SAMPAI NANTI SAATNYA TIBA

sbwjsnd
Chapter #40

#40 - Kita Samakan Suara

Sudah sepuluh bulan aku di Jakarta, kehidupan sudah berubah. Jelas, karena kita tak lagi di tempat yang sama. Jarak 160-an km sudah mencoba memberi test kepada kita sebelum jarak kita benar-benar menjadi belasan ribu km nantinya. Jarak ini sedang menguji kita, seberapa bisa kita bertahan dengan tidak tinggal dalam satu rumah yang sama. Bahkan kita berbeda kota sekarang. Aku tak selalu bisa pulang satu minggu sekali atau minimal satu bulan sekali. Kadang dalam dua bulan aku baru bisa pulang. Bukan aku tak rindu, aku sangat rindu pada kalian. Tapi pekerjaan benar-benar membuatku sibuk bahkan untuk urusan diriku sendiri.

Komunikasiku denganmu lancar-lancar saja. Justru kita lebih sering berbicara ketimbang saat kita masih bersama, walau hanya lewat sambungan jarak jauh. Aku selalu yang pertama menghubungimu. Kusempatkan waktu tiap malam sebelum waktu tidurmu untuk mencari tahu tentang keseharianmu saat itu. Jika kamu yang duluan meneleponku, itu artinya kamu perlu sesuatu yang sifatnya urgent.

Mudah bagi kita untuk tetap berkhayal bahwa kita masih tetap bersama. Kamu sudah sangat terlatih tanpa aku di rumah. Kamu juga sudah disibukkan dengan kegiatan sekolahmu yang hampir seharian full. Bagimu tanpa aku ada di Bandung pun tidaklah terlalu berat. Maka malam, sebelum tidur adalah kesempatan kita untuk bertemu lewat virtual call.

Aku memikirkan Qeen lebih banyak darimu Nona, tentu untuk satu kekhawatiran yang berbeda. Walaupun Kak Anya selalu memberiku laporan tentang perkembangan Qeen tiap satu minggu sekali dan mengirimkan beberapa foto juga videonya. Tapi rasa berat meninggalkan dia masih tetap muncul dihatiku.

Qeen yang belum mengerti tentang mimpiku dan perjuangan yang sudah dan sedang kita lakukan. Aku selalu bertanya dalam hatiku. Saat Qeen mulai tumbuh lebih besar nanti, bagaimana sikapnya jika suatu hari aku datang lagi untuk menjemputnya. Apa dia masih mau kembali padaku? Apa dia berpikir kalau aku sudah meninggalkannya? Oh, aku harap dia tidak sampai pada pikiran itu. Jangan! Aku pergi jauh bukan karena ingin meninggalkan kalian, justru untuk satu alasan yang jelas. Hanya saja ketika tenagaku masih ada aku ingin terus berjuang. Kelak semua hasilnya adalah untuk kalian juga. Kak Anya selalu memberitahunya kalau aku adalah ibunya yang sedang bekerja mencari nafkah untuk Qeen dan kakaknya di Jakarta.

Di tiga bulan pertama Kak Anya dan aku selalu melakukan video call rutin setiap satu minggu sekali supaya Qeen selalu mengingat aku walaupun jauh. Setelah itu Qeen sudah bisa beradaptasi dan terbiasa dengan tidak adanya aku disisinya. Kita sudah bisa berkomunikasi langsung dan saling tanya jawab seputar kegiatan kita masing-masing. Pertanyaan-pertanyaan Qeen yang polos dan sepertinya sangat serius mencontohkan layaknya orang dewasa berbicara membuat lucu saja. Qeen senang melihatku di layar saat itu dan membuatku tenang. Diluar dugaanku Qeen baik-baik saja disana, syukurlah.

Dulu, saat pertama kali kulihat dia di layar ponselku dari sambungan telepon jarak jauh di hari pertamaku pergi Qeen menangis, dia terus memanggilku. Dia ingin aku kembali. Tangisannya membuatku sedih saja dan tak tega.

"Mama, aku mau sama Mamaaa ...." Qeen menangis sejadi-jadinya.

"Iya nanti Mama pulang jemput Qeen disana ya. Tunggu ya. Gak lama kok!" Aku berusaha menenangkan Qeen.

"Sekarang, aku mau sekarang!" Nadanya tinggi dan masih terus menangis.

"Iya sabar ya, nanti dijemput. Jangan nangis ya. Sekarang Qeen sama Tante Anya dulu ya, sama Kak Aji juga. Jangan rewel kasihan Tante Anya kalau Qeen nangis terus." Lagi-lagi perkataanku memang tak bisa membuat Qeen berhenti menangis.

"Gak mau, aku mau sama Mama. Aku mau pulang." Tangisnya semakin menjadi.

"Iya nanti Mama pulang bawa mainan buat Qeen ya. Sabar ya." Aku masih tetap berusaha walau gagal juga akhirnya.

