Pada akhirnya kakekmu mendukungku untuk tidak menikah dengan lelaki tak berhati nurani itu. Walau aku tahu pasti masih ada yang mengganjal dalam hatinya. Ya biarlah semua aku yang tanggung. Aku memang selalu sendiri selama ini, apalagi semenjak nenekmu tiada.
Aku pikir cukup sudah kemarahan ayah padaku. Tapi ternyata masih berlanjut. Didukung oleh kakakku Irma saat itu, aku merasa mereka sedang bersekutu membuatku semakin tak nyaman. Memang sudah jelas sedari dulu aku tak pernah akur dengan kakak keduaku itu. Sementara kakak pertamaku yang lebih mengertiku sudah tak lagi tinggal serumah karena ia pun tak bisa berdamai dengan ayah dan Kak Irma. Dia dan keluarganya akhirnya memutuskan pindah ke tempat yang lebih jauh. Kini aku sendiri bersama anak sulungku yang juga kena imbas.
Menurut Kak Irma, semua kesialan dan ketidakberuntunganku adalah akibat feng shui rumah kita yang tidak bagus. Empat ruangan yang berbaris sejajar yang notabene adalah kamar dari ke-empat anak ayah dan ibuku. Kamarku, kamar Kak Anya, kamar Kak Irma dan kamar adikku Toto. Katanya kita tidak boleh membangun kamar seperti itu, pantas saja kita selalu sial. Maksudnya mungkin aku yang selalu kena sial. Entahlah aku tak bisa meyakini itu, juga mempercayainya. Memang sudah jalannya hidupku seperti ini.
Karena alasan itulah Kak Irma menyarankan kepada ayah agar posisi ke-empat kamar tersebut dirubah. Artinya kita harus merombak atau merenovasinya. Entah letak kamarnya yang dirubah atau diperluas dan dijadikan dua kamar saja. Toh sebagian penghuni rumah ini sudah tak tinggal lagi disini. Tanpa sepengetahuanku, tanpa meminta pendapatku, sepulang bekerja aku terkaget melihat keadaan rumah yang amburadul.
Ayah memugarnya, bersama satu tukang bangunan yang adalah tetangga kami juga yang ikut membantu merombak kamar-kamar itu. Kamar pertama yang dibuat hancur adalah kamarku yang letaknya paling depan dan hanya satu-satunya kamar yang memiliki jendela dengan kamar kedua bekas kamar Kak Irma. Sudah sejak lama ketika masih ada ibu, Kak Irma sudah membangun rumahnya sendiri di deretan kontrakan belakang rumah milik ayah.
Tembok pembatas antara kamarku dan kamar kedua dirubuhkan. Dua kamar itu akan dibuat menyatu sehingga dua kamar sempit akan menjadi satu kamar yang lebih luas. Ya memang sejak dulu aku menginginkan kamar yang lebih luas. Itu karena aku tak lagi sendiri, aku bersama Nona sekarang dan lagi, nanti akan ada makhluk kecil lainnya hadir ke dunia ini. Aku membutuhkan kamar lebih besar memang tapi bukan sekarang saat yang tepat untuk merenovasinya.
Seandainya kamu bisa membayangkan, wanita yang sedang hamil yang saat itu usia kandunganku masih sangat muda, kurang lebih masih bulan ke-dua menuju tiga. Aku sedang mabuk-mabuknya. Aku sedang payah, payah sejadi-jadinya.
Keadaan rumah yang sangat berantakan serta berdebu karena dinding yang dipaksa dipecahkan dibuat hancur dan menghasilkan debu yang dahsyat. Seluruh isi rumah berdebu, lantai yang sangat kotor penuh tanah dan bebatuan. Barang-barangku di dalam kamar itu juga kotor, berdebu dan aku enggan masuk kedalamnya. Aku merasa sesak ketika masuk ke dalam kamarku sendiri yang sudah seperti kamar tak berpenghuni berpuluh-puluh tahun saking tebalnya debu disana.
Secepat itu mereka memutuskan tanpa melihat kondisiku yang sedang sangat tidak sehat di usia kandungan yang sangat rentan itu. Kenapa mereka melakukan itu padaku? Aku lelah setelah bekerja dan melihat rumah yang sangat porak poranda. Perutku mual, kepalaku pusing, dan batinku menangis. Disaat aku ingin tidur nyenyak dan nyaman tapi aku tak bisa. Tak ada kamar yang nyaman dan aku terpaksa tidur di kamar ke-empat yang sama berantakannya. Bekas kamar Kak Anya yang sudah ditinggalkan beberapa bulan lalu. Rasanya aneh harus tidur dikamar yang pengap itu. Waktu itu kamu aku ungsikan ke rumah Om Toto. Kadang kamu menginap dirumah Tante Ema, kadang juga kamu tidur denganku di kamar pengap itu.
Merenovasi empat kamar tak cukup dilakukan hanya dalam satu hari. Kelihatannya sih memang seperti gampang saja. Tinggal merubuhkan dua tembok supaya dihasilkan dua kamar yang lebih luas. Tak hanya itu, proses menghancurkan temboknya saja butuh berhari-hari. Dua orang tak cukup, hanya tukang bangunan ditambah ayah. Setelah merubuhkan masih ada pekerjaan lain yang menjadi PR si tukang bangunan. Total pengerjaan kurang lebih dua minggu. Dan dua minggu pula aku tersiksa dalam rumahku sendiri yang berdebu.