Di bulan ke dua belas aku melakukan perjalanan dinas ke Bali. Ini juga salah satu kesempatan yang aku tunggu-tunggu. Aku ingin sekali ke sana mungkin setelah 13 atau 15 tahun yang lalu. Bali sebenarnya tempat yang ingin kutuju sebelum ke Belanda. Tapi Jakarta lebih dulu memberiku kesempatan untuk mengais rezeki disana. Jadi ya jalani saja.
Waktu yang singkat selama perjalanan bisnis itu kugunakan dengan sebaik-baiknya. Tiga hari penuh dengan seminar dan pekerjaan. Aku jelas harus mengambil waktu ekstra dua hari lagi dari jatah cutiku, supaya aku bisa mengunjungi teman dan keluarga angkatku yang sudah lebih dulu pindah ke sana. Aku rindu Ana dan ibu ke-2, aku juga rindu sahabatku Indra yang sudah dua tahun di Bali. Aku rindu Bali.
Sore itu, di taman belakang hotel yang menghadap ke arah lautan. Kuhabiskan waktu senggangku dengan duduk manis diatas bean bag chair yang beralaskan rerumputan hijau segar terawat. Dengan buku yang kubawa dari Jakarta untuk kubaca dan ditemani langit Bali yang dua jam lagi akan menghamparkan senjanya.
Buku yang sudah memotivasiku untuk maju. Tentang semangat dan perjuangan dalam mewujudkan mimpi. Jelas bukan tentang kisahku sendiri, buku itu bercerita tentang seseorang yang belum sukses di waktu 20 tahun lalu dan kini dia adalah salah satu dari sekian banyak orang sukses tanah air yang selalu dibicarakan oleh jutaan orang lainnya. Karena mimpinya yang besar dan perjuangannya yang teguh. Aku ingin mencontoh semangatnya. Tapi aku tak mau seperti dia yang butuh waktu 20 tahun untuk mewujudkan mimpi itu. Aku ingin lebih cepat lagi, maka aku harus menggandakan usaha dan doaku lebih dan lebih lagi.
Seperti air yang mengalir mencari jalan yang lebih rendah, dia tahu arah dan tujuannya hingga pada akhirnya dia bisa bermuara di lautan luas. Perjuangannya yang tak henti mencari jalan untuk terus maju dan jika ada hambatan apapun itu, baik berupa bebatuan atau sampah maka dia akan menembus kedalam tanah mencari jalan lain. Dia mampu membentur batuan dan mengikisnya supaya tak lagi menghambat alirannya. Jika jalan ke kanan memang sulit maka dia akan mencari jalan ke arah kiri atau sebagian akan menyusup ke sela-sela bebatuan. Jalan sekecil dan sesempit apapun itu akan dilaluinya dengan pasti demi satu tujuan menemukan muaranya.
Sama halnya dengan perjalanan hidup kita, sudah banyak hambatan dan ujian yang sudah kita lalui begitupun pengorbanannya sudah pula kita alami. Tak ada yang mudah, tentu saja. Ada tangisku, tangismu juga tangisan Qeen menghiasinya. Belum banyak tawa dan bahagia, karena kita masih dalam proses perjuangan itu. Kita sedang menuju kepada satu kata yang menjadi impian kita selama ini yaitu kata "Bahagia". Bahagia menurut kita adalah jika kita bersama lagi dalam kehidupan yang lebih baik.
Aku ingin seperti air yang mengalir itu, akan kutempuh tujuanku dengan langkah pasti. Jika kerikil tajam dan batuan besar menghalangiku, maka aku akan mencari jalan lain entah ke kiri atau ke kanan. Sampai kutemukan jalan utamanya lagi setelah belokan itu. Sehingga aku akan tetap berada di jalur yang seharusnya. Tapi aku menolak untuk melihat ke belakang apalagi jalan mundur. No way! Just moving forward Ayana!
Saat senja mulai memayungiku diatas sana dan matahari berada tepat diatas garis laut, saat itulah momen yang kutunggu. Aku terpesona melihat view itu, langit jingga. Tanpa kusadari ternyata ada seseorang yang sejak tadi melihatku dan dia sudah satu jam memperhatikanku. Aku yang sejak tadi fokus kepada buku yang ada di hadapanku dan kemudian tersenyum sendiri ketika melihat warna jingga menyelimuti langit Bali kala itu. Tiba-tiba suara itu merambat kearahku.
"Beautiful sunset with a beautiful lady, perfect!"
Aku terperanjat ketika tiba-tiba mendengar suara dari arah kananku yang terhalang satu buah bean bag chair lain yang membatasi jarak kita. Spontan aku menengok kearahnya. Lalu kuputar kepalaku 180 derajat dan juga melirik ke belakang. Tak ada satu orang pun yang lainnya. Hanya kita berdua di radius 100 meter, tak ada siapapun disekeliling kita. Lalu aku menengok lagi ke arahnya.
"Excuse me?"
"Yes, you are the beautiful lady. You are alone here with the sunset. Why? Where is your ... ?" Belum lengkap kalimat tanya yang dia lontarkan aku sudah memotongnya.
