SAMPAI NANTI SAATNYA TIBA

sbwjsnd
Chapter #38

#38 - Perpisahan

Bagian ini yang paling kita tidak sukai ... perpisahan. Air mata tak berhenti mengalir. Hatiku begitu berat meninggalkan kalian, melihat wajahmu yang sedih. Begitu juga dengan Qeen yang meraung dan menjerit. Dia tahu aku akan pergi lama karena yang kusiapkan adalah koper bukan lagi tas daypack biasa. Satu jam pertama dia tak mau melepaskanku, dia ingin kugendong dan tak bisa membuatku bergerak leluasa. Qeen yang selalu memantau gerak-gerikku, ke toilet pun dia buntuti.

Pada akhirnya Qeen bisa berhenti menangis karena sudah kubujuk membeli es krim dan belanja apapun yang dia suka di minimarket depan komplek. Lalu dia dibawa pergi oleh kakakku Anya, entah mereka akan jalan-jalan kemana sebelum Qeen di bawa ke rumah Kak Anya. Aku melihat kepergian Qeen dari balik jendela kamarku. Dia menangis sambil memeluk Kak Anya yang sudah mulai akrab dengannya.

Maafkan mama Qeen, nanti aku akan menjemputmu kembali. Baik-baik dengan Tante Anya ya sayang. Ucapku lirih dalam hati dengan diiringi tetesan air mata yang juga tak bisa kutahan lagi. Selama aku kerja di Jakarta Qeen akan tinggal bersama kakak pertamaku itu.

Aku sudah jauh-jauh hari memberi tahu Kak Anya tentang rencanaku ke Jakarta. Dan, dia bersedia menampung Qeen di rumahnya. Sebenarnya dulu saat Qeen umur satu tahun dia pernah dicoba untuk tinggal bersama Kak Anya, tapi hanya bertahan satu minggu saja. Qeen sedang tidak fit saat diungsikan ke rumah Kak Anya. Jadi semua orang pikir bahwa Qeen tidak betah disana dan selalu menangis karena kangen padaku. Padahal waktu itu Qeen sedang tidak enak badan saja. Kali ini Kak Anya melakukan pendekatan yang ekstra terhadap Qeen. Dalam sebulan setiap hari jumat-minggu, sebelum aku berangkat Kak Anya sudah tinggal di rumah ayah demi bisa lebih dekat dengan Qeen. Kedekatan mereka sudah lebih baik ketimbang dulu. Aku harap Qeen akan kerasan tinggal di rumah Kak Anya nanti. Semoga!

Sementara kamu tetap tinggal bersama kakek sampai sekolah tingkat pertamamu selesai. Setiap weekend kamu juga akan menginap di rumah Tante Anya, supaya Qeen tidak terlalu sendirian. Masih ada kakaknya yang menemani.

Walaupun sedih akan aku tinggalkan ke Jakarta, kamu tidak terlalu kaget seperti Qeen. Mungkin kamu juga senang aku pergi, tak akan ada lagi yang cerewet terhadapmu. Tapi tetap saja Tante Irma akan memantau gerak-gerikmu, aku sudah menitipkanmu padanya dan kepada kakekmu. Jangan senang dulu, aku juga tak tinggal diam, walau dari jarak jauh aku tetap akan mengawasimu. Kalau kamu melakukan sesuatu yang tidak aku sukai ya bersiap-siaplah transferan uang sakumu akan berkurang. Itu ancamanku dulu.

Sebenarnya kamu sudah kuberitahu sejak sebulan sebelumnya saat perusahaan tempat kerjaku yang baru mengirimkan email jawaban atas kelanjutan hasil dari interview yang kulakukan diam-diam. Aku lolos seleksi dan akan menjadi karyawan baru di perusahaan itu. Kusebut saja ini perusahaan yang kelima tempatku bekerja.

Flashback satu bulan yang lalu.

