Ini hari teristimewa bagiku juga mereka. Setelah 3 tahun terpisah dengan jarak 11.000-an km jauhnya.
Dimulai dengan menikmati secangkir coklat hangat dipagi hari, angin yang berhembus kencang membuat pagi di Belanda selalu dingin seperti biasanya. Bersembunyi dibalik jaket tebal berkerahkan bulu angsa. Tak lupa ku tenteng dalam tas jinjing, jaketku yang lain dan satu jaket tebal ukuran anak SD untuk tamu-tamu sangat spesial hari ini. Aku yakin mereka tak akan mengira angin kencang yang akan menyambut mereka nanti akan sedingin seperti di dalam kulkas. Aku juga yakin baju hangat yang mereka kenakan tak akan sanggup menahan angin dan menghangatkan tubuh mereka.
Menunggu di kafe terbaik di bandara Schiphol. Coklat hangat kali ini sungguh nikmat membuat suasana hati menjadi bersemangat. Pukul 07.40 waktu Belanda akhirnya pesawat berlambangkan burung berwarna biru itu mendarat di tanah negeri kincir angin ini setelah 14 jam non stop terbang di angkasa. Aku yang tak sabar sejak satu jam lalu sudah stand by langsung melangkahkan kaki menuju pintu kedatangan luar negeri.
Satu persatu kupandangi orang-orang yang keluar tak ada yang kukenali. Aku pikir mereka sedang terjebak saat akan mengambil koper-koper mereka. Sudah tiga puluh menit berlalu belum ada wajah-wajah yang kukenali. Hatiku berdegup kencang, bertanya-tanya dalam hati. Dimana mereka? Apa mereka baik-baik saja? Apa urusan mengambil koper lancar?
Sudah puluhan orang keluar dari pintu itu. Jikalau ada anak kecil yang muncul dan kulihat wajahnya, bukan anak yang aku harapkan. Oh aku semakin tidak sabar saja. Satu jam berlalu, area kedatangan dari luar negeri itu sudah begitu lengang. Muncul satu dua orang dan tak ada lagi yang mengikuti mereka di belakangnya. Tidak mungkin! Ini tidak mungkin salah. Mereka seharusnya ada di sini sekarang. Protesku dalam hati.
Aku memeriksa jam dan tanggal di telepon genggamku aku cek kembali email pembelian tiket itu berkali-kali. Sudah benar, waktu dan pesawat yang mereka gunakan sudah tiba di sini. Tapi di mana mereka? Hingga tiba pada penumpang lainnya yang keluar, tak segan-segan kubertanya padanya.
"Permisi, anda dari penerbangan Indonesia pak?" Tanyaku kepada lelaki yang dari tampangnya saja memang sudah jelas dia adalah orang Indonesia.
"Oh, iya saya dari Indonesia. Mendarat sekitar tiga puluh menit lalu." katanya.
"Oh bagus. Apakah masih ada penumpang lain di dalam sana?" Tanyaku memastikan.
"Saya kira saya orang terakhir yang mengambil koper. Sudah tidak ada siapa-siapa disana. Memang sih tadi ramai sekali sampai antri. Koper saya saja sudah berputar berkali-kali saking tak bisa mengambil karena banyak orang memadati area itu. Jadi saya tunggu saja sampai semua orang berhasil mengambil kopernya." Setelah kurasa cukup informasi, bapak itu pun berlalu.
Dimana mereka? Aku sudah memperhatikan setiap orang dengan seksama. Tapi kenapa mereka tidak ada? Ada yang tidak beres! Hatiku gusar.
Aku pikir aku harus mendatangi bagian informasi siapa tahu aku akan mendapatkan jawabannya. Sudah jelas-jelas sebelum terbang dari Jakarta mereka memberiku kabar bahwa mereka siap terbang. Namun setelah hampir satu jam mencoba menunggu lagi, saat akan membalikkan badan dan meninggalkan pintu kedatangan itu, tiba-tiba ada yang berteriak dari jauh. Dan, sepertinya aku mengenal suara cempreng khas anak kecil itu.
"Mamaaa ... " teriak si anak kecil itu.
Aku segera membuka mata lebar-lebar dan menajamkan pendengaranku.
"Maaa ... " kali ini aku juga mendengar suara khas ini.
Lalu menyaut beberapa detik kemudian suara laki-laki yang kukenali juga, "Ayana."
Aku membalikkan badan dan lihatlah siap mereka, sejauh beberapa meter saja aku sudah mengenali mereka. Tiga orang spesial yang sudah kutunggu-tunggu dari kemarin. Nona, Qeen dan Andre. Mereka ada di sini sekarang.
Kulari sekencangnya sambil menitikan air mata. Mereka juga berlari berusaha mendekatiku.
"Qeeeeen, Nonaaaa ... " aku berlari menghampiri mereka dan kugapai tubuh mereka bersamaan.
"Kalian darimana? Kok lama sekali keluarnya?" aku begitu khawatir terjadi sesuatu yang aneh.
"Iya tadi Qeen kebelet jadi harus ke toilet dulu. Anak-anak kebingungan cara menggunakan toiletnya. Canggih banget ya Nona toiletnya. Jadi aku harus memanggil petugas kebersihan untuk menemani mereka." Begitu penjelasan dari Andre.
"Oooh ... " lalu kupandangi mereka.
Aku merendahkan tubuhku supaya sejajar dengan Qeen dan Nona ikut berjongkok menyejajarkan. Kami saling berpelukan, aku memeluk erat tubuh Qeen dan Nona dan berkali-kali mencium mereka bergantian.
"Ooh ... aku rindu kalian. Sangat rindu!" Air mata kami mengalir deras. Ini bukan air mata kesedihan. Ini air mata kebahagiaan.
"Aku juga rindu Mama." kata Nona.
"Qeen juga Ma." Qeen tak mau kalah.
Lalu ada yang mengganggu momen bahagia itu, ada yang protes dari belakang yang dari tadi dicuekin terus.
"Hey, hey sudah donk acara pelukan dan nangis-nangisnya. Aku disini dikacangin loh." Suara Andre memecah pelukan kami bertiga.
Lalu aku, Nona, Qeen juga Andre tertawa. "Hahaha ... "
"Aku juga rindu kamu Ayana." Sambil menghampiriku yang sudah berdiri melepaskan pelukan Nona dan Qeen dan segera merentangkan tangan, siap menerima pelukan sahabat terbaikku.
"Hi Ndre," kami pun saling berpelukan, "Terima kasih sudah menjaga mereka selama penerbangan 14 jam yang membosankan itu, hehe. Terima kasih sudah membawa mereka kemari Ndre."
"Ini untukmu dan mereka Ayana. Aku bahagia sekali melakukan ini. Aku bisa terlibat dalam pertemuan yang mengharukan ini. Akhirnya!" Sambil melepaskan pelukannya kepadaku lalu Andre inisiatif untuk mengakhiri drama tangisan yang bisa membuatnya sedih.
"Daripada nangis-nangisan disini bagaimana kalau kita cari sarapan. Ayana aku lapaaar." Andre memelas.
"Iya Ma, aku juga lapar." Nona mengikuti.
Kemudian si kecil Qeen juga ikut-ikutan merengek minta makan, "Qeen juga Ma. Lapeeer ... "