Ini hari pertamaku cuti melahirkan. Akhirnya ibu hamil ini bisa rehat dan bersantai ria tanpa harus memikirkan laporan piutang perusahaan dan bermanis-manis menghubungi orang-orang yang sudah diberikan fasilitas kredit supaya segera membayar hutangnya karena sudah jatuh tempo.
Perkiraanku dua minggu lagi aku akan bertemu dengan Bayi "Q". Sengaja kuambil kesempatan cuti menjelang hari kelahiran. Aku ingin lebih banyak waktu bersamanya kelak sebelum kembali bekerja juga sebelum seseorang mengambilmu. Ada yang mendambakanmu, sangat menunggu kehadiranmu.
Berat rasanya, jika saja ada jalan lain. Seandainya mereka bisa menerima Bayi "Q" hadir diantara mereka. Kak Anya sempat menawarkan diriĀ akan menjaga Bayi "Q" dan itu membuatku lega.
"Biarlah nanti Bayi "Q" bersamaku saja. Biar kamu tetap fokus pada pekerjaanmu dan mencari nafkah untuk dia. Aku yang akan menjaganya." Kata Kak Anya dulu.
Namun, seiring berjalannya waktu dan bersamaan dengan sakitnya ayah dulu. Dia pun sepertinya menyerah. Entah apa yang membuatnya berubah pikiran. Dia tak bisa meneruskan niatnya untuk menjaga Bayi "Q". Jika Kak Anya saja enggan mengasuh anak ini, lalu siapa yang akan menjaganya. Sementara aku harus kerja dan mencari nafkah untuk mereka. Awalnya aku sangat berharap pada Kak Anya dan kini dia mundur.
Kepada siapa aku akan menitipkannya nanti. Aku bingung. Mau tak mau aku harus mencari orang dan membayarnya untuk jasa menjaga Bayi "Q". Biarpun orang itu adalah saudara kita sendiri, mungkin mereka akan dengan senang hati membantuku jika aku membayar jasanya. Seandainya ada ibu, aku akan memohon kepadanya. Aku yakin ibu tak akan pamrih melakukannya. Tapi aku merasa sendiri sekarang.
Apa di keluarga ini memang tidak ada yang sudi menerima kedatangan Bayi "Q" hanya karena dia ada akibat sebuah kesalahan yang kulakukan (lagi). Hey akupun tak pernah menginginkan semua ini terjadi lagi. Aku ingin jalan hidup yang lurus-lurus saja tentunya, tapi ya ini takdirku. Seandainya saja aku bisa menolak dan memilih takdir yang lain.
Aku ingin anak-anakku memiliki orang tua yang lengkap seperti anak-anak kalian. Hanya saja aku sudah tidak beruntung bertemu dua lelaki tak berhati nurani itu. Orang-orang yang menyebabkan anak-anakku harus puas hanya memiliki seorang ibu saja. Maka berbahagialah kalian untuk keberuntungan yang kalian miliki dalam hal ini. Bersyukurlah!
Banyak sekali yang terlintas dalam pikiranku. Jika mereka semua memang tak ingin kehadiran Bayi "Q" ditengah-tengah mereka biarlah kutitipkan dia di panti asuhan saja. Bukannya aku tega tapi aku membutuhkan bantuan orang lain untuk menjaganya. Panti asuhan mungkin akan lebih baik. Aku akan tetap menafkahinya dan menengoknya disana. Anggap saja aku titipkan Bayi "Q" di day care seharian full hanya saja tempatnya bukan tempat elit untuk penitipan anak. Tempat itu adalah sebuah panti asuhan. Ya aku ingat ada semacam rumah yatim di dekat tempat kita tinggal. Anakku memang bukan anak yatim sesungguhnya, tapi akan terlihat seperti itu nanti. Karena "lelaki" itu sendiri yang menjadikannya seperti anak yatim.
Walau selalu terbayang olehku, apa yang akan didapat "Q" jika dia berada di dalam panti asuhan atau rumah yatim itu. Aku tak tega dan juga takut. Aaahh bagaimana ini? Ya Tuhan tolonglah, berikan jalan keluarnya. Apa yang harus kulakukan? Bayi "Q"ku harus selamat. Dia tak boleh merasakan diacuhkan oleh keluarganya sendiri karena riwayat dan asal usulnya. Dia se-berharga-nya sebuah kehidupan. Dia tak bersalah!
Sore itu sepupuku Nina memberitahuku tentang sesuatu. Awalnya karena dia masih peduli tentang nasibku dan Bayi "Q". Lalu dia membawa kabar itu.