"Nona, kamu tahu kan minggu lalu Mama pergi ke Jakarta untuk wawancara di perusahaan baru?" Kataku saat menerima notifikasi email dari perusahaan tersebut suatu malam.

"Iya, kenapa Ma?" tanyamu.

"Mama di terima Nona." Aku menampakkan wajah sumringah saat membaca email itu.

"Wah ... " kamu pun ikut senang, tapi setelah itu air mukamu berubah, "jadi nanti Mama pindah ke Jakarta donk?"

"Sayangnya iya, Mama harus ke Jakarta." Kulihat matamu mulai berkaca, kudekati kamu "Jangan nangis donk Nona!"

"Kalau Mama ke jakarta nanti aku sama Qeen gimana?" ucapmu pelan.

"Nona, ini kesempatan keduaku untuk mendapatkan posisi yang aku mau selama perjalanan karirku. Setelah kesempatan pertamaku empat tahun lalu harus kandas karena keadaan."

Seketika itu aku seperti dibawa kembali ke waktu 4 tahun yang lalu ketika aku masih bekerja di perusahaan ketiga. Aku sedang mengandung Qeen. Selama awal kehamilan itu, aku benar-benar tumbang. Satu minggu aku menghilang dan tak mengabari orang-orang di kantor. Saat badanku benar-benar dalam kondisi sangat tidak prima, bangun dari tempat tidur pun sulit.

Disaat yang bersamaan, atasanku yang juga sudah aku anggap kakakku sendiri akan resign, sehingga harus ada orang baru yang ada di posisi second level untuk mengambil alih dan membantu manajer keuangan yang baru. Setelah badanku sudah mulai pulih dan bisa bekerja lagi, aku dapat bocoran bahwa aku adalah salah satu kandidatnya. Hatiku ingin sekali menerima tawaran itu, tapi badanku tidak mendukungnya. Aku sudah meminta waktu mungkin dua bulan lagi aku baru bisa bekerja lebih baik tanpa ada gangguan karena rasa mual di trisemester pertama kehamilanku yang menyiksa dan mengganggu konsentrasiku dalam bekerja.

Tapi mereka membutuhkan orang untuk mengisi posisi kosong itu secepatnya. Aku tak diberi kesempatan. Mungkin mereka juga sudah melihat kondisiku yang tidak memungkinkan, ditambah aku pernah absen satu minggu dan ya sudah aku terimakan saja. Mungkin belum rezekiku kali itu. Aku berusaha berlapang dada walaupun sangat kecewa dengan keadaanku sendiri yang payah.

Hamil tanpa menikah. Orang yang harus bertanggung jawab adalah "lelaki" itu yang sudah terang-terangan tidak mau mengakui anaknya. Kondisi rumah yang kacau karena tragedi gara-gara feng shui. Ayah yang selalu sentimen kepadaku dan Kakakku Irma yang tak bersahabat denganku. Rumah bukan tempat yang nyaman untukku kala itu. Pantas saja jika aku merasa kehamilan kedua ini sungguh menyiksa tanpa ada dukungan dari siapapun. Aku membatin sendirian, jika saja ada ibuku, sudah pasti aku akan lebih kuat dan tegar. Kegagalan mendapatkan posisi yang aku idam-idamkan di pekerjaanku pun genap melengkapi ujian hidup yang bertubi-tubi.

***

Aku pernah bertanya dalam hati kepada Sang Penciptaku. Sesial inikah hidupku Ya Allah? Kenapa tak henti-hentinya Engkau memberikan ujian kepadaku.

Untuk pertanyaan itu masih aku tanyakan sampai detik ini, tapi ketika aku tiba di Belanda seperti ada secercah cahaya untukku melihat dan merasakan jawabannya. Allah masih sayang kepadaku, kepada kita. Ujian-ujian itu adalah tolak ukur keimananku, Dia ingin tahu seberapa kuat aku bertahan dan berusaha. Keberadaanku di Belanda kini adalah salah satu jawabannya. Aku masih menunggu jawaban-jawaban yang lainnya

***

Lihat selengkapnya