Ini bukan tentang bule yang kutemui di Bali waktu itu. Kisah kami memang absurd. Ke Belanda bukanlah 100% karenanya. Aku tak berniat menemui separuh hatiku yang terbawa olehnya. Walaupun sejujurnya dia pernah menjadi bagian semangatku untuk hijrah ke Belanda.
Dengan atau tanpa dia, aku akan tetap mewujudkan mimpiku. Ini tentang Belanda yang ingin aku tuju. Belanda yang menjadi akhir dari cerita perjalanan mimpiku. Belanda yang kini aku tapaki jalannya, aku hirup udara segarnya, aku nikmati angin kencang dan langit mendungnya.
Belanda yang membuatku semakin tangguh lagi, keringat yang keluar walau setetespun sangat di hargai disini. Belanda yang memalak hasil membanting tulangku dengan sangat tinggi, hampir setengah dari penghasilanku dipotong oleh pajak. Belanda yang namanya masuk dalam daftar negara-negara yang menerapkan pajak paling tinggi di dunia. Tapi aku tak menyesali itu, justru aku bersyukur karena walaupun pajaknya sangat tinggi tapi apa yang aku dapatkan disini juga sepadan. Aku menikmatinya, fasilitas umumnya yang serba canggih dan sistematis, transportasi umum yang serba tepat waktu, cepat dan bersih, biaya kesehatan gratis dan nanti jika kalian sudah disini kalian pun akan merasakan sekolah gratis.
Walaupun pajak yang diterapkan tinggi tapi apa yang kudapat tetap lebih tinggi dan lebih manusiawi jika aku boyong ke Indonesia. Ya, itu karena nilai mata uang euro yang lebih tinggi dari rupiah. Tentu saja aku tak akan menua disini. Suatu saat nanti aku pun akan kembali kepada tanah airku untuk menikmati masa tua. Aku hanya perlu berjuang lebih keras selagi masih memiliki tenaga lebih untuk memperbaiki kualitas hidup di negeri orange yang kenyataannya warna bendera mereka merah, putih dan biru bukan jingga. Tapi jika kalian lebih menyukai Eropa, silahkan kalian habiskan waktu masa muda kalian di sini.
Memang benar dia sudah menjadi semangat lebih untuk mengejar mimpi hingga ke Belanda. Tapi ingat, dia bukan satu-satunya alasan kenapa aku harus terbang sampai sebelas ribu mil lebih jaunya dari tanah kelahiranku dan meninggalkan kalian untuk sementara. Ini tentang mimpi besarku, mimpi yang sudah terukir sejak lama bahkan sebelum aku mengenalnya.
Sekali lagi dengan atau tanpa dia sekalipun aku tetap harus mengejar mimpiku. Hubunganku dengannya pun tak semulus yang aku bayangkan. Sejak aku mendapatkan ID Skype yang dia berikan lewat Front Office di hotel tempat kami menginap sewaktu aku melakukan perjalanan dinas ke Bali itu, aku baru bisa menghubunginya setelah satu minggu kemudian. Pekerjaanku yang menumpuk setelah ditinggalkan selama hampir satu minggu membuatku kehilangan waktu luang.
Singkat cerita akhirnya kami menjalin hubungan jarak jauh dengan komunikasi yang hanya menggunakan Skype saja. Rentang waktu yang terpaut cukup lama, waktu di Indonesia lebih cepat enam jam dari waktu di Belanda. Membuatku harus selalu terjaga di tengah malam, saat dia sudah selesai bekerja. Saat itulah kita bisa berkomunikasi dengan tenang.
Tiga bulan kita saling mengenal satu sama lain, kita harus sangat puas dengan pertemuan lewat layar ponsel saja. Tidak lupa aku pun memperkenalkan kalian, Qeen sudah beberapa kali muncul di video call kami. Dia menyukainya, kamu yang malu-malu tak mau eksis dihadapannya terpaksa hanya lewat foto dan cerita saja dia mengenalmu. Aku tak pernah menyembunyikan identitasku kepada setiap lelaki yang berusaha mendekatiku termasuk kepada Soufian. Aku selalu ingin tahu bagaimana reaksi mereka jika ternyata aku adalah seorang single mom. Beruntung Soufian tidak masalah dengan itu, dia bisa menerima kalian katanya.
Tapi tepat di malam pergantian tahun setelah 3 bulan intens berkomunikasi, aku kehilangan dia. Padahal beberapa jam sebelum malam tahun baru kita sempat berbicara satu sama lain. Satu hari, dua hari, tiga hari, satu minggu sampai akhirnya satu bulan tak pernah ada kabar, dia hilang tak pernah menjawab pesanku yang sudah berpuluh-puluh kali kukirim, banyak sekali. Di hari ke 100 pun dia tidak menjawabnya. Kemana dia?
