SAMPAI NANTI SAATNYA TIBA

sbwjsnd
Chapter #32

#32 - Seperti Tersambar Petir Di Siang Bolong

Ragaku seperti akan terpisah dengan rohnya. Gemetar sekujur tubuhku membuatku hampir tak berdaya menggerakkan semua indera yang kupunya. Selain sensasi rasa-rasa itu, otak yang ada dikepalaku juga terasa mendidih, panas dan saking jenuhnya ingin membeludak seperti kawah yang tak sabar untuk menyemburkan uap panasnya sampai bertemu awan.

Aku marah dan sudah tiba di level kemarahan paling tinggi sampai detik itu. Nalarku tak sampai pada hal itu, satu kesalahan yang kamu buat. Dan, aku tak pernah mengajarimu tentang itu. Kamu menguji kesabaranku sampai pada puncaknya. Aku tak habis pikir kamu benar-benar tega melakukannya. Di usiamu yang masih sangat bau kencur dan kamu bisa melakukannya. Kamu kenapa Nona?

***

Lagi-lagi berita tak menyenangkan aku dapatkan disaat yang tidak tepat, disaat aku membutuhkan rileksasi setelah satu minggu berkutat dengan angka dan kasus unik di tempat kerjaku. Aku pikir rumah akan menjadi tempat paling nyaman untuk mengistirahatkan pikiran dan tubuh lelahku. Aku pikir rumah akan membuatku nyaman dan ingin selalu kembali pulang dan berlindung di dalamnya. Ternyata tidak, justru dari rumahlah segala problematika muncul. Bagiku jangankan untuk menenangkan diri, singgah pun rasanya enggan.

Setelah ibu tiada, rumahku bukan istanaku lagi selama bertahun-tahun sampai sebelum aku pindah ke Belanda . Aku harus tinggal bersama ayah yang selalu sentimen terhadapku. Bahkan setelah kedatangan Qeen pun kadang-kadang ketidaksukaannya padaku kerap kambuh lagi seperti penyakit tuanya. Kakak pertamaku Anya menyerah duluan dan lebih memilih pindah rumah ke kabupaten yang jauh disana. Kak Irma juga sudah lebih dulu membangun rumah pribadinya di belakang mushola dengan mengorbankan satu petak kontrakan ayah. Adikku Toto sudah mendapatkan jatahnya sendiri, rumah warung yang berada di jalan utama yang tadinya dihuni oleh ayah dan ibu. Kini menjadi miliknya karena memang itu bagiannya.

Maka otomatis akulah orang terakhir yang harus tinggal bersama ayah. Kamu bisa bayangkan betapa tak nyamannya aku saat itu. Kami tak pernah akur lagi setelah tragedi asal muasal kamu lahir. Kesensiannya semakin parah ketika tragedi kedua yang juga sudah menciptakan Qeen hadir diantara kita dengan kasus yang sama.

Tak ada lagi istilah home sweet home bagiku kala itu. Tapi akupun tak bisa menolak untuk tinggal bersamanya, aku bisa apa selain ikut menumpang dirumahnya dan mematuhi aturan mainnya yang kadang-kadang masih kulanggar karena tidak sesuai dengan hati. Aku harus menelan ketidaksukaannya pahit-pahit seperti minum obat tiga kali sehari yang tak pernah aku sukai. Jika saja aku sudah mampu memiliki rumahku sendiri atau minimal bisa menyewa sepetak kontrakan di tempat lain. Tapi keadaan benar-benar mepet, aku juga mulai terhimpit oleh masalah finansialku sendiri.

Aku tak bisa memilih alternatif lain selain dengan terpaksa menerima kenyataan untuk tinggal dengan ayah diwaktu dan kondisi yang tak tepat. Dalam keadaan yang selalu menjadi sasaran empuk baginya untuk menghakimiku terus menerus. Aku selalu dipandang sebelah mata olehnya ketika itu.

***

Hari sabtu, aku tiba di rumah jam 4 sore. Hari itu memang jadwal kerjaku hanya setengah hari. Biasanya setelah selesai bekerja aku akan memanfaatkan waktu luang beberapa jam dengan membaca buku di kafe yang ada di bukit sekitaran Dago atas. Tapi hari itu aku tidak enak hati, jadi kuputuskan untuk langsung pulang saja. Ayah juga sudah pulang dari mushola sehabis sholat Ashar. Baru saja kuparkirkan motor hitamku di ruang tamu yang tidak berfungsi dengan baik karena kami memang jarang kedatangan tamu. Sesaat akan masuk ke dalam kamar tiba-tiba ayah yang sedang duduk di ruang makan berdiri dan menghampiriku.

"Nona mengambil uangku!" Tanpa basa basi ayah memberitahuku berita yang tak pernah aku harapkan.

"Hah, apa?" Apa aku sudah salah mendengar, akhirnya kutanya balik.

"Iya uangku sudah tak ada." katanya.

"Bagaimana ayah tahu kalau dia yang ambil?" Tanyaku dengan hati-hati dan berusaha sesabar mungkin menahan emosi.

"Ya siapa lagi, kamu kerja seharian. Aku di warungku seharian. Lalu sisa siapa lagi di rumah ini. Kalau bukan dia, siapa lagi?" Ayah begitu yakin atas dugaannya.

Lihat selengkapnya