SAMPAI NANTI SAATNYA TIBA

sbwjsnd
Chapter #22

#22 - Pohon Uang (2)

Kamu yang butuh kenapa aku yang harus repot!

Kalimat lainnya yang keluar dari mulut si lelaki itu yang membuatku semakin yakin betapa bodohnya aku, bisa-bisanya jatuh kedalam pelukan makhluk tak berhati nurani.

Lelaki super egois!

Setahun berlalu, aku ingat waktu itu setelah selesai olahraga jumat pagi di pelataran parkiran lantai 3 di tempatku bekerja. Olahraga membuat ragaku sedikit lebih rileks walaupun otak terasa sangat kram. Sehari sebelumnya musibah datang padaku, sebut saja aku tertipu. Uangku raib di makan maling yang jaraknya entah dimana tapi dia bisa membuatku mentransfer sejumlah uang yang bagiku itu besar dan sangat berarti. Aku menyadarinya sesaat setelah kutekan "OK" untuk memindahkan nominal uang tersebut ke rekening lain. Apa aku dihipnotis? entahlah semuanya terjadi begitu cepat dan aku menyadari keteledoranku itu.

Olahraga membuat badanku lemas juga otakku seperti tak mau berpikir lagi. Bagaimana ini, biaya hidup untuk 3 bulan kedepan kuhabiskan dalam sekejap kemarin. Aku harus meminta bantuan siapa untuk mengatasi masalah serius ini.

Sambil melamun sambil ku scroll contact di whatsappku. Berharap aku bisa meminta pertolongan kepada seseorang yang entah siapa, setidaknya untuk bisa bertahan hidup satu bulan ini. Lalu tanpa habis pikir aku colek satu nama yang tak kusangka-sangka. Lamunan sial menurutku, kenapa bisa jariku berhenti di nama lelaki itu. Padahal aku sudah berusaha melupakan dia setahun ini. Sudah terlambat untuk membatalkan pesan yang kukirim, dia sudah berhasil membacanya. Aku tak berkata apa-apa hanya test contact saja saat itu.

"Hey Ayana apa kabar? Kamu kemana saja? Aku kangen!" Tak lebih dari tiga menit dia langsung membalasnya.

Astaga tak kusangka secepat itu. Dan dia masih ingat aku. Ah bagaimana dia bisa lupa, pastilah dia masih mengingatku.

"Baik, kamu gimana?" Terpaksa kujawab dengan singkat.

"Aku baik, ada apa kok tiba-tiba kamu menghubungiku setelah sekian lama?" Tanya lelaki itu.

Lalu aku membalasnya lagi dengan hanya mengatakan "Aku butuh bantuanmu." Itu saja.

"Oke, besok kamu ada acara? Aku ke Bandung ya." Tanpa basa basi dia mengatakan itu.

"Oke." jawabku singkat.

Aku tak berpikir macam-macam saat itu. Aku pun tak yakin dia akan datang. Kujawab oke berharap percakapan itu segera berakhir, itu saja.

Tapi ternyata benar keesokan harinya dia datang. Kita bertemu disalah satu mal di Bandung waktu itu. Apa dia datang karena memang ingin membantuku? Aku tak memintanya untuk datang sebenarnya, aku harap bantuan akan datang walaupun tanpa kehadirannya. Tapi itu seperti tidak mungkin baginya, jelas dia tak mau rugi. Nyatanya setelah dia datang menemuiku, sama sekali tak ada bantuan yang dia berikan kepadaku.

Kedatangannya bukan untuk membantuku. Dia tidak peduli dengan musibah yang sudah kualami sebelumnya. Dia datang untuk menanyakan sesuatu yang menurutnya masih tertunda sejak setahun yang lalu. Walaupun aku sudah menolaknya tapi dia masih berharap bisa menikahiku. Dia mengira pesan yang aku kirim kemarin adalah pertanda bahwa masih ada kesempatan untuknya.