"Udah dulu ya Ay, nanti disambung lagi biar aku bawa Qeen keluar dulu." Di sana Kak Anya pun berusaha menenangkan Qeen yang memang susah untuk tenang.

Satu bulan pertama sepertinya begitu berat bagi Kak Anya menghadapi Qeen.

"Iya Kak, maaf sudah sangat merepotkanmu. Tolong jaga Qeen sebentar ya Kak!" Pintaku pada Kak Anya.

"Iya gak apa-apa. Udah dulu ya." Aku tak sanggup melihat pemandangan itu.

Kak Anya mengakhiri video call dengan backsound tangisan Qeen yang terus memanggilku. Qeen masih menangis histeris. Oh Qeen, sabar ya sayang. 

Bukan hanya Kak Anya tapi seisi rumah berusaha sekuat tenaga menenangkan Qeen. Akhirnya Kak Aji yang bisa menenangkan dia dengan membawanya keluar karena tukang odong-odong pun datang. Tangis Qeen terhenti karena diperbolehkan naik odong-odong selama satu jam penuh.

Sejak kecil Qeen begitu spesial, aku sendiri hampir kewalahan mengurusnya. Dua tahun pertama aku sedikit terbantu oleh Emak Ceuceu dan keluarganya yang sudah mengurus Qeen saat aku kerja. Tapi setelah itu aku sempat 2 bulan berturut-turut menjaganya sendiri. Dan, seberat itu mengurusi Qeen yang keras kepala. Aku selalu terpancing oleh emosiku sendiri. Qeen sudah benar-benar mengujiku di usia yang masih balita itu.

Kadang, karena ketidak sabaranku, aku pernah sekasar itu pada Qeen. Berteriak dan mencubitnya kalau dia tak mau mendengarkanku dan bertahan dengan egonya. Itu semua karena aku benar-benar tak bisa bergerak sama sekali. Qeen yang selalu ingin di gendong membatasi ruang gerakku untuk melakukan hal-hal penting seperti memasak bahkan ke toilet yang hanya satu menit pun tidak bisa.

Jujur Qeen lebih keras kepala daripada kamu sewaktu kecil dulu. Aku masih bisa santai, karena ulahmu tidak membuatku geram. Qeen beda sekali. Aku butuh bantuan orang lain yang lebih sabar, yang bisa menangani Qeen. Tapi aku tak bisa lagi menitipkan Qeen pada Emak Ceuceu. Dua bulan terakhir aku tak sanggup membayar Emak Ceuceu lagi . Wabah virus yang melanda dunia saat itu membuatku dan jutaan karyawan lainnya dengan terpaksa harus di rumahkan dahulu. Tak ada lagi pemasukan, sisa tabungan dari gaji terakhirku adalah pegangan kita. Aku harus berhemat.

Tapi saat aku mendapatkan kesempatan bekerja lagi ke Jakarta. Otomatis aku harus menitipkan Qeen kepada orang terpercaya. Aku hanya mempercayakan Kak Anya untuk itu, beruntung dia pun mau merawat Qeen. Kak Anya lebih sabar daripada aku. Dia sudah terlatih menjadi seorang guru. Mengajar anak-anak mengaji di masjid di lingkungan rumahnya. Aku juga percayakan Kak Anya untuk mengajarkan Qeen ilmu agama. Aku lebih tenang Qeen bersamanya. Aku tahu PR Kak Anya lebih banyak karena Qeen adalah anak yang keras. Aku selalu meminta kepada Tuhan supaya dilembutkan hati Qeen. Siapapun yang menjaganya diberikan kesabaran yang luas. Harapanku saat itu semoga Kak Anya orang penyabar dan berhati lapang itu.

Qeen akan sangat manja jika aku ada. Katanya itu karena dia sangat merindukan ibunya yang seharian sibuk bekerja. Tapi kemanjaannya itu selalu menimbulkan ulah yang tak bisa aku terima. Saat aku lelah sepulang bekerja Qeen tidak bisa membiarkanku rehat sejenak. Ada saja yang dia lakukan dan membuatku kesal. Tapi jika aku tak ada, dia akan berubah menjadi anak yang lebih mandiri.

Setelah beberapa bulan, Kak Anya pun menceritakan betapa bisa mandirinya Qeen saat dia di rumahnya. Qeen bisa menurut padanya. Tapi saat disambungkan lagi telepon itu kepadaku, Qeen rewel lagi. Dia mengingat lagi kalau ibunya berada jauh di kota yang berbeda. Itu yang dia tidak sukai sehingga rewel dan manjanya kembali lagi muncul. Apa aku tak perlu menelepon dia terlalu sering? Biar Kak Anya tak terlalu repot juga mengatasi dia saat sedang rewel? Pikirku dalam hati.

Qeen memang spesial. Mungkin aku harus membuat satu buku lagi untuk menceritakan kisah Qeen sendiri. Nanti!

Lihat selengkapnya