Sudah enam bulan semenjak kamu memakai seragam putih biru. Semua berjalan seperti biasanya, kamu dan Qeen masih sering melakukan drama anak sulung dan anak bungsu. Kadang ketidakakuran kalian membuatku pusing. Penat dengan segala kesibukan di dunia kerja dan dunia nyata sebagai ibu, aku butuh me-refresh isi kepalaku. Aku butuh pergi ke alam dan mendengarkan tetesan air terjun dalam keheningan.
Kutitipkan Qeen yang belum bisa bergabung dengan petualangan kita kala itu. Qeen yang masih bisa ceria saat kuungsikan ke rumah Emak Ceuceu pengasuhnya. Karena dirumah Emak Ceuceu, Qeen akan mendapatkan kasih sayang yang lebih dari anak, cucu sampai ke cicit Emak Ceuceu. Qeen yang menjadi hiburan dikala hidup mereka terlalu serius. Bersyukur Qeen diasuh oleh orang-orang yang menyayanginya melebihi keluarganya sendiri. Aku bisa bekerja lebih tenang saat kutinggalkan Qeen di rumah Emak Ceuceu. Termasuk saat kita mulai menjelajah lagi setelah hampir empat tahun absen.
Subang menjadi tujuan kita kala itu. Pertama kalinya aku nekat membawamu ke kabupaten yang jauh disana. Hanya dengan modal google maps dan informasi yang aku dapatkan dari internet, dari blog dan vlog orang lain yang pernah datang ke tempat itu. Sudah lama aku menginginkan datang ke salah satu air terjun yang paling indah di Kabupaten Subang itu ketika setahun sebelumnya kulihat partner ngalam-ku Ucup memposting hasil buruan fotografi yang dia geluti sejak dulu di air terjun itu. Sejak mengandung Qeen, aku, kamu dan Om Ucup tidak pernah ngalam bersama lagi. Kita sudah melewati banyak petualangan seru sepertinya. Dia sudah bepergian kemanapun ke tempat yang indah tanpa kita. Apa boleh buat ketidakmampuanku selama empat tahun lamanya membuat kita harus berpuas diri hanya dengan menikmati alam hasil jepretan Om Ucup yang semakin profesional di halaman instagramnya.
Tak ada teman lain yang menemani, karena rencana hanyalah tinggal rencana. Sudah beberapa kali merencanakan melakukan petualangan bersama teman-teman sekantor tapi selalu gagal. Jadi, karena semakin rindu berpetualang maka saat itu aku putuskan untuk pergi bersamamu saja Nona. Toh sudah lama sekali kita pun tidak pernah melakukannya. Bukankah kamu juga rindu petualangan itu.
Desa Cibogo Kecamatan Cipunaraga Kabupaten Subang tempat yang akan kita tuju. Jalur yang aku tahu hanya sampai tempat wisata air panas Ciater saja, setelah itu jujur aku buta. Bermodalkan peta elektronik dari ponselku dan hasil bertanya kepada teman sekantor yang pernah bekerja di daerah Subang. Intinya dari Bandung aku harus menemukan tugu yang berbentuk buah nanas. Itu artinya aku telah tiba di Kabupaten Subang. Dari situ aku hanya harus mengikuti arah yang ditunjukkan di peta menuju tempat yang kita tuju, Curug Cileat.
Pagi itu, setibanya di Lembang cuaca nampak galau, langit tidak begitu cerah. Aku pikir mungkin karena sudah memasuki area pegunungan jadi maklum saja langit sedikit mendung karena kabut masih berkeliaran pagi itu. Sayangnya tiba di simpang tiga menuju tempat wisata Tangkuban Perahu, kita benar-benar diguyur hujan deras. Aku sedikit panik dan menabrak pembatas jalan berbentuk kerucut dan berwarna oranye itu.
"Hati-hati neng." Kata petugas penjaga pintu masuk kawasan Tangkuban Perahu yang sedang berjaga.
"Aduh, maafin ya pa. Saya panik hujan tiba-tiba gede banget." Apa boleh buat memang aku yang salah jadi aku harus meminta maaf.
"Iya gak apa-apa, hati-hati atuh ya jalanan licin juga." Sambil membenarkan traffic cone yang sudah terbalik karena kutabrak tadi.
"Iya pak, sekali lagi maaf ya." Kita pun berlalu dari mereka.
Kamu yang tidak membawa jas hujan membuatku harus menyudahi sementara perjalanan itu. Hampir basah kuyup akhirnya kita harus berhenti di rest area kecil yang tak begitu jauh setelah melewati jalan pertigaan tadi. Disuguhi luasnya perkebunan teh di depan mata sambil menikmati jagung dan ketan bakar dengan tetesan hujan yang membasahi hamparan permadani hijau dari daun teh.
Sempat ragu untuk melanjutkan petualangan, karena hujan pagi itu terlalu lebat dan jaket kita sudah basah. Sudah pukul sembilan pagi saat kita menunggu jagung bakar yang kita pesan matang sempurna. Jika hujan masih saja selebat itu sampai tengah hari, maka dengan terpaksa kita harus kembali turun gunung menuju Bandung. Jika kita paksakan sudah tentu bukanlah ide yang bagus. Satu hal yang membuatku harus berpikir ulang adalah karena aku tak pernah sejauh ini mengendarai motorku dan buta arah pula menuju ke arah Subang.