Sampai suatu ketika, entah di hari ke berapa, setelah 7 bulan tiba-tiba aku mendapatkan notifikasi dari Skype. Itu dari dia, akunnya sedang online di Skype. Akhirnya dia membalas puluhan pesan yang kukirim selama tiga bulan sejak tahun baru itu. Di bulan ke-7 setelah dia menghilang dan selama itu pula aku menunggu akhirnya dia membalas semua pesanku hanya dengan satu kata "Sorry" saja.
Sebenarnya dua atau tiga bulan sebelum kata maaf itu dia kirim, sering kulihat dia sedang online tapi jangankan di balas pesanku dibaca saja tidak. Aku pun lelah, dan aku tahu maksudnya apa. Jadi aku putuskan sendiri untuk menyudahi saja ketidakjelasan hubungan ini. Aku mundur perlahan, sedikit sulit karena ternyata separuh hatiku sudah dia ambil. Tapi untuk apa meneruskan, aku tak mau mengemis cinta padanya. Aku sudah trauma dengan laki-laki lokal, sepertinya aku pun tak perlu berharap banyak pada si bule ini. Mereka sama saja ternyata. Sudahlah menyerah lagi saja, kuputuskan untuk tetap fokus pada mimpiku saja.
Suatu malam, akhirnya aku memantapkan tekad dalam hatiku. Dengan atau tanpa dia sekalipun aku tetap akan ke Belanda. Titik! Sekali lagi ini tentang mimpiku yang harus diwujudkan bukan tentang persoalan cinta.
Tiga bulan selama aku menjalin hubungan jarak jauh dengannya, aku juga mencari tahu lebih banyak segala macam informasi tentang kehidupan di Belanda. Bahkan aku lebih tahu banyak setiap sudut yang ada di Belanda ketimbang dia yang sudah tinggal di sini sejak lahir. Ya, memang kehidupan di sini tidaklah seperti di Indonesia yang dengan tetangga pun kita sangat akrab.
Di Belanda, hidup ya sendiri-sendiri, kita tidak akan pernah tahu tetangga di kiri dan kanan rumah kita itu siapa saja. Walaupun demikian kehidupan di sini tetap harmonis dan aman-aman saja. Aku tahu ada kafe yang nyaman di sudut kota Amsterdam yang dia tak pernah tahu, aku tahu dimana kampus paling favorit bagi mahasiswa dari luar Belanda, kampus itu ada di Leiden. Aku tahu ada tempat wisata ini dan itu di Belanda yang justru dia tak pernah tahu. Kehidupan yang sangat pribadi membuatnya memiliki keterbatasan pengetahuan tentang sesuatu yang ada di sekitar dirinya. Aktifitasnya hanya rumah dan tempat kerja saja. Jarang dia bersosialisasi dengan banyak orang. Karena ya memang orang Belanda hanya memiliki sedikit teman, bisa dihitung dengan lima jari saja bahkan.
Jelas aku yang lebih tahu karena dunia maya sudah membukakan jendela dunia untukku. Semua ada disana, tinggal kita saja yang jangan malas untuk membaca. Aku pikir masih banyak warga +62 yang fakir membaca dan aku tak mau menjadi bagian dari mereka. Membaca membuatku tahu segalanya walaupun sebelumnya aku sama sekali tidak pernah menginjakkan kaki di negeri kincir angin ini. Tapi pengetahuanku lebih banyak daripada dia yang sudah dari lahir tinggal di Belanda.
Hilangnya kontak dan komunikasi dengan dia membuatku mantap untuk kembali ke jalur pencapaian mimpiku. Ketidakjelasan hubungan kami justru membuatku lebih semangat untuk melangkah lebih jauh lagi. Sejak kenal Soufian di Bali dulu aku pikir dia akan menjadi jalan singkat untukku menuju Belanda kelak. Dia bisa menjadi sponsorku selama di Belanda. Itu akan membuatku lebih mudah. Soufian jelas pernah mengatakan padaku, bahwa aku bisa datang ke Belanda dengan bantuannya sebagai sponsor utama. Tapi nyatanya itu tak terjadi karena dia sudah menghilang sebelum dia menepati janjinya.
Alasan kenapa dia menghilang, kamu bisa membaca kisahku dan kisahnya di bukuku yang lain yang sudah aku beritahu padamu di bagian sebelumnya. Kisah kita memang unik, aku cukup bahagia walaupun sangat singkat dan aneh.
Kembali kepada mewujudkan mimpi. Karena aku tak lagi memiliki sponsor yang akan memudahkanku menuju Belanda akhirnya aku harus memutar otakku lagi. Aku harus membuat rencana B. Satu-satunya yang lebih mudah lagi adalah aku harus mencari pekerjaan disana. Untuk menjadi Aupair pun aku sudah telat karena usiaku yang sudah lebih dari kepala 3. Tak akan mudah juga jika aku langsung melamar pekerjaan ke perusahaan Belanda sementara aku masih ada di Indonesia. Aku harus mencari perusahaan di Indonesia yang merupakan cabang atau anak dari perusahaan di Belanda.