"Jadi bagaimana?" Tanya dia.

"Bagaimana apanya?" Aku balik bertanya.

"Tawaranku setahun lalu? Apa kamu sudah siap sekarang?" Tanya dia lagi.

"Ah... aku menghubungimu bukan untuk perkara tawaran itu." Jawabanku sudah sangat jelas.

"Katanya kamu butuh bantuan, bagaimana aku bisa membantu jika kamu saja tak bisa menerima tawaranku. Ini kesempatan terakhir. Sebaiknya kamu cepat bilang sama ayahmu. Jangan buat aku menunggu lebih lama lagi Ayana. Setahun aku rasa sudah cukup." Dia begitu yakin kalau aku akan menerima tawaran itu.

Aku hanya diam.

"Ayana seharusnya saat ini aku sedang berada di Batam untuk seminar. Tapi karena kemarin aku menerima pesanmu. Seketika itu aku batalkan seminar dan aku tidak memberitahu istriku. Dia hanya tahu aku sedang berada di sana sekarang. Jadi tolong pikirikan baik-baik. Aku serius sama kamu." Ekspresi wajah dan kata-katanya begitu meyakinkan.

Apa itu alasan yang benar? Atau hanya akal-akalan dia saja untuk membuatku terkesan.

"Ingat ayana tidak banyak waktu lagi. Aku ingin kamu bicara pada ayahmu secepatnya." Pintanya lagi.

Apa benar dia sudah semantap itu? Beranikah aku mengatakannya pada ayah? Apakah ayah akan merestuinya? Aku masih tidak yakin sebenarnya tapi dia sebagai seorang motivator (katanya) dengan keahliannya berbicara dan meyakinkan orang yang mendengarkannya berhasil membuatku dilema. Malam itu penuh dengan pertanyaan dikepalaku.

Kita menghabiskan malam dengan banyak topik yang kita bicarakan. Keadaan dan kegiatan kita masing-masing selama setahun ke belakang. Membicarakan rencana masa depan yang akan kita sulam jika aku menerimanya. Semua yang dia tawarkan memang menggoda, membuatku bimbang. Tapi sebenarnya aku tak sepenuh hati mencintainya. Ini hanya karena aku butuh sandaran saja.

Seminggu kemudian dia membawaku menemui istrinya lagi. Dia ingin membuatku lebih dekat dengan istrinya dibandingkan pertemuan pertama tahun lalu. Semakin sering kita bertemu dan aku bisa lebih mengenalnya. Aku merasa risih sebenarnya, semua ini membuatku canggung. Tiap hari dia selalu mengingatkanku untuk segera berbicara kepada ayah untuk mengatakan niatnya menikahiku. Tapi aku tak pernah berani untuk melakukannya. Entah mengapa masih ada keraguan dalam hatiku. Sampai akhirnya sesuatu terjadi padaku "lagi".

Aku merasakan ada perubahan pada tubuhku, ada yang aneh di dalamnya. Sudah terlambat satu minggu. Tidak, lebih baik aku menunggu lagi, mungkin minggu depan akan datang. Tapi sayangnya di hari ke 15 pun tak kunjung datang. Penasaran dan aku harus membeli sesuatu di apotek. Esok paginya aku coba tes. Astaga! Tidak, ini tidak boleh terjadi lagi. Ketidakakuratan bisa saja terjadi, mungkin alatnya rusak. Sebaiknya aku coba lagi minggu depan. Kulakukan tes untuk keduakalinya dan hasilnya masih sama. Bulan berikutnya pun aku lakukan tes lagi dan tetap dua garis yang kulihat.

Apa yang sudah kulakukan? Kenapa harus terulang lagi. Kesalahan yang sama terjadi lagi. Betapa bodohnya aku! Kenapa begitu mudah termakan bujuk rayunya. Lelaki itu pelakunya. Tidak ada yang lain!

"Kita harus bertemu." Kataku kepadanya.

Lihat selengkapnya