Anak perempuan pertama.
Bahumu harus sekuat baja.
Hatimu harus setegar karang.
***
Pagi yang berat untuk memulai hari. Aku masih limbung dengan fakta yang aku terima hari sebelumnya. Otakku seakan berontak tak mau menerima, seandainya aku bisa mencegahnya tapi aku tak mampu.
Masih perang dingin, kamu tetap bungkam tak mau bicara dan aku enggan mengusikmu lagi, hanya karena lelah dan tak mau menekanmu terlalu dalam. Aku tahu aku tak akan mendapatkan apa-apa dengan cara itu setelah hari kemarin emosi merajaiku.
Hari itu sebalnya dengan mata sembab dan air muka yang tidak bersemangat, aku dan kamu harus menghadiri undangan dari sekolahmu. Kamu sudah kelas enam dan akan banyak rapat sekolah yang harus dihadiri para orang tua/wali murid. Aku terpaksa ambil cuti dari kantorku. Bukan karena akan menghadiri rapat itu. Tapi aku ingin meluangkan waktu bersamamu satu hari penuh. Dengan maksud terselubung lainnya, ingin mengorek kebenaran darimu.
Satu ide tiba-tiba muncul dalam kepalaku ditengah-tengah rapat. Aku pikir setelah selesai menerima informasi tentang ujian akhir sekolah dan kelulusanmu nanti dari pihak sekolah, aku akan mengajakmu pergi ke suatu tempat. Entah dimana dan kemana. Aku belum memutuskannya. Tapi kita akan datang ke satu tempat itu dan hanya ada kita berdua saja nanti. Tanpa kegaduhan dan kebisingan. Bukan tempat ramai tentunya, bukan mal, bukan pula kafe ditengah kota. Harus sesuatu yang natural, menenangkan dan sunyi.
Tak lebih dari satu jam rapat orang tua/wali murid itu berlangsung. Syukurlah aku sudah bosan sedangkan kamu menunggu di luar ruang rapat bersama teman-temanmu. Sepertinya kamu sudah dihadang pertanyaan yang sama oleh teman-temanmu, tentang matamu yang bengkak. Aku tak tahu alasan apa yang kamu berikan kepada mereka. Memang kedua matamu sudah membuat curiga banyak orang karena semalaman kamu menghabiskan air matamu untuk menangisi kesalahan yang sudah kamu buat.
Tak ingin berlama-lama berada di sekolah, aku pun tak tertarik bergabung dengan kerumunan atau perkumpulan ibu-ibu lainnya. Aku tak mengenal mereka semua, aku juga tak dekat dengan mereka. Mungkin aku salah satu orang tua murid yang hampir tidak pernah datang ke sekolah. Aku sudah cukup mengerti dengan hasil rapat tadi. Setelah rapat bubar, kuajak kamu untuk segera pergi meninggalkan sekolah. Masih memakai seragam pula. Aku pikir tak perlu ganti baju, tak apalah toh kita tidak akan pergi terlalu jauh, masih sekitaran Bandung kota.
Diperjalanan sambil kugas motorku, aku masih belum memutuskan kita akan pergi kemana. Beberapa pilihan tempat sudah ada dalam benakku sebenarnya. Tapi, tanpa kusadari pilihan tempat pertama sudah terlewati begitu saja dan aku malas memutarbalikkan arah. Motorku tetap melaju mengikuti jalur didepannya. Kalau tempat pertama terlewat maka aku harus merubah rencana yaitu memilih tempat kedua. Tapi konsentrasiku juga buyar, ternyata aku salah jalan menuju tempat kedua. Dan, lagi-lagi aku malas memutar arah. Tempat kedua pun dilewatkan saja. Benar-benar payah fokusku kali itu, masalah hari kemarin membuat kacau pikiranku.
"Mama sebenarnya kita mau kemana sih?" Pertanyaanmu memecah konsentrasi ditengah jalan.
"Eh iya, kita akan kesuatu tempat." Kataku yang sebetulnya aku pun tak tahu kita akan kemana, aku masih bingung.
"Masih jauh Ma?" Suaramu lirih kudengar seperti tak berani protes.