Setelah lima belas menit menunggu di salah satu warung di tempat peristirahatan itu. Akhirnya jagung bakar siap disantap, aroma mentega dan permukaan kulit jagung yang hangus terbakar karena bara api, membuat perut yang belum diberikan jatah sarapannya meraung-raung ingin segera mencerna. Tapi baru saja satu gigitan eh langit seperti membaca doaku dalam hati. Hujan lebat berubah menjadi rintikan jutaan air yang malu-malu turun ke bumi kemudian berangsur-angsur hilang, munculah kabut yang merayap ditanah lalu terbang.
Tekadku naik lagi, kalau alam mendukung kita melakukan petualangan, kenapa kita tidak menyambutnya saja. Aku lupa, siapa tahu di daerah Subang sana langitnya cerah dan sedang menunggu kedatangan kita. Mungkin juga aku terlalu takut saja waktu itu. Karena kali itu benar-benar pertama kalinya kita akan menginjakkan kaki kita di Kabupaten Subang, berdua denganmu dengan mengendarai teman setia kita si Bitty sang motor hitam yang usianya sudah melebihi balita.
Tanpa banyak basa basi aku minta pemilik warung untuk membungkus jagung bakar yang baru saja kugigit itu. Biar nanti kulanjutkan makan jagung di tempat tujuan kita saja. Sementara kamu tak mau nenyantap jagung itu dengan alasan tak selera makan. Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Kulihat kamu juga antusias melanjutkan perjalanan dan membuatku semangat lagi. Bismillah tujuan berikutnya adalah Tugu Nanas.
Menuju Tugu Nanas, jalanan begitu sangat asing bagi kita terutama aku yang sedikit was-was karena takut salah jalan. Tapi kata temanku dari Ciater sampe ke Tugu Nanas jalannya hanya satu itu saja yang kita lalui tak ada cabang lain. Artinya kita hanya perlu terus tancap gas mengikuti jalan utama. Melewati permadani teh di sisi kiri dan kanan, Kadang beberapa ruas jalan rimbun oleh pepohonan tinggi dan besar. Sampai tiba di pemberhentian ke dua dengan banyak warung-warung yang menjajakan buah nanas. Aku semakin yakin sebentar lagi kita akan tiba di Tugu Nanas. Aku cek kembali peta elektornik di ponselku. Ya betul! Tugu Nanas sebentar lagi. Jalannya sudah benar. Setiap lima belas menit sekali, sepertinya aku sering berhenti hanya untuk memastikan arah kita tidak salah. Itu yang membuat perjalanan jadi sedikit lambat, tapi yang penting kita tidak salah jalan dan selamat.
Dan ya, itu Tugu Nanasnya. Di titik itu kulihat buah nanas yang sangat besar berdiri kokoh di tengah bundaran diantara pertigaan jalan. Arah mana yang harus kita tuju? Satu arah, jalanan lurus disebelah kiri satu arah lagi agak menggeser ke kanan dan harus sedikit memutar melewati nanas besar itu. Kata teman kantorku dari arah tugu itu kita tinggal lurus saja. Oh lurus ya, berarti kita harus memilih jalan kiri saja, karena arah jalannya memang nampak lurus dari titik kedatangan kita. Ya sudah let's gooo! Tanpa kulihat lagi di ponselku, nyatanya jalan yang kulihat lurus itu tidaklah lurus jika dilihat dari google maps jalan itu membelok ke arah kiri. Kita salah jalan!
Tiga puluh menit berlalu dan aku ikuti jalan utama yang kupilih tadi. Tapi perasaanku kurang yakin kalau yang kita lalui itu jalan yang benar. Ditengah jalan akhirnya kupaksa berhenti. Aku harus cek di ponselku dimana posisi kita saat itu. Sinyal sedikit tak bersahabat, timbul dan tenggelam. Astaga ... kita dimana? Kenapa titik kita semakin jauh saja dari titik merah tujuan kita. Hey ini bukan jalur yang benar. Jika kita terus melaju di jalur itu maka kita akan masuk ke pusat alun-alun Subang. Kata temanku bukan kesana arahnya. Logikanya air terjun itu tidak berada di tengah kota melainkan menyisi ke arah pegunungan.
Maysgul, jalan terbaik adalah kita harus kembali ke Tugu Nanas lagi. Memutar balik arah satu-satunya cara yang harus kita lakukan. Sebenarnya kulihat di peta ada jalan alternatif lain. Memotong jalan menuju jalan yang sebenarnya tapi aku ragu, jadi aku putuskan kembali ke Tugu Nanas Saja. Seharusnya kita memasuki Jalan Cagak bukan Jalan Raya Cagak-Subang. Dari titik dimana pertama kali kita datang yaitu simpang tiga dengan poros Tugu Nanas itu, kita seharusnya sedikit memutari lingkaran tugu untuk masuk ke Jalan Cagak di sebelah kanan. Ah 30 menit yang sia-sia nampaknya.
Setelah memutar balik, tiba di Tugu Nanas kembali kuarahkan motorku ke arah kiri, arah yang sebenarnya menuju Curug Cileat yaitu Jalan Cagak. Kulaju sepeda motorku hingga menemui pertigaan kedua lalu kuarahkan lagi ke arah kiri ke Jalan Kasomalang kemudian menyambung ke Jalan Raya Cisalak sampai kulewati Alun-alun Cisalak yang sedikit ramai. Dari alun-alun itu perjalanan sedikit lagi sepertinya. Kita hanya perlu mencari Jalan Mayang disebelah kanan jalan. Untung saja kamu jeli melihat plang hijau yang sudah berkarat dan hampir tertutup dahan pohon rindang. Aku sama sekali tak melihatnya karena fokus ke jalan utama.