Aku melihat adik iparku Diah sudah tiba beberapa saat sebelum Q lahir. Dia datang disaat aku sedang berjuang didalam ruang bersalin itu. Aku lega setidaknya kamu tidak lagi sendirian diluar sana. Satu jam kemudian sepupuku Nina datang, sepulang bekerja dia menyempatkan mampir dahulu untuk membesukku sebelum tiba di rumah.
"Hi Q selamat datang ke dunia. Jadi anak sholehah ya sayang." Sapa Nina kepada Q yang kini sedang asyik menghangatkan diri dalam kamarnya yang seperti akuarium.
"Kamu sudah beritahu Mae Ay?" Tanya Nina kepadaku.
Ah ya aku belum sempat menghubungi siapapun. Masih terlalu kaget dengan apa yang terjadi dua jam lalu.
"Belum," jawabku.
"Mau aku yang kasih tau dia?" tawarnya.
"Hmm ... tak usah biar besok saja aku beritahu dia. Aku butuh istirahat dulu Nin." Aku belum siap memberitahu Mae sebenarnya.
"Ya sudah, istirahat saja dulu. Besok kamu pikirkan lagi. Aku juga tidak akan memberi tahu dia dulu kalau begitu." Kata Nina yang sedang memandangi Q di bak akuariumnya.
Beberapa menit kemudian datanglah Tante Ema dan Tante Wiwi. Mereka diberitahu Tante Diah yang duluan pulang bersamamu. Karena kamu sama sekali belum mandi sedari pulang sekolah, masih memakai baju seragam olahraga. Kamu juga kelaparan, jadi aku titipkan kamu kepada Tante Diah untuk diurus.
"Ayana kenapa kamu tidak memberi tahu Tante Ema kalau mau melahirkan. Jadi tadi saat kulihat kalian naik motor itu mau ke sini? Aku pikir kalian hanya pergi ke depan kompleks membeli makanan." Tante Ema datang dan langsung memelukku.
"Iya tante, tadinya hanya mau periksa biasa saja. Eh taunya bidan melarangku untuk pulang." Jawabku setelah Tante Ema melepaskan pelukannya.
"Duh tante sebenarnya khawatir kamu masih saja naik motormu itu disaat perut sudah semakin membesar. Kemana-mana sendiri. Bahkan tadi sempat jemput Nona dari sekolah kan. Hey liat ini Wi, cantik sekali si mungil ini." Wajah cemasnya langsung berubah ketika melihat makhluk kecil dalam bak kaca.
"Iya, lihat itu hidungnya yang mancung, pipinya yang gembil. Walaupun sangat kecil tapi dia cantik sekali." Tante Wiwi menyusul Tante Ema menuju bak kaca yang memang seperti akuarium itu.
"Ayana, kamu itu tidak sendirian. Seharusnya kamu tadi beritahu kami. Kalau ada apa-apa bilang lah. kami juga kan orang tuamu sekarang." Sambil duduk disampingku Tante Wiwi mengingatkanku.
"Iya, kamu itu jangan sungkan meminta tolong. Jangan karena tidak ada ibumu lagi lalu kamu merasa sendiri. Bagaimanapun kamu juga anak kami." Sambil menggendong Q Tante Ema pun mengingatkanku kembali.
Dan setelah itu tiba-tiba seseorang datang.
Ya Tuhan, apa benar yang sedang kulihat. Aku tidak sedang bermimpi kan. Apa benar itu dia? Tanyaku dalam hati.
Ayahku sedang berdiri dihadapan kami semua saat itu.
"Assalamu'alikum." Ayah datang memberikan salam.
"Wa'alaikumsalam." Semua menjawabnya serempak.
"Mana cucuku aku ingin lihat?" katanya.
Apa? Sekali lagi ayah. Ingin rasanya kumendengarkannya lagi. Ini seperti angin surga. Hatiku gemetar seperti tak percaya.
"Ini disini wak haji." Kata Tante Wiwi yang sedang menggendongnya setelah bergantian dengan Tante Ema.
"Biarkan aku ber-adzan untukknya. Aku ingin cucuku menjadi seorang muslimah." Ayah mendekatkan dirinya kepada bayi mungil yang masih didekap Tante Wiwi.
"Ya tentu saja, biar kuletakkan dia di bak bayi itu lagi dan wak haji bisa memulai adzannya." Jawab Tante Wiwi lalu Q ditidurkan lagi dalam bak akuarium kecilnya.
Kemudian ayah mulai mengadzani Q dan memberinya doa-doa. Air mataku tak sanggup kutahan dan mengalir begitu saja. Tante Ema dan Tante Wiwi melihatku saat itu, mereka mengerti apa yang aku rasakan. Mereka tahu bagaimana sikap ayah terhadapku selama ini. Lalu keajaiban datang, ayah disini melihat cucunya. Ya dia tadi bilang Q adalah cucunya. Allahuakbar, hatiku bergetar. Apakah itu artinya ayah sudah memaafkanku dan mau menerima Q sebagai cucunya? Sepertinya gunung es sudah mencair dan kini hatinya luluh saat melihat anak bungsuku lahir ke dunia.