"Sedikit lagi." Padahal aku belum tahu dimana motor yang kukendarai itu akan kuparkirkan.
Aku harus berpikir cepat untuk merubah tujuan sesuai dengan rute yang akan aku lalui dan tanpa aku sadari sebenarnya aku ingin menuju kesana. Ajaib, setengah melamun aku lancar menjalankan motorku dan aku bisa menempuh jarak yang ternyata jauh juga dari perkiraan awalku, sudah melebihi batas kota. Di titik dekat terminal Dago aku langsung mendapatkan ide jitu. Kugas terus motorku sampai melewati Taman Hutan Raya Ir. Juanda. Tapi bukan tempat itu pula tujuan kita. Kamu sudah sering kesana, aku pikir kamu juga akan bosan ke hutan itu.
Menuju pertigaan setelah melewati gerbang Tahura aku membelokkan motorku ke arah kanan. Aku memikirkan sebuah kafe alam yang sepertinya layak untuk sesi curhat antara aku dan kamu Nona. Kafe yang tenang dan nyaman dengan view hamparan hutan dan bukit-bukit hijau disekitarnya. Kita akan memesan meja diantara ilalang-ilalang tinggi sebagai latar belakangnya, seperti dulu saat kita dan Om Ucup pernah kesana. Cocok!
Tapi, lagi-lagi kafe itu pun aku lewati. Seharusnya aku memasukkan motorku ke area parkirnya di sebelah kiri. Hey Ayana sebenarnya kita mau kemana sih? Protesku dalam hati.
Aduh kenapa pikiran dan tanganku ini sama sekali tidak sinkron. Aku ingin kita mampir ke kafe itu tapi kenapa tanganku seperti tak mengizinkannya. Tanpa sadar lagi, kugas motorku begitu saja sampai hampir tiba diujung pertigaan terakhir yang merupakan area parkir mobil. Kulihat spanduk besar sebagai tanda dan penerang dimana titik tempat kita berada saat itu.
Dipertigaan terakhir itu akhirnya aku harus membelokkan motorku ke arah kiri. Tak ada pilihan lagi aku harus meneruskan perjalanan ini sampai ke suatu tempat yang semenjak melewati Tahura tadi sudah terbayangkan di kepalaku, selain kafe tadi yang sudah kita lewati. Tebing keraton namanya. Itu pertama kalinya kamu mengunjunginya dengan masih berseragam sekolah pula.
Aku, sudah beberapa kali kesana saat masih memiliki waktu di hari Sabtu untuk Me-time, hanya sekedar duduk dibawah pohon rindang dan membaca buku disana sambil melihat hamparan bukit-bukit nan hijau dan tebing curam dibawahnya. Sendirian tak ada siapa pun diatas bukit itu karena mungkin aku datang kepagian juga, tapi beberapa jam kemudian beberapa orang pun datang. Mereka hanya ingin memgambil foto narsis di beberapa spot di sekitar tebing untuk dipamerkan di halaman media sosial mereka. Setelah puas mendapatkan gambar yang bagus dengan cepat mereka kembali lagi turun bukit karena diatas sana memang panas sekali kalau siang bolong. Yang paling hits adalah berfoto di batu besar diujung tebing itu. Kalau tidak hati-hati, ya wasalam. Kalian akan terjun bebas sampai ke bawah jurang. Aku tak tertarik untuk selfie dibatu itu, terlalu banyak orang yang melakukannya.
Aku datang ke sana ketika Tebing Keraton belum setenar sekarang. Fasilitas seadanya, belum ada pagar pembatas disisi tebing, masih alami, masih berjalan di atas tanah dan bebatuan. Belum semenarik dan sekomersil sekarang. Orang lain akan bilang aku gila, tidak ada kerjaan atau berani sekali saat melihatku hanya sendirian, tiduran di bangku kayu yang ditempatkan di bawah pohon besar lalu membaca buku disana. Tak ada yang menemaniku mengobrol atau untuk saling mengambil foto, karena buku adalah temanku satu-satunya waktu itu.
Baca buku mah di rumah aja atuh, ngapain musti jauh-jauh kesini, sendirian, udah gitu ketiduran pula. Gak takut digondol jin apa. Orang aneh!