berarti logikanya dia akan mampu menjadi seseorang yang bijak. Memang terlihat jelas bagaimana dia bersikap dan mengambil hatiku di awalnya. Memberi kesan pada pertemuan pertama tapi di akhir cerita lupakanlah kata 'bijak' itu sendiri.
Awalnya terus terang aku memang terpesona dengan pembawaannya yang dewasa dan bijak itu. Apakah dia orangnya? Orang yang terpilih untuk kujadikan ayah barumu? Aku harap kamu tak berekspektasi tinggi terhadapnya.
Suatu hari, katanya dia batal menghadiri seminar karena suatu hal yang aku tak tahu. Bukan urusanku juga. Kemudian dia berinisiatif untuk datang ke Bandung dengan niat menemuiku. Semuanya serba mendadak, dia memberitahuku ketika sudah diperjalanan menuju Bandung. Dia menjemputku di tempat kerja dan membawaku untuk makan malam bersamanya sambil membicarakan tentang hubungan kita selanjutnya.
Dia berhasil meyakinkanku bahwa dia sungguh-sungguh ingin mempersuntingku. Secepat itu kah mengambil keputusan untuk menikah padahal kita juga belum terlalu lama saling mengenal. Kalian pun belum terlalu dekat. Setiap kali kubawa kamu menemuinya, tak ada tanda rasa bahagia yang kulihat dari wajahmu. Tidak seperti yang kulihat ketika kamu dekat dengan Ombes dulu. Aku berpikir mungkin kalian butuh momen tertentu untuk saling dekat. Ya, aku rasa kalian butuh waktu lebih banyak lagi untuk suatu perkenalan antara calon ayah dan calon anak baru. Mungkin memang ada baiknya aku coba bersabar. Seiring berjalannya waktu kalian bisa sering bertemu dan aku harap bisa saling dekat juga. Semoga saja.
Malam itu dia berhasil membuatku yakin sekaligus membuatku ragu. Nyatanya aku terkejut dengan fakta yang dia katakan.
"Ayana, kamu tahu kan aku benar-benar ingin sekali menjadikanmu istri dan Nona sebagai anakku. Aku akan menerima dia sebagai anakku sendiri." Katanya.
"Iya, lalu?" Tanyaku.
"Ada sesuatu yang ingin aku katakan." Dia berusaha memberitahuku sesuatu.
"Ada apa?" Aku mencium sesuatu yang aneh.
"Tapi kamu janji jangan marah." Katanya lagi.
Ada apa ini? Kenapa dia memintaku untuk tidak marah. Apa yang sudah dan sedang terjadi? Pikiranku membayangkan hal yang buruk, aku mulai curiga. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku sejak dari awal.
"Kenapa aku harus marah? Ada apa?" Tanyaku.
"Kamu tahu kan aku tidak main-main. Aku serius dengan hubungan kita ini." Dia mulai membuatku bingung.
"Jangan berbelit-belit. Apa yang ingin kamu katakan?" Tanyaku tak sabar.
"Baiklah akan aku katakan. Semoga ini tidak membuatmu berubah pikiran dan kamu tahu aku serius." Kata-katanya membuatku semakin penasaran.
"Cepat katakan, jangan buat aku bingung." Kupaksa dia untuk angkat bicara.
"Ayana aku tak bermaksud untuk membohongimu, sebenarnya aku bukan lajang seperti yang aku katakan sejak awal." Fakta terungkap begitu saja.
"Apa! Maksudnya? Jadi selama ini kamu membohongi saya!" Nadaku mulai meninggi, sepertinya aku mengerti sesuatu tentang apa yang akan dia ceritakan, "Kamu sebenarnya sudah punya pacar? Kamu selingkuh?".
"Bukan begitu. Aku tidak selingkuh. Aku bahkan sudah beristri dan punya 2 orang anak laki-laki." Dia melanjutkan membeberkan kenyataannya.
"Apaaa!!! Gila kamu ya. Jadi selama ini! Kamu gila! Dasar laki-laki brengsek!" Benar-benar tak kusangka, tanpa kusadari, tanpa disengaja, mungkin aku telah merusak rumah tangga orang lain.
Aku tak habis pikir! Ada apa dengan lelaki ini. Dengan semena-mena dia berkhianat dibelakang istrinya. Seketika itu aku membayangkan bagaimana rasanya menjadi istri yang dikhianati oleh suaminya sendiri. Aku akan marah, aku sakit hati, aku tak akan rela suamiku mendua. Tidak!
"Dengar Ayana ini tidak seburuk seperti yang kamu bayangkan." Belanya.
"Tidak buruk katamu. Menurutmu lelaki yang sudah beristri lantas dia jajan diluar atau mencari wanita idaman lain atau berselingkuh atau apapun lah itu namanya. Kamu bilang itu tidak buruk. Otak kamu dimana? Kamu tahu bagaimana rasanya jadi aku yang tidak pernah tahu kalau nyatanya kamu adalah suami orang lain? Kamu tahu rasanya jadi aku yang tanpa sadar sudah merusak rumah tangga orang lain. Aku tak pernah bermimpi untuk itu. Aku tak mau jadi pelakor atau perusak rumah tanggamu." Menggebu-gebu aku mengeluarkan semua isi hatiku. Aku marah, tak tahan lagi.
"Tidak, kamu bukan pelakor, kamu juga tidak merusak rumah tanggaku." Katanya.
"Yang benar saja. Otakmu tidak waras. Sudahlah aku tak bisa seperti ini. Sebaiknya kita akhiri saja hubungan tidak halal ini. Aku tak bisa dan kamu jangan pernah datang lagi kedalam hidupku." Pintaku.