Flashback
Aku sangat ingat, terakhir kali aku merasa akrab dengan ayah ketika aku masih duduk di bangku kelas 5 SD. Terakhir kalinya ayah membawa kami sekeluarga tamasya setelah bersilaturahmi ke sanak keluarganya di kampung.
Wahana bermain itu sangat kecil, ya maklum letaknya saja di dekat perkampungan. Hanya ada kolam renang dan kolam untuk sepeda bebek yang dikayuh dengan kaki. Sesederhana itu tapi mampu membuat kami bahagia.
Atau sekedar bisa menonton tv bersama-sama di ruang tengah. Walaupun program kesukaannya hanyalah Dunia Dalam Berita yang ditayangkan di tv milik negara. Bukan acara tvnya yang membuat kita bahagia tapi akan selalu ada obrolan kecil yang bermakna ditengah-tengahnya bahkan candaan dan tawa renyah membuat suasana menjadi hangat.
Ayah sangat berubah ketika dia diajak seseorang untuk mengikuti sebuah pengajian di kampung. Awalnya biasa saja, tidak ada yang aneh dan masih wajar. Namun lama-lama perubahan itu semakin terasa aneh. Hal-hal kecil seperti menonton tv bersama pun hilang. Ayah melarang kita menonton tv katanya dosa mata. Kita pun dilarang memiliki benda-benda elektronik lainnya seperti radio. Dikala itu radio yang merupakan alat paling hits untuk kalangan anak muda. Mendengarkan radio itu katanya dosa telinga. Dia tak menyukai musik, juga olahraga. Bahkan dia tak mau datang ke mesjid yang ada pengeras suara di dalamnya. Ya separah itu memang. Sepele bagi kita tapi menurutnya itu semua mengandung cikal bakal dari dosa. Tapi menurutku sebenarnya semua tergantung dari sudut pandang mana kita melihat dan menyikapinya.
Ayah berkeyakinan mengikuti para guru mengaji dikampungnya. Di rumah mereka tak ada benda-benda maksiat seperti itu katanya. Guru mana sih? Yakin? Almarhum kakekku saja yang jelas-jelas sangat mengerti ilmu agama tidak sebegitunya. Ayahnya ayah sangat beragama, tapi aku tahu kakek orang yang paling wise dan terbuka akan kemajuan dunia. Beliau punya cara untuk memberi tahu yang benar dengan pendekatan yang baik supaya wejangannya bisa diterima oleh cucu-cucunya. Tidak seperti ayah yang hanya menjudge tanpa mengerti situasi dan kondisi.
Kemajuan dunia dan teknologi sudah merata bahkan sampai ke kampung-kampung. Hey bahkan mereka para warga kampung memiliki asset yang lebih bagus dari yang kita miliki. TVnya saja sudah LED 42", sedangkan di rumah kita masih tv tabung jaman old banget. Mungkin saja di rumah para kiyai dan guru-guru yang ayah maksud juga ada benda-benda itu. Ayah saja yang tidak mau menerima kenyataan kalau dunia itu berubah tidak lagi seperti dijamannya ketika masih menjadi seorang anak.
Ayah tak bisa menerima kemajuan dunia, dia tak bisa beradaptasi dengan kondisi yang ada. Berdasar pada sistem dari pengajian itu pula ayah bukan ayah yang hangat lagi. Rumah kita menjadi sepi dan dingin. Karena satu-satunya alat yang bisa membuat kita sekeluarga berkumpul sudah tak ada lagi di ruang tengah sejak ibu tiada. Well dulu, jika ayah melarang maka ibu yang akan memberi kesempatan kepada kita. Tapi setelah kepergiannya, mau tidak mau kita akan mengunci diri di kamar masing-masing karena anak-anak lebih suka melihat dunia lewat tv.
Permasalahan tv ini hanya satu dari banyak hal yang berubah dari ayah. Sepele bukan? Tapi bagi ayah tidak, itu masalah besar.
