Andai itu kata-kata mutiaramu ayah, aku akan senang menerimanya. Tapi maaf aku tak sanggup mendengarnya.
Kali ini kakekmu benar-benar membenciku.
***
Flashback sebelum "Oh Ayah..."
Sebulan berlalu setelah perkara membenarkan yang tak benar karena alasan feng shui. Ayah ambruk alias sakit keras. Aku cukup tahu diri mungkin aku salah satu sebab dan pemberi andil kedua atas jatuh sakitnya ayah setelah riwayat penyakitnya sendiri. Aku sudah menambah pikirannya dan dia kecewa, emosi menguras kesehatannya. Batinnya tak tenang, karena tak bisa sepenuhnya menerima kenyataan pahit ini.
Aku menyadari itu semua, maka maafkanlah aku ayah!
Aku sudah katakan dulu bahwa aku akan menanggung semuanya sendiri. Fokus saja pada urusan ayah sendiri. Berdoalah untuk kesembuhan ayah, tak perlu menghiraukan anak yang sudah menggoreskan luka untuk yang kedua kalinya ini. Dalam diam aku pun mendoakanmu ayah. Aku juga tak perlu memberi laporan kepadamu kalau aku sudah berdoa kepada Tuhan untuk kesembuhanmu. Iya kan!
Penyakit ayah semakin menjadi, sepertinya complicated. Katanya dia merasakan sakit di bagian perutnya, kita beranggapan bahwa mungkin maag ayah makin parah sekarang. Dia juga merasa sakit di bagian kakinya mungkin juga reumatiknya menjadi. Dia selalu merengek kesakitan, mengaduh seperti anak kecil. Dia selalu ingin dibawa ke dokter, dan selalu mengeluh kalau obatnya dirasa tak cocok. Kemudian dia meminta untuk diperiksa ke dokter lainnya.
Sakitnya tak santai, maksudku jika dibandingkan dengan Alm. Ibuku dulu jelas mereka berdua sangat berbeda. Ibu selalu diam dalam sakitnya. Ibu tak mau memperlihatkan kalau dirinya sedang kepayahan menahan rasa sakit. Dia selalu menyembunyikannya hanya karena dia tak mau membebani orang lain dan anak-anaknya.
Sampai akhirnya ia pun harus tumbang sendirian. Aku benar-benar menyesali itu, seandainya aku tahu pada saat sakitnya akan kulakukan apapun untuknya. Jika perlu dirawat dirumah sakit, aku akan memaksanya. Kutahu ibu trauma dengan dokter dan rumah sakit, karena dulu saat tangannya sakit sang dokter tidak bisa menyembuhkannya malah membuat tangannya bengkok.
Demi kesembuhan ibu kita semua akan memaksa ibu untuk dirawat saja di rumah sakit. Tapi sayang kita tak pernah tahu apa yang dirasakan dalam hati, pikiran dan raganya. Ia selalu menunjukkan kalau dirinya kuat, tegar dan tak mau menyusahkan. Itulah ibuku. Ayana sayang ibu, semoga doa-doa dan bacaan ayat-ayat suci Al-Quran yang selalu Ayana bacakan untuk ibu bisa menerangi dan melapangkan alam kuburmu. Maafkan Ayana ibu!
Lalu ayah, sedari dulu jika sakit ayah tak bisa diam. Selalu mengaduh seperti anak kecil. Semua orang akan sibuk mengurusinya. Dia sudah menjadi pasien langganan dokter-dokter. Dia tak pernah diam seperti ibu. Berdoa pun harus dengan suara yang keras supaya orang lain tahu kalau dia sedang sakit. Ayah... ayah.
Kala itu bersamaan dengan keadaanku yang sedang payah sewaktu hamil muda dan setelah tragedi feng shui itu. Aku masih mabuk dan mual-mual dahsyat. Aku mengurung diri dikamar, aku pun tak bisa bergerak bebas. Bahkan untuk berdiri saja badanku rasanya tak kuat. Dalam tidur pun aku harus mencari posisi yang nyaman itu berkali-kali. Aku sendiri di dalam kamar dalam kegelapan dan aku tak mau menyusahkan orang lain. Hanya Nona yang bisa kuandalkan, menjadi perantaraku jika aku membutuhkan sesuatu.
Lalu diluar kamar, di ruang tengah itu adalah tempat dimana ayah tidur selama sakit. Dia tak ingin tidur dalam kamar kedua yang sudah di rombak. Selalu saja ada kamar kosong di rumah kita.