"Ayana, kamu yakin ingin menitipkan bayimu nanti?" Tanyanya.
"Aku tak yakin tapi apa boleh buat, aku hanya memikirkan nanti siapa yang akan menjaga dan merawatnya jika aku harus bekerja." Jawabku.
Nina pun sudah berkeluarga sekarang. Kalau dulu semasa masih sendiri dia bisa menjaga Nona dengan leluasa, kali ini tidak mungkin aku menitipkan "Q" juga padanya. Dia sendiri sudah memiliki keluarga, suami dan anak yang harus dia urus. Aku tak ingin melimpahkan bebanku padanya.
"Ayana aku ingin memberitahumu sesuatu. Temanku sudah lama menginginkan seorang anak. Usia pernikahannya sudah hampir 10 tahun. Dulu dia sempat menanyakanku 'adakah yang akan memberi dia seorang bayi untuk dia rawat dan besarkan?' Katanya." Berita itu seperti memberiku jalan lagi.
"Oh ya, kamu yakin Nina? Siapa dia?" Tanyaku.
"Namanya Mae, dia tinggal di daerah Subang sana. Aku yakin Mae dan suaminya adalah orang baik, ilmu agama mereka juga bagus. Mereka mengelola sebuah pesantren sendiri yang mereka bangun berdua. Jadi aku yakin kalau "Q" kamu titipkan kepada mereka mungkin akan lebih baik daripada di panti asuhan." Kata Nina.
"Kamu yakin dia mau merawat bayiku nanti?" Tanyaku.
"Dia sudah mendambakannya sedari dulu. Aku sudah cerita kepadanya tentangmu dan bayi "Q" dia sendiri yang menawarkan diri. Coba kamu hubungi dia, kalian saling kenal saja dulu. Selanjutnya terserah kalian." Sebelum pergi Nina memberiku nomor telepon Mae.
Semalaman aku berpikir keras untuk memberanikan diriku menghubungi Mae, rasanya ada yang janggal saja. Mana ada seorang ibu yang dengan tega memberikan anaknya kepada orang lain. Demi Tuhan aku tak tega, tetapi nanti saat kumulai bekerja lagi lantas siapa yang akan menjaganya. Keluargaku sendiri saja seperti enggan menerimanya. Saat seperti ini aku benar-benar membutuhkan ibuku.
Pagi harinya sebelum kubulatkan tekad, tiba-tiba Mae memberi pesan kepadaku. Entah suatu kebetulan atau memang kita sudah dihubungkan tanpa kita sadari. Pesan itu perkenalan di awal bagi kita. Setelah saling kenal lalu tanpa basa basi percakapan antara aku dan Mae berlanjut ke topik utama yaitu tentang Bayi "Q". Mae sudah tahu maksudku dari Nina dan dia menyambutnya dengan sangat terbuka. Ini yang didambakannya selama ini. Akhirnya ada yang mau memberikannya seorang anak dan bayi perempuan pula.
Aku senang mengetahui Mae, ya sepertinya Ia memang orang baik dengan hijabnya yang sederhana itu. Aku pikir "Q" akan aman ditangan Mae. Tapi aku masih bingung haruskah aku benar-benar memberikan bayiku atau anggap saja aku titipkan "Q" beberapa tahun sampai aku benar-benar siap membawanya kembali. Siap lahir batin dan materi tentunya. Tapi apa Mae juga mau hanya dititipkan seorang bayi. Sedangkan dia mendambakan "Q" menjadi anaknya walau bukan darah dagingnya sendiri.
Selama satu minggu kita saling mengenal dan mendekatkan diri. Sampai akhirnya aku harus mengajak Mae untuk membuat suatu kesepakatan tentang status Bayi "Q" nantinya. Demi Tuhan aku tidak ingin memberikan calon anak bungsuku itu kepada orang lain. Aku hanya ingin menitipkannya saja. Aku akan membiayai seluruh kebutuhannya. Aku hanya butuh orang membantuku untuk menjaga dan merawatnya.
Jadi sebelum benar-benar sepakat aku menawarkan perjanjian itu kepada Mae.
Jika Mae menyetujuinya maka aku akan sangat tertolong olehnya.
"Mae aku tahu kamu sangat menginginkannya. Bertahun-tahun kamu mendambakannya. Tapi aku pun tak tega jika harus memberikan bayiku sepenuhnya. Jujur ini sangat berat tapi aku pun membutuhkanmu untuk merawat Bayi ini." Kataku kepada Mae.
"Lalu maksudmu bagaimana?" Tanya Mae memastikan.