"... boyfriend." celetukku.
Aku tahu apa maksudnya. Dia pasti ingin memastikan itu. Apalagi!
"Haha ... how come, you know what i mean." Dia memasang ekspresi kaget plus bahagia sepertinya.
"Haha, i just know it!" Lalu kutanya balik padanya. "And you?"
"I am alone. No girlfriend." Dengan menunjukkan senyum dan menggelengkan kepala dia memastikan itu.
"Oh ... " jawabku singkat dan kubalas senyumannya, lalu kumasukkan buku itu kedalam tasku.
"Do you ... ?" Belum lagi selesai pertanyaannya yang kedua, aku sudah memotongnya lagi dan menghentikannya berbicara.
"Could you please keep your question for a while, please! I need to enjoy this beautiful moment." Pintaku padanya dengan sekilas menatap wajahnya.
"Oh, ya sure. Let me enjoy it with you. I love this moment too." Dia pun memalingkan wajahnya dariku yang kulihat sekilas dari sudut mata kananku. Lalu menatap kedepan bersama-sama denganku.
Aku hanya ingin menikmati keindahan langit saat matahari akan tenggelam di depanku. Aku tersenyum pada langit jingga dan matahari yang ingin kembali ke peraduannya. Aku sangat bahagia menikmati momen itu. Tanpa kusadari lagi, ternyata lelaki itu kembali menatapku. Dia sejak tadi memperhatikanku yang senyum-senyum sendiri selama senja memancarkan aura jingganya. Sampai akhirnya langit menjadi gelap dan cahaya sudah tergantikan oleh lampu taman disekeliling kita.
"It was a beautiful sunset ya." Katanya memecah khayalanku.
Dan, aku tersadar sedari tadi aku sudah mengacuhkan makhluk asing yang menemaniku menikmati senja. "Ups ... sorry i just realise that i am not alone here."
"Haha, that's oke. I love to watching you here. Do you like sunset?" Ya aku ingat tadi dia seperti ingin bertanya kepadaku dan kupotong dengan seenaknya.
"Oh ya, i love the moment when the sunset is coming down." Lalu aku berdiri dan bersiap pergi, pertunjukan sudah selesai.
"Wait ... " dia berusaha mencegahku dan mengulurkan tangannya, "I'm Soufian, and you?"
"Call me Ayana. I'm sorry i have to go now." Aku memang sudah ada janji dengan Ana dan keluarga angkatku juga Indra untuk makan malam di sebuah kafe yang jaraknya agak jauh dari hotel tempatku menginap itu.
"Hi, Ayana nice to meet you ya. Do you stay over here?" Dia berusaha mencegahku pergi dengan mengahalangi jalanku.
"Yes i do. Nice to meet you too Soufian but i have to go now. I'm gonna be late for my dinner with my family if i'm still here."
"Oh oke please, enjoy your dinner." Kemudian Soufian mempersilahkanku pergi dengan senyumannya yang penuh tanda tanya.
Aku tak menghiraukan kemunculan Soufian yang tiba-tiba. Dia hanya sama seperti bule lainnya yang ingin berkenalan saja. Aku tak tertarik menemaninya malam ini. Keluarga dan teman-temanku lebih penting bagiku. Pikiranku sudah tiba lebih dulu di kafe tempat kami akan makan malam bersama. Aku tak sabar bertemu mereka.
Malam itu sempurna, kebahagiaanku bertambah saat bertemu denga mereka. Makan malam yang hangat dan penuh canda bahagia. Makan malam yang sangat spesial. Sampai akhirnya lupa waktu dan aku baru kembali ke hotel tepat pukul 12 malam. Ana mengantarku sampai di depan lobby hotel. Setelah itu kita semua saling berpamitan.
Ketika aku akan masuk ke dalam lobby hotel, tiba-tiba suara asing yang tidak terlalu fasih melafalkan namaku terdengar, membuatku heran. Semalam itu ada yang meneriakan namaku dengan aksen khasnya yang membuat seisi penghuni lobby yang hanya beberapa orang staff saja untungnya menengok ke arahku.
"Ayana ...." Suara itu muncul dari samping lobby, dekat bar. Membuat berisik seisi lobby yang malam itu sedang hening.
Ah, itu kan si bule yang tadi mengganggu acara sakralku dengan senja dan hampir terlambat datang ke acara makan malam. Mau apa dia? Tanyaku dalam hati.
Dia menghampiriku dengan sedikit berlari, "Can i have your number?"
"No, you can't!" Jawabku tegas dan aku melenggang pergi ke arah lift.
Aku tak berniat meladeninya. Aku sudah lelah setelah seharian seminar dan hampir enam jam berkumpul di kafe untuk makan malam.
"Oh Ayana please." Dengan memasang wajah memelas dia memohon padaku.
"If you want my number, just come tomorrow morning when breakfast time." tawarku.
"Not now?" Air mukanya sedikit berubah, kecewa.
"No, i'm tired. I need to meet my bed." Saat aku akan melangkah dan meninggalkannya, tak terduga dia menarik tanganku.