Benturan Pertama
Perpustakaan fakultas sore itu sunyi. Lampu neon menyala redup, berpadu dengan cahaya matahari senja yang menyusup lewat jendela besar, menebar guratan emas di atas meja-meja kayu. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sibuk dengan catatan masing-masing. Suasana hening, seolah waktu melambat di ruangan penuh buku itu.
Nayla melangkah cepat di antara lorong rak. Kedua tangannya memeluk tumpukan buku tebal—terlalu banyak untuk ukuran tubuh mungilnya. Sesekali ia mendengus kesal.
“Kenapa sih tugas Bu Sinta selalu segunung kayak gini,” gumamnya lirih, nyaris terengah karena beban.
Buku-buku itu hampir menutupi wajahnya. Ia hanya bisa melihat sedikit celah di depan, cukup untuk menebak arah jalan. Matanya berusaha mencari meja kosong agar bisa segera menurunkan semua buku.
Tanpa sadar, langkahnya semakin tergesa.
BRUK!
Tubuhnya menabrak seseorang yang muncul dari arah berlawanan. Benturan itu cukup keras hingga membuat Nayla mundur setengah langkah. Semua buku di pelukannya terlepas, jatuh berserakan ke lantai perpustakaan. Suara berdebamnya mengagetkan beberapa mahasiswa yang langsung menoleh.
“Astaga, maaf!” Nayla buru-buru jongkok, kedua tangannya panik meraih buku-bukunya.
Pria yang ditabraknya ikut merunduk, membantu memunguti satu per satu. “Enggak apa-apa, saya juga salah. Nggak lihat jalan.” Suaranya dalam, datar tapi tenang, seperti punya cara menenangkan hati orang yang mendengarnya.
Nayla mendongak. Untuk sepersekian detik, ia terpaku.
Wajah pria itu terlihat jelas dari dekat: alis tebal, rahang tegas, kulit sawo matang yang sehat, serta sepasang mata teduh yang entah mengapa terasa familiar. Rambut hitamnya sedikit berantakan, namun memberi kesan alami. Ada aura dingin sekaligus berwibawa darinya.
“Oh… terima kasih,” ucap Nayla canggung sambil menerima buku dari tangannya.
Pria itu hanya mengangguk, menyodorkan tumpukan buku yang sudah ia rapikan. Pandangan matanya singkat, tapi cukup untuk membuat dada Nayla berdebar tanpa alasan.
Baru setelah pria itu berdiri, Nayla sadar siapa orang di depannya. Ia pernah mendengar namanya disebut-sebut oleh teman-teman: Raka Adiputra, mahasiswa Teknik yang terkenal pintar sekaligus pendiam. Sosok yang katanya sulit didekati, lebih memilih tenggelam dalam buku dan tugas ketimbang bergaul.
“Sekali lagi maaf, saya nggak lihat jalan,” kata Nayla, suaranya pelan.
“Sudah saya bilang nggak apa-apa.” Raka menatapnya sekilas, lalu berdiri penuh. “Kamu… dari Sastra, ya?”
Nayla mengerutkan kening. “Kok tahu?”
Raka mengangkat buku yang masih ada di tangannya. “Ini kan bukunya Bu Sinta. Dulu saya juga pernah pinjam untuk mata kuliah pilihan. Kalau bawa segini banyak sendirian, wajar aja bisa jatuh.”
Nada bicaranya biasa saja, tapi entah kenapa membuat Nayla tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya sore itu, beban di pelukannya terasa sedikit lebih ringan.
“Hmm, iya. Kamu ternyata tahu juga ya rasanya tersiksa sama tugas Bu Sinta.”
Senyum tipis terbit di bibir Raka, hampir tak terlihat tapi cukup membuat wajahnya berubah hangat. “Lumayan. Saya juga pernah pusing karenanya.”
Hening sejenak, hanya suara langkah mahasiswa lain yang lewat. Lalu Nayla menunduk, kembali memeluk buku-bukunya. “Oke deh, saya duluan ya. Makasih sudah bantuin.”
Raka hanya mengangguk, tapi sebelum Nayla benar-benar berbalik, ia sempat menatap punggung gadis itu lebih lama dari seharusnya. Ada sesuatu yang baru saja singgah—sebuah rasa aneh yang tak bisa ia definisikan.
Dan di hati Nayla, benturan kecil barusan meninggalkan kesan yang jauh lebih besar dari sekadar buku yang jatuh
Obrolan Singkat
Langkah Nayla pelan meninggalkan lorong perpustakaan. Buku-buku tebal masih dipeluknya erat, tapi pikirannya tak berhenti mengulang kejadian barusan. Ia bahkan sempat menoleh sebentar, memastikan pria yang menolongnya tadi benar-benar Raka Adiputra—nama yang sering ia dengar, tapi tak pernah ia bayangkan akan berinteraksi langsung dengannya.
Baru saja ia hendak meletakkan buku di meja kosong, suara itu terdengar lagi.
“Kamu dari Sastra, kan?”
Nayla menoleh. Raka berdiri beberapa langkah darinya, membawa satu buku tipis di tangannya. Ekspresinya tetap tenang, seolah tak ada yang istimewa dari percakapan ini.
“Iya, betul. Kok bisa tahu?” tanyanya heran.