Aku ingat sewaktu SMA dulu. Aku tahu triknya supaya bisa disayang ayah. Setelah bertahun-tahun merasa kehilangan sosoknya. Caranya adalah tentu dengan mengikuti apa yang dia inginkan. Demi mendapatkan rasa kasih sayangnya lagi seperti waktu masih duduk di bangku SD dulu. Aku berencana untuk mengenakan hijab, dan itu berhasil. Dengan wajah yang sumringah dia mengabulkan permintaanku. Sedetik itu pun dia langsung memberiku dana untuk membeli berbagai keperluan berhijab, mulai dari seragam sekolah, hijab dan beberapa helai baju muslim. Sikapnya lebih terbuka dan lebih hangat ketika itu.
Aku mampu bertahan dengan hijabku hingga masa kuliah. Tapi setelah itu aku menyadari bahwa semua itu kulakukan hanya demi Ayah berbaik hati kepadaku. Bukan berasal dari dalam hatiku dan karena Tuhanku. Ditambah semenjak tragedi dimasa lalu itu yang membuat hidupku berubah drastis. Aku merasa apa yang aku kenakan belum selaras dengan perbuatanku. Aku merasa belum siap dan akhirnya aku melepaskannya kembali. Dan yup, hasilnya adalah ayah kembali tak menyukainya.
Aku tahu alasannya, tapi suatu hari nanti disaat aku sudah sangat siap, aku akan kembali memakainya lagi. Hanya saja saat itu kebutuhanku yang sangat mendesak dan alasan tak dipekenankan memakai hijab di tempatku bekerja membuat aku harus melepaskannya. Jelas ayah tidak suka.
Please, jangan menjudge untuk hal ini. Jika saja kamu tahu bagaimana rasanya ada di posisiku saat itu kamu akan bisa lebih mengerti. Bukannya aku tak percaya, bukannya aku melenceng dari ketentuan. Tapi aku masih membutuhkan pekerjaan itu. Bukannya aku hanya diam menerima dan pasrah, tapi aku pun diam-diam berusaha.
Aku tahu ayah menginginkan anaknya menjadi muslimah sejati. Aku tahu itu adalah kebaikan. Aku tahu jika aku berhijab lagi maka ayah akan kembali menjadi ayah yang hangat bagiku. Tapi percayalah berada diposisiku sebagai orang tua tunggal dan aku tak bergantung kepada siapapun untuk urusan nafkah, aku berusaha sendiri untuk urusan penghidupan yang layak bagiku dan anakku Nona. Dan, aku percaya Tuhan juga yang memberiku jalan seperti adanya sekarang.
Aku tak diam, aku pun sangat berharap aku akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik yang memperbolehkanku mengenakan hijab. Aku berdoa untuk itu. Tapi saat itu apa yang diberikan ya aku terimakan saja dulu. Toh pekerjaan yang kudapat juga pekerjaan yang halal. Hanya saja tempatku bekerja bukan tempat yang syariah yang mewajibkan karyawannya untuk berhijab. Itu intinya!
Untuk urusan hijab ini salah duanya dari banyaknya perubahan ayah. Aku hanya tak ingin memakai dan membukanya, lalu memakai dan membukanya lagi. Plin plan! Dalam hatiku yang terdalam urusan menutup aurat ini menjadi hal yang utama dan aku sudah memikirkannya. Aku benar-benar menunggu waktu yang tepat dan Allah meridhoinya. Itu saja. Doakan ya supaya aku bisa berhijrah kembali secepatnya.
***
Tak cukup membuatku tertekan, setelah perubahan kamar-kamar yang katanya tak sesuai dengan feng shui itu. Perlakuan kurang menyenangkan dari ayah tak henti-hentinya dilemparkan padaku. Aku mengerti dirinya sudah sangat kecewa tapi apa sebaiknya dia menuntunku dengan cara yang lebih lembut supaya bisa diterima dengan baik oleh pendengarnya, maksudnya diriku atau yang lainnya yang sedang dia ceramahi.